Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 03 Agustus 2012

Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong]-Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong]-Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong]-Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong]-Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong]

Wan-ong Kui mengira kalau Bi Ing tentu akan terkejut
menyaksikan sekian banyak orang di luar kereta tetapi
ternyata nona itu diam saja.
"Ai, benar2 seorang cantik yang tiada tandingannya.
Engkong, aku suka pada taci itu. Aku ingin mengajaknya
supaya tinggal di rumah kita selama beberapa hari," seru In
Hong.
Engkongnya yang bernama Tong Kui Tik, hanya
tertawa, "Ada pengawalnya, engkau harus minta idin dulu
kepada pengawalnya itu.
In Hong terus langsung bertanya kepada Wan-ong Kui,
"Engkoh yang baik, aku hendak mengajak taci dalam kereta
itu ke rumahku dan tinggal beberapa hari disana. Engkau
tentu tak keberatan, bukan?"
"Wah, berabe nona." sahut Wan-ong Kui.
"Apanya yang berabe? Dia seorang gadis dan akupun
juga anak perempuan, kita sama-sama wanita, apanya yang
berabe? Hanya kuminta supaya tinggal beberapa hari saja di
rumahku masakan sampai menganggu pernikahannya? Aku
juga dapat mengantarkannya kepada calon suaminya, tak
perlu engkau repot2 lagi. Bukankah engkau akan lebih
ringan bebanmu disamping engkau bakal terlolos dari
ancaman kelima harimau di Lusan sini?"
Sebelum Wan-ong Kui menjawab, rupanya Macan-putih
Beng Lok yang paling muda diantara kelima macan itu, tak
sabar lagi dan terus berseru, "Nona In, kalau engkau mau
ikut dalam perdagangan ini, aku sih tak keberatan. Tetapi
menurut peraturan dalam Rimba Hijau ( dunia penyamun ),
kan ada bedanya antara yang datang dulu dengan yang
datang belakangan."
Ternyata si Macan-putih Beng Lok itu telah berobah
pendiriannya. Semula seperti keempat saudaranya, dia
hendak merampas peti uang dalam kereta itu. Tetapi tadi
waktu melihat kecantikan Bi Ing, tergeraklah hatinya. Dia
ingin mendapatkan nona itu sebagai istetinya.
In Hong deliki mata, "Engkau tak setuju bukan?"
Buru-buru Macan-gembong Beng Ho campur bicara,
"Harap nona jangan bergurau. Kita sekarang bicara secara
serius. Lepaskan nona itu dan kami akan menghaturkan
limararus tail emas di tambah lagi dengan limaratus tail
perak. Tetapi harap nona jangan mengganggu kami lagi."
"Siapa ngiler pada emasmu itu ?" In Hong tertawa
mengejek, "Aku hendak mengajak nona pengantin itu
pulang, nanti aku akan kembali kesini memberimu
limaratus tail emas. Jangan engkau campur tangan lagi."
"Ah, tidak bisa." seru Macan-putih Beng Lok, "manusia
mempunyai muka dan pohon punya kulit. Kalau dagangan
yang diurus keluarga Beng sampai direbut orang ditengah
jalan, kelak bagaimana kami dapat berdiri di dunia
persilatan lagi? Toako, jangan menerima !"
Bukan karena Macan-putih Beng Lok tak tahu betapa
lihaynya jago tua Tong Kui Tek itu, tetapi dia
memperhitungkan, jika dia berlima saudara maju
menempur kakek dan cucunya itu, tentulah dapat
menghadapi.
Pada saat suasana memuncak dalam ketegangan,
sekonyong-konyong terdengar pula suara ringkik kuda dan
kembali seorang penunggang kuda muncul.
Dia seorang lelaki berumur 30-an tahun, dandanannya
seperti seorang sasterawan, tangannya mencekal sebatang
kipas.
"Mana mempelai perempuannya ? Aku juga ingin lihat,"
selekas datang dia terus nyelonong bicara.
Saat itu kusir Thia Kim sedang membenahi tenda kereta
untuk ditutup lagi. Tetapi mata sasterawan yang celi itu
sudah dapat melihat Bi Ing yang cantik.
"Bagus" dia serentak berseru gembira: "banyak sudah
nona dan gadis kota yang kulihat, tapi jarang sekali sepeiti
nona mempelai yang berada dalam kereta itu. Benglo-hou
(macan tutul Beng), kuberimu seribu tail emas dan kasihlah
mempelai cantik itu kepadaku !"
"Kentut!" Macan-gembong Beng Ho marah "apakah
engkau hendak menghina aku ? Pergilah engkau tukang
petik bunga. Dalam lingkungan seratus li dari lembah limamacan
ini, jangan engkau berani campur tangan !"
Sastrawan yang berwajah pucat itu berkipas seraya
tertawa, "Macan tua Beng, jangan pura2 suci. Kalau engkau
menghendaki harta dan orang engkau pasti akan menggigit
jari. Lebih baik engkau yang mendapat uang dan aku
sicantik itu. Dengan begitu kita masing2 mendapat hasil,
apa tidak enak ?"
Sebenarnya Macan-tua Beng Ho itu takut kepada
sasteravvan pucat. Andaikata jago tua Tong Kui Tek tidak
berada disitu, tentuiah dia akan berunding untuk tawar
menawar dengan sasterawan berwajah pucat itu. Tetapi
karena sekarang dihadapan Tong Kui Tek, sudah tentu
Beng Ho| menjaga gengsi.
"Rase buduk, apa engkau tak tahu peraturan Rimbau
Hijau ? Jelas engkau takan mendapat bagian dari
perdagangan ini!"
"Tetapi aku tetap hendak minta bagian, engkau mau apa
?" sasterawan berwajah pucat itu tertawa menyeringai.
Sebelum Macan-gembong Beng Ho menjawab,, si dara
In Hong sudah menyelutuk, "Orang she San, boleh saja
engkau hendak ikut minta bagian tetapi engkau harus
menyerahkan suatu barang !"
Sasterawan berwajah pucat itu bernama Sun Kian,
seorang Don Yuan tukang merusak wanita atau istilahnya
dalam dunia persilatan disebut Jay- hoa-cat (penjahat
tukang petik bunga). Dia memiliki ilmu menutuk jalan
darah yang lihay serta tenaga-dalamnya juga tinggi, tetapi
karena terlalu mengumbar nafsu dengan wanita, mukanya
jadi pucat seperti mayat. Senjatanya adalah kipas. Kipasnya
itu bukan kipas biasa tetapi kerangkanya dari baja dan
daunnya juga dari plat baja yang tipis. Dapat digunakan
untuk menutuk jalan darah lawan. Thiat-san-jay-hoa-seng
atau Sastewan kipas-besi-pemetik-bunga, demikian orang
persilatan memberinya julukan.
Sun Kian tertawa, "Barang apa ? Kalau engkau nona In
Hong yang minta, sekalipun bintang di langit, tentu akan
kupetikkan."
Dara In Hong tertawa dingin, "Bintang untuk penghias
langit, menerangai bumi. Tak perlu bagiku. Cukup aku
minta sepasang gundu matamu saja. Lekas, koreklah sendiri
!"
Sun Kian tertawa, "Ah, nona In, mengapa minta yang itu
? Kalau tak punya gundu mata bagaimana aku dapat
menikmati wanita cantik ? Perlu apa aku harus hidup lagi ?
Nona In, permintaanmu itu terlalu tinggi. Minta saja yang
lain, aku pasti akan melakukan."
"Sudah kukatakan aku tak butuh apa2 lagi. Uang dan
mainan sudah cukup banyak. Hanya gundu mata itu yang
belum punya."
"Jangan bergurau nona In !"
"Siapa yang bergurau ?" sahut In Hong lalu berseru,
"engkong, dia tak mau mengorek biji matanya, sendiri.
Terpaksa kita harus mengoreknya. Engkong yang turun
tangan atau aku saja ?"
-oodwoo-
Jilid: 07
Hiruk pikuk.
Mendengar kata2 dara In Hong, sekalian orang tampak
tegang, terutama sasterawan mata ke keranjang itu.
Tong Kui Tek, engkong dari si dara, berkata tenang?,
"Tak perlu terburu-buru, dia kan belum turun tangan!"
Dengan kata2 itu Tong Kui Tek hendak memberi
peringatan bahwa apabila Sun Kian berani bertindak, Tong
Kui Tek tentu akan mengorek biji matanya.
Sasterawan tukang merusak wanita tenang2 saja
bersenyum. Tetapi sebenarnya dalam hati dia juga gentar
dan tak berani bertindak lebih lanjut.
Wan-ong Kui telah memperhitungkan situasi luar itu.
Kawanan begal dan penjahat itu tentu akan saling berebut.
Dia harus gunakan akal untuk mengadu domba mereka.
"Hm, apakah kalian anggap kereta itu milik kakek
moyang kalian?" serunya dengan geram, "masakan
seenaknya sendiri saja kalian mengadakan pembagian rejeki
seolah-olah harta dan nona dalam kereta itu sudah menjadi
milik kalian?"
Macan-gembong Beng Ho tertawa gelak2, "O, engkau
mengira engkau masih berhak memiliki barang yang engkau
antar itu?"
"Aku yang mengantar, aku yang bertanggung jawab,"
sahut Wan-ong Kui dengan marah, "kalau kalian hendak
merampok, harus tanya dulu pada pedangku ini apakah
mau menyerahkan atau tidak kepada kalian!"
"Uh, yang punya kewajiban, rupanya mulai unjuk gigi.
Lalu bagaimana kita?" Tong Kui Tek tertawa.
"Karena aku yang datang lebih dulu maka aku yang akan
menghadapi pengawal itu," kata Macan-gembong Beng Ho,
"Tong loya, kalau aku sampai rubuh, baru nanti engkau
yang maju!"
Dengan kata2 itu Beng Ho menyatakan bahwa menurut
peraturan dunia Rimba Hijau, yang datang lebih dulu, dia
yang berhak pada barang itu.
Tong Kui Tek tertawa gelak2, "Bagus, memang dengan
cara itu, kita tak saling merusak persahabatan. Sun laute,
engkau harus antri di belakangku. Kalau nanti aku kalah,
barulah engkau yang maju !'
Sebenarnya Sun Kian tak puas diatur begitu. Pengawal
kereta itu hanya seorang pemuda yang cakap seperti anak
perempuan. Tentu mudah bagi kelima harimau Lusan
untuk mengalahkannya. Dan kalau kelima harimau itu
menang, mereka tentu akan minta bagian yang paling
banyak. Kalau soal harta, itu sih boleh saja, terserah kalau
diambil mereka semua. Tetapi kalau mereka juga akan
mengambil mempelai perempuan, ah, dia pasti akan
menggigit jari. Dan diapun tahu bahwa di kalangan kelima
macan Lusan itu, Macan-putih Beng Lok juga paling gemar
akan paras cantik.
Hampir saja Sun Kian hendak menentang ucapan Tong
Kui Tek tetapi tiba2 terlintas dalam pikirannya, "Ah, dara
cucu Tong Kui Tek itu juga menghendiki si mempelai
perempuan tak mungkin dia akan menyerahkan begitu saja
kepada ke lima harimau Lusan. Hm, biarlah aku menerima
saja. Kalau lelaki tua dengan si dara itu nanti ribut dan
bertempur dengan kelima macan Lusan, mereka tentu akan
sama2 menderita luka. Pada waktu itulah aku baru turun
tangan untuk membereskan mereka semua. Tetapi kalau
sekarang aku menentang tentulah aku yang akan bertempur
deng an kelima macan Lusan itu."
Demikian setelah memperhitungkan untung ruginya,
akhirnya Sun Kian mengangguk tanda setuju.
"Nah, kalau begitu silakan saja engkau maju, macan
tua," seru In Hong.
"Jangan kuatir, nona In," sahut Beng Ho, "kalah atau
menang aku tetap akan mempersembahkan limaratus tail
emas kepadamu."
Habis berkata dia terus hendak maju tetapi Macan-hitam
Beng San cepat maju, "Toako, menghadapi pemuda
semacam itu, tak perlu toako yang maju, cukup serahkan
aku saja," katanya seraya mendahului melangkah
kehadapan Wan-ong Kui.
"Wan-ong Kui, apakah engkau benar2 tak mau
menyerahkan kereta itu ?" serunya.
"Aku sih boleh2 saja tetapi sayang pedangku ini tak suka
dengan tingkah laku manusia2 yang tak tahu undang2."
"Ha, ha, undang-undang ? Kerajaan sudah mengungsi ke
selatan, dimana-mana kacau. Mana ada undang-undang
lagi ?"
"Justeru karena kacau kita wajib menjaga undangundang.
Baik atau buruk, kerajaan Beng adalah negara kita.
Sebaik-baiknya raja Ceng, tetapi dia orang asing maka lebih
baik raja Beng. Dengan perbuatanmu mengacau undang2
ini, berarti engkau membantu orang Ceng yang hendak
merampok negeri kita itu !"
"Persetan raja Beng atau raja Ceng. Sudah berpuluh
tahun aku tinggal di daerah ini, hidup dan mendapat makan
disini. Daerah ini adalah daerah kami, kekuasaan kami.
Kamipun mempunyai undang2 sendiri di daerah ini.”
"Sudahlah, jangan banyak mulut." bentak Wan-ong Kui,
"kalau engkau mampu mengalahkan pedangku ini, baru
nanti erigkau boleh bicara lagi!"
"Lihat golok !" Beng San segera melayangkan golok
menabas kepala Wan-ong Kui. Tetapi Wan ong Kui cepat
menyelinap ke samping dan menabas lengan orang.
Macan-hitam Beng San terkejut. Cepat2 dia tarik
goloknya tetapi diluar dugaan Wan-ong Kui lepaskan
sebuah tendangan yang tepat mengenai lengan Beng San.
Jago ketiga dari kelima Macan Lusan itu tak mengira kalau
lawan memiliki jurus yang sedemikian hebat. Dan diapun
menyesal mengapa tadi hanya menarik pulang goloknya
dan tak mau loncat mundur.
Tring.....
Golok mencelat ke udara. Sesosok tubuh melesat maju,
menyambar golok dan berseru, "Sam-le, terimalah golokmu
dan silakan mundur. Biar aku yang menghadapi pemuda
cengeng ini !"
Yang maju itu adalah Macan-loreng Beng Wan jago
kedua dari Lu-san-ngo-hou. Dia bersenjata sepasang
gembolan atau besi bundar sebesar buah kelapa yang
berduri tajam dan memakai tangkai. Setiap gembolan besi
itu tak kurang dari limapuluh kati beratnya. Sepasang
gembolan besi itu disebut Song-thiat-jui. Sebenarnya sudah
jarang sekali orang persilatan yang menggunakan senjata
seberat itu. Tetapi Macan-loreng Beng Wan senang
memakai senjata itu karena berat dan perkasa.
Lo-cia-hian-si atau dewa Lo-cia-mempersern bahkanpermainan,
demikian jurus yang dimainkan Beng Wan
ketika membuka serangan kepada Wan-ong Kui. Sepasang
gembolan itu menderu-deru laksana dua ekor harimau yang
berkejar-kejaran uutuk menerkam mangsa, Hebatnya bukan
kepalang, anginnya sampai mengeluarkan bunyi seperti
prahara.
Wan-ong Kui terkejut akan kesaktian tenaga Beng Wan.
Walaupun ia memiliki po-kiam (pedang pusaka) yang dapat
menabas segala besi logam, tetapi ia tak mau sembarangan
adu kekerasan dengan lawan yang bertenaga hebat itu.
Ia tahu bagaimana harus menghadapi lawan, yang
bertenaga kuat itu. Hoa-gui-hong-u atau Bunga-mekarkumhang-
menari, maka berlincahan ia mengelilingi lawan.
Menghindari setiap kemung kinan adu senjata, mencuri
kesempatan pada setiap kemungkinan untuk balas
menyerang.
Rupanya sasterawan berwajah pucat Sun Kian yang
mengikuti jalannya pertandingan itu, diam2 cemas. Dengan
Macan-loreng saja kemungkinan pemuda Wan-ong Kui itu
sukar untuk menang, dan andaikata menang, masih ada
Macan-gembong Beng Ho, Macan-tutul Beng Gi dan
Macan-putih Beng Lok. Mampukah pemuda itu
mengalahkan mereka. Ah, kemungkinan besar, pemuda itu
tentu akan kehabisan tenaga dan kalah.
"Celaka, kalau kawanan Ngo-hou itu menang tentu sukar
untuk merebut mempelai yang cantik itu," pikirnya.
Akhirnya ia nekad. Selagi orang2 sedang bertempur, ia
hendak mengambil nona mempelai itu.
"Hai, mau kemana engkau!" tiba2 In Hong terkejut
ketika melihat Sun Kian sudah berada di depan kereta.
Sun Kian berpaling dan tertawa, "Ah, hanya sekedar
melihat bagaimana sesungguhnya mempelai dalam kereta
ini. Kalau memang cantik, kita nanti berunding. Tetapi
kalau tidak cantik, perlu apa aku membuang waktu tinggal
di sini?"
In Hong berpaling meminta persetujuan engkongnya.
Teapi sementara itu Sun Kian sudah langsung melangkah
maju dan menyingkap tenda dan susupkan kepalanya.
"Ah……..,” ia terlongong-longong ketika nona cantik
yang berada dalam kereta itu tersenyum manis kepadanya.
Sebagai seorang tukang petik bunga yang termasyhur,
Sun Kian banyak pengalaman dengan kaum wanita.
Melihat senyum nona itu, dia tahu artinya. Jelas nona itu
telah memberi hati kepadanya.
Dan semangatnyapun serasa terbang menyaksikan
kecantikan Han Bi Ing yang walaupun tidak dandan tetapi
masih tampak menonjol.
"Nona . . . aduh . . . . " tiba2 ia menjerit keras dan
terhuyung-huyung ke belakang seraya mendekap matanya
yang sebelah kiri.
In Hong terkejut, "Kenapa dia?" tanyanya kepada Tong
Kui Tek.
"Entah," sahut engkongnya, "eh, mengapa tangannya
berlumuran darah?"
In Hong juga melihat hal itu. Buru2 dia menghampiri.
Belum sempat dia bertanya, sekonyong-konyong melayang
sebuah benda kecil
bulat kearahnya.
"Ih ....," In Hong
menghindar. Ia
mendesis kaget ketika
benda itu jatuh
ketanah dan waktu
dilihatnya ternyata
sebutir biji yang masih
berlumuran darah.
"O, biji matamu
dikorek oleh nona
mempelai itu?" ejek In
Hong, "bagus, taci
dalam kereta, engkau
telah mewakili kami
untuk mengambil biji
matanya."
Sudah sakitnya bukan kepalang, masih diejek lagi,
seketika marahlah Sun Kian. Dengan me nahan sakit, dia
tebarkan kipas besinya dan menampar ke muka In Hong.
In Hong terkejut. Dia tak mengira kalau Sun Kian akan
menyerangnya. Sebelum kipas tiba, angin yang menampar
muka dara itu telah menyebabkan si dara menderita.
Mukanya serasa kaku dan panas. Hal itu menyebabkan ia
agak lamban untuk menghindar.
Tepat pada saat itu kipas besi Sun Kian pun sudah sudah
melayang tiba. Karena tak sempat menangkis maupun
menghindar, In Hong terpaksa pejamkan mata, paserah.
"Jangan mengganggu cucuku!" sekonyong-konyong jago
tua Tong Kui Tek loncat dan lepaskan sebuah pukulan Biatgoug-
ciang (pukulan membelah angkasa).
Sun Kian terkejut. Apabila ia lanjutkan kipasnya
menutuk muka si dara, dia tentu akan termakan pukulan
Biat-gong ciang. Namun untuk melepaskan sidara yang
sudah tak berdaya itu, dia merasa sayang.
Dukkkkk .... tangan kiri menjotos dada In Hong dan
tangan kanan Sun Kian dibalikkan untuk menampar
serangan orang dengan kipasnya.!
Darrrr.....terdengar letupan kecil ketika terjadi bentukan
antara tenaga dalam yang dipancarkan pada pukulan Biatgong
ciang dengan tamparan kipas besi.
Sun Kian terpental beberapa langkah. Ia menyadari
kalau tenaga-dalamnya masih kalah sakti dengan jago tua
Tong Kui Tik. Apalagi saat itu dia sedang menderita
kesakitan hebat karena biji matanya sebelah kiri telah
ditusuk dan dikorek keluar oleh nona dalam kereta tadi.
Maka jalan yang paling selamat hanyalah melarikan diri.
Kelak masih ada waktu untuk melakukan pembalasan.
"Tong lotiang, pada suatu hari aku pasti akan mencarimu
untuk menghimpaskan hutangmu hari ini !" serunya seraya
loncat melarikan.
Tong Kui Tek lebih penting menolong cucu
kesayangannya daripada mengejar Sun Kian.
"Hong, bagaimana engkau ?" serunya seraya mencekal
dara itu,
"Tidak apa2, engkong, hanya napasku sedikit sesak
karena pukulan jahanam itu. Mana dia sekarang ?" tanya In
Hong.
"Melarikan diri."
"Oh, mengapa engkong tak menangkapnya?"
"Aku menguatirkan keselamatanmu. Dan lagi diapun
sudah menderita pukulanku Biat-gong-ciang. Paling tidak
dia harus beristirahat selama tiga bulan baru sembuh," kata
Tong Kui Tik. Dia mengeluarkan sebutir pil dan suruh dara
itu minum.
"Beristirahatlah untuk memulangkan tenagamu, kata
Tong Kui Tek lalu menggandeng cucu ke bawah sebatang
pohon dan menyuruhnya duduk melakukan pernapasan.
Sementara dia tetap menjaga di sampingnya.
Ketika menempatkan diri memandang ke gelanggang
pertempuran, iapun terkesiap. Saat itu pertempuran telah
mencapai puncak ketegangan, Karena sampai sekian lama
belum mampu mengalahkai Wan-ong Kui, Beng Wan
geram sekali. Hm, kalau tidak kupancing dengan jurus itu
tentu sukar mengalahkannya," pikir Beng Wan.
"Awas !" sekonyong-konyong dia lemparkan gembolan
di tangan kiri keatas dan gembolan itu melayang turun
menimpa kepala Wan-ong Kui.
Wan-ong Kui terkejut dan cepat menabas gembolan itu.
Tetapi diluar dugaan, pada saat dia sedang memperhatikan
gembolan yang hendak menimpa kepalanya itu, tiba2 Beng
Wan ayunkan gembolan di tangan, menghantam dadanya.
"Celaka !" diam2 Tong Kui Tek mengeluh "dia tentu
binasa....."
Tetapi belum habis dia berkata, sebutir benda bundar
telah melayang dan menghantam tangkai gembolan
sehingga tersiak ke samping.
"Jangan membunuh orang !" serempak terdengar suara
orang berseru dan sesosok tubuh melayang ke tengah
gelanggang.
Keras sekali benda bundar itu menghantam tangkai
gembolan sehingga tangan Beng Wan terasa kesemutan.
Cepat dia salurkan tenaga untuk mencekal tangkai itu erat2.
Sementara Wan-ong Kui, setelah menghalau gembolan
yang mengancam kepalanya, lalu manyurut mundur.
"Siapa engkau !" selekas memperbaiki diri berdiri tegak
Beng Wan segera membentak pada pendatang itu.
Pendatang itu seorang pemuda cakap. Menilik
dandannya yang bagus, dia tentu putera seorang berpangkat
atau paling tidak ayahnya tentu seorang wan-gwe atau
hartawan.
"Mengapa engkau hendak membunuh orang?" balas
pemuda itu.
"Jangan turut campur urusanku !" bentak Beng Wan.
Pemuda cakap itu berpaling kearah Wan-ong Kui dan
bertanya, "Kongcu, maaf atas kelancanganku. Tetapi
bolehkah aku mendapat tahu, apa sebab kongcu bertempur
dengan dia ?"
Melihat pemuda itu seorang yang sopan dan tutur
katanya juga halus, Wan-ong Kui mau mem beri
keterangan, "Dia hendak merampok keretaku."
"Apakah kereta kongcu berisi barang berharga ?"
Wan-ong Kui mengangguk.
"Ho, ternyata engkau ini bangsa begal perampok," seru
pemuda itu kepada Beng Wan, "jangan mengharap kalau
aku mau melepaskan engkau !"
"Hm, engkau mau membantunya?" Beng Wan menegas.
"Ya."
"Bagus, majulah kalian berdua agar dapat menghemat
waktuku !"
"Tidak perlu, cukup aku seorang saja tentu sudah dapat
membekukmu," balas pemuda itu. Ia mencabut pedang dan
berseru pula, "hayo, kita mulai!"
Dia terus menyerang Macan-loreng Beng- Wan. Beng
Wanpun melayani. Tetapi saat itu dial hanya menggunakan
sebuah gembolannya.
Dengan cepat pemuda itu dapat mendesak lawan dan
pada suatu kesempatan, pemuda itupun serentak berteriak,
"Kena !"
Beng Wan tertusuk ujung pedang lawan yang tepat
mengenai lengan kanannya. Ia menyurut mundur
selangkah. Kesempatan itu tak disia-siakan pemuda itu. Dia
terus maju hendak menusuk lagi.
Tiba2 sebatang senjata rahasia piau melayang kearah
punggung pemuda itu, Tetapi rupanya punggung pemuda
itu seperti bermata. Cepat dia ayunkan pedangnya ke
belakang punggung, tnngng .... dengan tepat sekali dia
dapat menghalau jatuh piau itu. Namun karena ia harus
berbuat begitu, dia tak jadi melanjutkan menyerang Beng
Wan.
"Ho, bagus." seru pemuda itu ketika melihat Macanputih
Beng Lok tegak di belakangnya, "kalau menantang,
jangan main curang menyerang dari belakang."
"Aku hanya mencontoh tingkahmu," sahut Macan-putih
Beng Lok, "bukankah tadi engkau juga melontar batu untuk
menyerang secara gelap kepada ji-koko?"
"Tetapi aku hanya bermaksud menghentikannya saja
maka yang kuserang adalah senjatanya. Bukan seperti
engkau yang hendak menyerang secara gelap dari
belakang."
"Jangan banyak mulut!" bentak Macan-putih yang sudah
siap dengan senjatanya, sebatang pedang.
"Baik, mari kita bertempur untuk membuktikan siapa
yang lebih sakti ilmu pedangnya," kata Beng Lok. Dia
segera membuka serangan dengan jurus Ki-hong-jui-hay
atau Angin-lesus-meniup-laut.
"Bagus," sambut pemuda cakap itu seraya memutar
pedangnya deras sekali. Tring;…., tring, iring .... terdengar
dering dua buah senjata tajam saling beradu.
Pada lain saat keduanya loncat mundur dan memeriksa
senjata masing2. Setelah mendapatkan senjatanya tak
kurang suatu apa, keduanya lalu maju lagi.
Diantara kelima macan, hanya Macan-tutul Beng Gi
yang belum maju. Melihat Macan-putih Beng Lok sudah
tarung dengan pemuda pendatang yang tak dikenal itu
maka Beng Gi pun segera maju menghampiri Wan-ong
Kui.
"Mari aku yang menemani engkau bermain-main,"
serunya.
Kelima Macan Lusan itu, masing-masing menggunakan
senjata yang berbeda. Macan-gembong Beng Ho pakai
senjata yang aneh yaitu pipa hun-cwe (pipa dari buluh
bambu yang panjang). Macan-loreng Beng Wan pakai
sepasang gembolan berduri. Macan-hitam pakai golok Kuithau-
to (golok yang ujungnya berbentuk seperti kepala
setan) Macan tutul Beng Gi pakai rantai yang ujungnya
diberi empat kait baja yang tajam. Sedang Macan-putih
Beng Lok menggunakan pedang.
Agak terkejut Wan-ong Kui melihat senjata yang dipakai
Beng Gi. Selama berkelana keluar, belum pernah dia
bertemu dengan lawan yang menggunakan serjata seaneh
itu. Namun ia tak gentar karena memiliki pedang pusaka
yang dapat menabas segala logam.
Empat kait baja berputar-putar deras seperti burung
camar menyambar. Anginnya sampai terdengar menderuderu.
Wan-ong Kui segera mengeluarkan jurus ilmupedang
yang paling diandalkan untuk pembelaan diri yakni jurus
Peh-hoa-ki-gui atau Seratus-bunga-bermekaran. Seketika
berhamburanlah sinar putih bagaikan bunga-api bertaburan
di udara.
Tring, tring, ....
Terdengar beberapa kali dering senjata beradu. Dan
sambaran burung camar itu makin lama makin mengecil
dan sampai akhirnya lalu lenyap. Demikian pula dengan
rantai. Makin lama makin pendek.
"Bangsat, terimalah!" terdengar Beng Gi berteriak keras.
Ternyata senjata rantai berkait dari Macan-lutul Beng Gi
telah terpapas menjadi beberapa kutungan oleh pedang
Wan-ong Kui. Bermula kaitnya, lalu rantai. Karena marah
Beng Gi serentak menabur lawan dengan senjata rahasia
paku beracun ( thiat-ting ) . Tetapi paku2 beracun itu tak
kuasa menembus gulungan sinar perak yang seolah
membungkus tubuh Wan-ong Kui.
Setelah dapat menyapu serangan paku beracun, Wanong
Kui terus mau menyerang Beng Gi tetapi pada saat itu
Macan-gembong Beng Ho Iompat menghadangnya.
"Kalau engkau mampu mengalahkan hun cvve ini, aku
dan saudaraku akan pergi dari sini,” seru Macan-gembong
Beng Ho.
'"Hm, tak perlu jual omong, kalau engkau kalah, engkau
memang harus minggat dari sini. Tetapi entah, apakah
nyawamu yang pergi atau mayatmu," dengus Wan-ong Kui.
"Sombong!"' bentak Macan-gembong Beng Ho seraya
memutar pipa hun-ewe. Tetapi tepat pada saat itu terdengar
suara orang memekik kaget, "Hai, mana taci cantik itu ... . !
"
Beng Ho terkejut karena terpengaruh mendengar
teriakan itu. Ia berhenti dan berpaling ke arah kereta.
Ternyata setelah peredaran darahnya lancar lagi, In
Hong berbangkit dan berkata kepada eng-kongnya,
'"Engkong, aku hendak melihat tici dalam kereta itu."
"Awas, ingat nasib sasterawan pucat tadi, biji matanya
yang kiri telah ditusuk dan dicabut nona itu," Tong Kui Tek
memberi peringatan.
"Ah, masakan taci itu marah kepadaku. Tetapi baiklah,
engkong, aku akan berhati-hati," kata In Hong seraya
menghampiri kereta.
Memang dia bersikap hati-hati menjaga setiap
kemungkinan yang tak diinginkan. Sejenak berhenti di
depan pintu, diapun segera menyingkap kain tenda dan
serentak menjeritlah dia, dengan kejut besar ketika melihat
nona calon pengantin itu tak berada dalam gerbong kereta.
"Hong, apa yang terjadi ?" seru Tong kui Tek seraya
menghampiri.
"Nona itu. hilang, engkong !" seru In Hong pula.
"Hilang ?" Tong Kui Tek juga ikut terkejut.
"Ya, lihatlah," In Hong menyingkap lebar2 tenda kereta.
"Aneh," seru Tong Kui Tek ketika melontar pandang
kedalam kereta, "kemana dia ?"
In Hong teringat pada kusir yang menjaga di kereta itu.
la mencarinya tetapi juga tak bertemu, "Ah, kusirnya juga
menghilang, eng-kong !"
"Oh Tong Kui Tek makin terkejut,
"Apakah dia pergi bersama nona itu."
"Mungkin," sahut In Hong, "mereka tentu pergi pada
saat aku sedang bersemedhi melakukan pernapasan tadi dan
kelima macan itu sedang terlibat dalam pertempuran seru."
"Jika begitu tentu belum lama. Kalau kita kejar tentu
dapat tersusul," kata Tong Kui Tek.
"Benar, engkong, mari kita kejar mereka !" si dara In
Hong terus mengajak engkongnya lari mengejar nona itu.
Ternyata percakapan engkong dengan cucunya itu
terdengar oleh orang2 yang sedang bertempur itu.
Merekapun berhenti.
Wan-ong Kui lari menghampiri kereta dar membuka
pintu, "Ah, Bi Ing sudah lari. Tentulah paman Thia
melaksanakan pesanku. Karena mencemaskan diriku
terancam bahaya, dia terus mengajak Bi Ing lari."
Kemudian dia berpikir. Lebih baik segera mencari Bi Ing
dan kusir itu supaya dapat melanjutkan perjalanan. Soal
kereta dan isinya, biarlah ditinggal saja. Nanti dapat
menyewa kereta atau membeli kuda lagi.
"Hai, kawanan perampok," serunya kepada kelima Lusan-
ngo-hou, "kalau mau merampok keretaku, silakan.
Tetapi jangan mengganggu aku lagi !" Dia terus ayunkan
langkah.
"Tunggu kongcu," tiba2 pemuda yang mem-bantuya tadi
menghampiri, "mau kemanakah kong cu ini ?"
Wan-ong Kui hentikan langkah. Ia memandang pemuda
itu. Wajahnya memang cakap tetapi matanya kurang baik,
memancarkan sifat yang nakal. Tetapi mengingat dia telah
membantunya,! Wan-ong Kuipun memberi keterangan
kalau dia hendak menyusul sumoaynya.
"Ai, kebetulan sekali, aku juga hendak menuju ke utara,"
kata pemuda itu dengan tertawa, "apa kongcu tak keberatan
kalau kita sama2* seperjalanan ?"
"Mari," Wan-ong Kui sungkan menolak. Keduanya
dengan cepat sudah lenyap dibalik gerumbul.
Macan-putih Beng Lok hendak menyusul tetapi dicegah
Beng Ho, "Tak perlu. Yang penting kita mendapatkan harta
itu."
Macan pertama dari Lusan itu segera menghampiri
kereta lalu masuk kedalam gerbong. Dia membuka tutup
peti. Seketika terbelalaklah matanya lebar2.
"Mengapa toako," seru Macan-loreng Beng Wan.
"Kita ditipu oleh bajingan tengik itu!" teriak Beng Ho.
"Ditipu ? Bagaimar a kita dapat ditipu ?"
"Lihatlah peti ini. Isinya hanya batu !"
Keempat saudaranya terkejut. Mereka masuk kedalam
kereta dan membongkar tiga peti harta itu. Tetapi mereka
menggeram keras ketika peti-peti itu berisi batu semua.
"Ah, sial dangkal," Beng Lok menggerutu, "uang tidak, si
cantikpun tidak. Hari ini benar-benar kita mati kutu."
"Kita kejar mereka !" seru Macan-hitam baik kita jaga di
sarang sendiri. Kalau memang sudah suatnya mendapat
rejeki, kan ada lain korban lagi yang lewat disini."
Mereka lalu pulang dengan hati kecewa.
Sementara di perjalanan, pemuda itu selalu mengajak
Wan-ong Kui bicara sehingga Wan-ong Kui mendesuh
dalam hati, "Hm, ceriwis sekali orang ini....."
Setelah mendengar nama Wan-ong Kui, pemuda itupun
memperkenal diri dengan nama Su Hong Liang.
"Mengapa Kongcu memakai nama seaneh itu ?"
tanyanya katena heran mendengar nama. Wan-ong Kui.
"Itu nama pemberian orangtuaku,'" sahut Wan-ong Kui.
Kemudian atas pertanyaan Su Hong Liang, karena
merasa telah dibantu terpaksa Wan-ong Kui menceritakan
tentang tujuan perjalannya yalah nengantar nona itu
mencari putera Kim Thian Cong di gunung Lou-bu-san.
"O, kebetulan sekali, aku juga akan ke Siam say," kata Su
Hong Liang gembira.
Diam2 Wan-oug Kui mengeluh. Sebenarnya dia tak
senang menempuh perjalanan dengan Su Hong Liang itu.
Diam2 ia memperhatikan bahwa dibalik wajahnya yang
cakap, rupanya Su Hong Liang itu seorang hoa-hoa koncu
atau pemuda yang gemar wanita cantik.
"Aneh," tiba2 Wan-ong Kui bergumam.
"Mengapa ?" tanya Su Hong Liang.
"Kusir itu seharusnya juga menunggu kedatanganku
tetapi mengapa sampai sekian jauh kita berjalan, dia belum
tampak sama sekali ?"
"O, apakah kusir itu membawa sumoaymu?" tanya Su
Hong Liang.
"Ya, memang telah kupesan demi untuk menyelamatkan
sumoay."
"O, lalu kemana dia sekarang ?"
"Itulah justeru yang kuherankan. Semestinya dia
bersembunyi tak jauh dari tempat pertempuran dan
seharusnya dia menunggu ditempat tersembunyi yang tak
jauh dari jalan besar."
Saat itu sudah menjelang petang dan untunglah mereka
tiba disebuah kota yang cukup ramai yalah kota Teng-ciu.
"Kita terpaksa bermalam di kota ini," kata Su Hong
Liang.
Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang bersih.
Cui-iok-can demikian nama rumah penginapan yang
mereka masuki. Sebuah rumah penginapan yang terletak
agak tenang di pinggir kota. Arak dan masakan hidangan
rumah makan itu terkenal kezat. tempatnya indah, tak
heran kalau banyak tamu yang suka menginap di rumah,
penginapan itu.
"Bung, ada kamar,?" tanya Su Hong Liang ketika
seorang pelayan menyambut kedatangannya.
"Ada tuan," sahut pelayan dengan gopoh dan hormat,
"tuan perlu berapa kamar ? Yang besar atau yang kecil ?
"Satu yang besar."
"Dua yang kecil," tiba2 War-ong Kui menyelutuk.
"Dua ?" Su Hong Liang terkejut.
"Ah, perlu apa harus dua. Kita kan dapat minta satu
kamar yang berisi dua ranjang."
"Tidak, sebaiknya kita seorang pakai satu kamar." kata
Wan-ong Kui agak tersipu-sipu.
Su Hong Liang agak heran tetapi karena melihat Wanong
Kui berkeras menghendaki dua kamar, apa boleh buat,
diapun menurut saja.
Setelah mandi dan ganti pakaian, mereka ke ruang
makan pesan hidangan. Rumah penginapan itu juga sebuah
rumahmakan. Banyak juga para pengunjungnya.
"Tidak, aku tidak biasa minum arak," kata Wan-ong Kui
waktu Su Hong Liang hendak menuangkan arak pada
cawan dihadapannya.
"Ah, arak ini harum sekali. Minum sedikit tak jadi apa
Kui-heng," Kata Su Hong Liang.
"Terima kasih, tetapi aku memang benar2 tak pernah
minum," kata Wan-ong Kui.
Su Hong Liang tak berani memaksa. Hanya dalam hati
dia makin heran atas diri Wan-ong Kui. Diajak tidur
sekamar, tak mau. Diberi arak, menolak. Ah, mengapa
seorang anak laki begitu pemalu seperti gadis saja ?
"Gadis,?" tanyanya dalam hati, "ya, memang kulihat
orang ini mempunyai beberapa sifat seperti Anak
perempuan. Wajahnya begitu cakap bahkan terlalu cakap
bagi seorang anak laki. Hm, apakah dia seorang banci ?"
Hidanganpun datang dan keduanya segera disantap.
"Kui-heng," kata Su Hong Liang yang menyebut Wanong
Kui dengan panggilan Kui-hang atau saudara Kui,
"apakah engkau sering berkelana ke luar ?"
"Tidak."
"Ya, benar," kata Su Hong Liang," kalau melihat sikap
Kui-heng yang serba kikuk ini, rasanya memang baru kali
ini engkau keluar mengembara, bukan ?"
"Hm."
"Kui-heng berasal dari kota mana ?"
"Tak perlu kukatakan karena sekarang sudah dirampas
oleh tentara Ceng."
"Sekarang di sebelah utara, sisa2 lasykar Tani dari Li Cu
Seng mulai bergerak. Kabarnya pimpinan yang baru
seorang muda yang berkepandaian tinggi. Apakah Kui -
heng berminat hendak menggabung diri dengan mereka ?"
"Aku belum sempat memikirkan soal lain kecuali
mengantarkan sumoayku ke Lou-hu-san," jawab Wan-ong
Kui, "apakah Su-heng juga hendak bergabung dengan
mereka ?"
Su Hong Liang agak gelagapan mendengar pertanyaan
balasan itu. "Sekarang ini dimana-mana timbul gerombolan
yang menamakan diri sebagai lasykar pejuang. Pada hal
mereka hanya bertujuan untuk merampok harta benda
rakyat. Maka selama ini aku masih berhati-hati untuk
menyelidiki suasana."
Tengah mereka bicara masuklah seorang wanita gemuk
setengah tua bersama seorang nona yang cantik. Nona itu
terlalu menyolok dandanannya, Bibirnya dipoles gin-cu
merah sekali, memakai baju tipis. Sepintas kesan, keduanya
itu ibu dan puterinya.
Tetamu2 yang berada dalam ruang, terbelalak. Bukan
hanya kesima menyaksikan nona cantik yang berdandan
berani itu, pun heran karena kehadiran mereka. Jarang atau
hampir tak ada kaum wanita yang masuk ke rumah makan.
Semua tamu adalah kaum lelaki.
Tiba-tiba nona cantik yang genit itu berdi dari kursi lalu
menghampiri Su Hong Liang, “Su kongcu, engkau berada
disini ?"
Su Hong Liang terkejut. Tetapi sebelum ia sempat
menjawab, nona itu sudah tiba di hadapannya, melirik pan
Wan-ong Kui lalu berkata. "Su kongcu, sejak tentara Ceng
menduduki kota-raja, akupun segera hijrah ke pedalaman
barat dan akhirnya menetap di kota ini. Su kongcu, mari
singgah ke rumahku . ,.. ."
"Siapa engkau, aku tak kenal padamu !" tiba2 Su Hong
Liang membentak.
"Ai", Su kongcu ini bagaimana, masakan kong cu lupa
padaku, si Mawar dari. . . ."
Su Hong Liang serentak berbangkit, memberi kicapan
mata lalu pura2 membentak marah, "Ngaco ! Kukatakan
aku tak kenal dengan engkau, pergilah !"
Rupanya nona genit yang menamakan diri dengan nama
Mawar itu dapat menangkap isyarat mata Su Hong Liang.
Dia tahu kalau Su Hong Liang malu kepada sahabatnya,
pemuda cakap Wan-ong Kui, yang duduk disampingnya.
"Ah, kongcu sungguh pelupa sekali. Aku tinggal di villa
Cian-bong (Seribu mimpi) di ujung barat kota ini. Apabila
kongcu teringat kalau sudah pernah kenal aku, harap
kongcu berkunjung kesana. Aku selalu gembira menyambut
kedatangan kongcu ....," nona genit itu dengan langkah
gemulai kembali lagi ke tempat duduknya. Tampak ia
berbisik-bisik dengan wanita gemuk. Keduanya tertawa
mengikik.
"Siapakah nona itu, Su-heng ?" tanya Wa ong Kui.
"Entahlah, dia ngawur saja. Pada hal aku tak kenal,"
kata Su Hong Liang tersipu-sipu merah mukanya.
Tiba2 muncul pula sekawanan prajurit terdiri dari lima
orang. Mereka masuk sambil tertawa-tawa keras. Begitu
duduk terus berteriak memanggil pelayan, "Mana
pelayannya, cepat!"
Seorang pelayan bergegas menghampiri.
"Lekas bawakan dua kati arak wangi dan daging bakar !"
seru prajurit yang bertubuh tinggi kesar.
"Baik, loya," pelayan gopoh menyediakan, pesanan.
Prajurit2 itu minum sambil bicara dan tertawa keras,
seolah menganggap seperti berada di rumah sendiri.
"Tuh, ada makanan sedap," tiba2 salah orang berkata
sembari menuding kearah meja tempat Mawar dan
perempuan gemuk duduk.
'Ya, besok kita akan dikirim ke medan pertempuran.
Malam ini kita harus puaskan diri."
"Benar, kita yang disuruh menyabung nyawa tetapi
pimpinan enak2 duduk di markas. Tiap hari minum arak
dan main perempuan. Sedangkan kita prajurit kerucuk,
disuruh mati-matian mengadu jiwa."
"Benar, bung," seru orang yang ketiga, “besok berangkat
ke medan perang, malam ini kita harus bersenang-senang
sampai puas !"
"Tepat, itu dia !" prajurit pertama yang tinggi besar
serentak berbangkit terus menghampiri si cantik Mawar,
“ai, nona cantik, mari minum di mejaku saja !" — ia terus
menarik tangan Mawar untuk digelandang ketempat temantemannya.
"Bagus Toa Lim, ini baru hidangan !" seru kawankawannya.
"Sayangnya cuma satu !"
"Ah, masakan Toa Lim habis. Kita kan dapat bagian
nanti!"
"Ah, tetapi mana nona sekecil itu mampu ini melayani
kita berlima !"
Prajurit tinggi besar duduk dan si Mawar dipangkunya,
dirangkulnya dengan mesra lalu diciumnya. Mawar diam
saja.
"Toa Lim, wah engkau menyiksa aku'." seru seorang
prajurit yang mukanya merah. Rupanya ia sudah mabuk.
"Mana tahaannn !" teriak prajurit yang bertubuh kekar
seraya menyambar tangan Mawar dan hendak ditariknya.
"Ho kunyuk, aku belum puas, mengapa engkau berani
mengganggu," prajurit tinggi besar membentak dengan
mata mendelik.
"Ah, tetapi aku .... aku tak kuat . . . . ," prajurit bertubuh
kekar itu tersengal-sengal napas.
"Lu ambil saja yang jemuk itu !" seru prajurit yang
memangku Mawar.
"Wah, sudah tua," gerutu prajurit tegap itu, "tetapi apa
boleh buat ...." — ia terus lari menghampiri wanita gemuk
itu. Sebenarnya wanita gemuk itu sudah berumur 50-an
tahun, tetapi karena badannya gemuk segar dan
dandanannya masih menyala, orang mengira kalau dia baru
berumur 40-an tahun.
Begitu tiba, prajurit tegap itu terus, menyeretnya. Tetapi
karena kasar dan keras wanita gemuk itu kesakitan, "Aduh
.... aduh . . , .
"Lekas !" bentak prajurit tegap seraya menariknya keras2.
Brakkkkk .... karena ditarik begitu keras, perempuan itu
sempoyongan, menabrak meja sehingga meja terbalik dan
perempuan gemuk itu jatuh.
"Lau-ma," teriak Mawar seraya meronta dari pelukan
prajurit tinggi besar, terus lari menghampiri perempuan
gemuk yang tak lain adalah induk semangnya.
"Bagus, engkau saja," prajurit tegap lepaskan si gemuk
yang dipanggil Lau-ma itu, terus hendak memeluk Mawar.
Plak .... Mawar menampar muka prajurit itu.
"O, enak sekali tamparanmu, cantik," seru prajurit tegap
seraya maju hendak memeluk Mawar. Mawar menjerit dan
lari ke samping, tepat ke tempat Su Hong Liang dan Wanong
Kui duduk.
"Kongcu, tolonglah aku," Mawar merintih gemetar,
Saat itu prajurit tegap sudah maju mengejar. Su Hong
Liang terkejut ketika melihat Wan-ong Kui berdiri. Buru2
dia melonjak dari kursinya, "Kui-heng, biar aku saja yang
menghajarnya !"
"Ho anakmuda, engkau mau melindungi si cantik itu, ya
?"
"Disini rumahmakan, jangan mengganggu tetamu2 yang
sedang makan," sahut Su Hong Liang.
"Apa pedulimu ?" prajurit itu tetap melangkah maju
seolah tak menghiraukan Su Hong Liang.
Dukkkkkk.....
Tinju Su Hong Liang melayang ke dada prajurit itu dan
prajurit itupun sempoyongan ke belakang, menabrak meja
dan jatuh sungsal sum-bal.
Dua prajurit yang lain cepat maju. Yang satu menolong
prajurit tegap, yang satu menghampiri Su Hong Liang, "Eh,
kunyuk, engkau berani melawan prajurit kerajaan !"
"Siapapun yang mengacau keamanan, akan kubasmi!"
"Bangsat !" prajurit itu terus ayunkan tangannya. Tetapi
secepat itu Su Hong Liang menyambar tangannya terus
ditelikung ke belakang punggung," Auhhhhh....., "prajurit
itu menguak kesakitan sekali. Tulang lengannya serasa
putus.
Melihat itu prajurit tinggi besar tadi berbangkit dan
menghampiri, "Majulah !" teriak Su Hong Liang seraya
mendorongkan prajurit yang dikuasainya ke muka. Prajurit
itu terhuyung-huyung seperti layang2 putus dan hendak
membentur prajurit tinggi besar. Prajurit tinggi besar
terkejut. Buru2 dia hendak menyambut supaya tubuh
kawannya itu jangan sampai rubuh, uhhhh .... bukannya
berhasil menghentikan laju tubuh kawannya, kebalikannya
dia malah ikut terdorong bersama kawan itu,
brakkkkk.....keduanya membentur meja dan jatuh tumpang
tindih.
Ternyata tubuh prajurit yang didorong Su Hong Liang
tadi, walaupun tampaknya sudah kehilangan tenaga, tetapi
waktu disambut oleh prajurit tinggi besar itu tak kuat.
Tubuh kawannya itu serasa didorong oleh arus tenaga yang
terlampau kuat sekali.
Rupanya kawanan prajurit itu tahu kalau pemuda cakap
itu memiliki ilmu kepandaian tinggi Mereka segera
melarikan diri.
Mawar menghaturkan terima kasih kepada Su Hong
Liang tetapi pemuda itu menjawab dengan dingin, "Lekas
bawa pulang Liu-ma dan jangan berada disini !"
Ciang kui atau pemilik rumahmakan itu juga
menghampiri, " Wih, kawanan prajurit memang suka bikin
onar. Mereka makan minum sepuas-puasnya tetapi tak mau
membayar. Kadang malah membawa pulang beberapa
hidangan."
Wan-ong Kui kasihan melihat ciang-kui itu, katanya,
"Jangan kuatir, berapa kerusakan tempat ini, aku yang
mengganti."
"O, terima kasih, kongcu, terima kasih," ciang - kui,
gopoh memberi hormat.
"Ciang-kui, pasukan manakah yang menduduki kota ini
?" tanya Su Hong Liang.
"Pasukan yang menguasai kota ini dibawah Lou Liang
Co ciangkun." kata ciang-kui.
"Hm," desuh Su Hong Liang lalu mengajak Wan-ong
Kui melanjutkan hidangannya lagi.
Tempat yang porak poranda, telah diatur baik lagi dan
para tetamupun melanjutkan hidangannya masing2.
Tak berapa lama terdengar derap kuda lari yang riuh.
Dan cepat sekali rombongan kuda itu berhenti di depan
rumahmakan. Penunggangnya berbamburan turun dan
terus menyerbu kedalam rumahmakan. Mereka adalah
prajurit2 yang bersenjata lengkap. Pemimpinnya seorang
perwira berkumis lebat.
''Mana mata-mata yang berani menganiaya prajurit
kerajaan itu ?" serunya seraya mengeliarkan pandang
kearah tetamu.
Su Hong Liang dan Wan-ong Kui serempak berbangkit,
"Aku!" seru Hong Liang.
"Ho, mengapa engkau berani melukai anak buahku ?"
seru perwira berkumis lebat itu.
"Anakbuahmu bertingkah berandalan, mengganggu dan
memaksa wanita di tempat ini. Terpaksa aku turun tangan
menghajar mereka !"
"Tangkap !" perintah perwira itu kepada anakbuahnya.
"Tunggu," seru Su Hong Liang,
"Mau apa engkau ?"
"Siapa jenderal yang memimpin pasukanmu?
"Jenderal Lau Liang Cu."
"Baik, antarlah aku kehadapan Lau ciang-kun," kata Su
Hong Liang.
"Su-heng, mengapa engkau menyerah?" Wan-ong Kui
berseru heran, "kita amuk saja kawanan kurcaci itu."
"Sabar, Kui - heng, "kata Su Hong Lian, "nanti
dihadapan jenderal Lau Liang Cu, akan ki beber tingkah
laku prajurit2nya. Jangan kuatir, kudengar jenderal Lau itu
seorang yang keras tapi bijaksana. Dia tentu marah kepada
anakbuahnya.
Melihat sikap Su Hong Liang begitu yakin, terpaksa
Wan-ong Kui menurut. Demikian kedua pemuda itu terus
dibawa oleh kawanan prajurit berkuda. Ternyata mereka
adalah pasukan berkuda bagian regu jago panah dari
pasukan jenderal Lau Liang Co.
Tiba di markas, ternyata jenderal Lau sedang keluar
melakukan inspeksi. Kedua pemuda itu di-jebloskan dalam
tahanan.
"Jangan kuatir Kui-heng, apabila Liu ciang co pulang,
kita tentu akan dibebaskan," Su Hong Liang menghibur.
"Apa engkau kenal dengan jenderal itu?"
"Tidak, tetapi dia seorang jenderal yang teliti dan jujur."
"Sebenarnya kalau kita mau, kita tentu dapat
mengalahkan pasukan berkuda itu," masih Wan-ong Kui
menyatakan rasa tak puasnya.
"Ah, Kui-heng," kata Su Hong Liang, "hitung2 sebagai
pengalaman masuk sel tahanan ini. Benar, kita memang
dapat mengalahkan mereka. tetapi kurasa tak perlu. Kita
hendak menegakkan hukum dan keamanan, mengapa kita
akan gunakan kekerasan melawan tentara? Bukankah nanti,
kalau sampai terjadi pertempuran, tentu ada korban yang
jatuh? Bukankah kita malah akan dipersalahkan jenderal
Lau?"
Wan-ong Kui mengangguk. Diam2 dia dapat menerima
pembelaan Su Hong Liang itu.
Tak berapa lama seorang prajurit datang hendak
mengambil mereka untuk dihadapkan kepad jenderal Lau.
"Baik, tunggu dulu diluar," kata Su Liang lalu mendekati
Wan-ong Kui, "Kui-heng biar aku sendiri saja yang
menghadap. Kui-tunggu disini. Apabila sampai terjadi
sesuatu dengan diriku, berusahalah untuk meloloskan diri.”
"Ah, sebaiknya kita berdua sama2 menghadap. Kalau
akan dihukum, biarlah aku juga dihukum."
'"Jangan Kui-heng, percayalah kepadaku. Aku dapat
mengatasi soal ini. Begitu dibebaskan aku tentu akan
menjemput Kui-heng kemari."
Setelah melihat kegagahan pemuda itu dalam membela
wanita yang hendak dipaksa prajurit2 kasar di rumahmakan
tadi, Wan-ong memang makin bertambah percaya kepada
Hong Liang. Dan mendengar alasan Su Hong Liang itu,
iapun percaya saja.
"Lho, mengapa hanya engkau seorang?” tegur prajurit
yang menjemput.
"Dia sedang sakit, biar aku sendiri saja menghadapi,"
kata Wan-ong Kui dengan pelahan.
Prajurit itu hendak bicara tetapi Su Liang terus melesat
keluar sehingga mereka terpaksa mengikuti.
Tiba di hadapan jenderal Lau Liang Co, jenderal itu
terkejut dan buru2 berdiri dauri kursi lalu menyongsong,
"Oh, Su kongcu, maaf, aku tak tahu."
"Ah, tak apa ciangkun. Memang aku yang bersalah,"
kata Su Hong Liang.
Prajurit tinggi besar dan keempat kawannya yang berada
di rumah makan tadi, juga hadir di-situ. Mereka telah
mengadu kepada jenderal Lau Liang Co tentang pemuda Su
Hong Liang yang berani menghajar mereka, "Kemungkinan
pemuda itu tentulah mata2 yang sengaja hendak mengacau
ke daerah kita," kata prajurit tinggi besar itu.
Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat jenderal
Lau malah tersipu-sipu menyambut Su Hong Liang. Dan
lebih terkejut pula ketika setelah mendengar pembicaraan
Su Hang Liang mengenai peristiwa dalam rumahmakan itu,
jenderal Lau terus menuding mereka, "Bangsat kalian ini.
Kalian berani main perempuan di rumahmakan tetapi
malah menuduh Su kongcu ini yang mengacau. Hm, kalian
tahu siapa Su kongcu ini? Su kongcu adalah putera
keponakan dari mentri peng-poh-sing-si Su Go Hwat
tayjin!"
Mendengar itu gemetarlah kelima prajurit itu.
"Kho kunsu!"
"Siap!" seru seorang prajurit berpangkat kunsu atau
sersan.
"Bawa kelima prajurit itu ke lapangan dan penggal
kepalanya!" perintah jenderal Lau.
"Baik, ciangkun."
Tetapi seketika itu Su Hong Liang berseru mencegah,
"Tunggu dulu," kemudian dia berkata kepada jenderal Lau,
"Lau ciangkun, kurasa hukuman penggal kepala terlampau
berat. Cukup asal mereka menyadari kesalahannya dan
berjanji takkan melakukan hal semacam itu lagi."
"Tetapi disiplin prajurit harus ditegakkan, kongcu. Dan
lagi sekarang ini yang berlaku adalah hukum perang," kata
Lau Liang Co.
"Benar," sahut Su Hong Liang, "tetapi mereka hanya
mabuk dan main perempuan, tidak sampai membunuh
orang. Biarlah kumintakan keringanan untuk mereka."
"Hai, kamu berlima, mengapa tak lekas menghaturkan
terima kasih kepada Su kongcu yang telah menolong
engkau dari hukuman mati!" teriak jenderal Lau.
Kelima prajurit itu gopoh berlutut di hadapan Su Hong
Liang, minta maaf dan menghaturkan terima kasih.
"Asal kalian benar2 bertobat dan menyadari, bahwa
tindakan kalian itu akan merugikan nama baik pasukan
kerajaan Beng dan menimbulkan kebencian rakyat, aku
sudah gembira."
Demikian setelah kawanan prajurit itu disuruh keluar;
barulah Su Hong Liang berhadapan dengan jenderal Lau
Liang Co. Atas pertanyaan jenderal Lau, Su Hong Liang
mengatakan bahwa ia sedang menjalankan perintah dari
pamannya Su Go Hwat untuk meyampaikan surat kepada
para panglima di daerah2.
"O, surat apa sajakah itu ?"
"Kalau tak salah," kata Su Hong Liang, "siokhu (paman)
akan mengadakan pemindahan besar-besaran dalam
menyusun pertahanan menghadapi serangan pasukan
musuh."
"O, memang penempatan panglima yang tepat didaerah
yang penting, mutlak sekali dilakukan. Terutama daerah di
garis depan, merupakan Kunci pertahanan yang utama.
Garis depan itu harus diperkuat sedemikian rupa dan harus
dipimpin oleh panglima yang cakap."
"Ya," sambut Su Hong Liang, "tetapi menurut, pendapat
ciangkun, bagaimana kira2 keadaan pasukan kita dalam
peperangan besar yang panjang ini ?"
Lau Liang Co terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia
membatin, apakan putera keponakan dari mentri
pertahanan ini, sengaja hendak memancing-mancing
sesuatu padanya. Hm, aku harus hati-hati, pikirnya.
"Peperangan ini masih sukar diramalkan bagaimana
kesudahannya," katanya, "memang musuh sudah berhasil
menduduki kotaraja Pakkia dan telah memberi suatu
kegoncangan hebat pada pemerintahan kerajaan sehingga
baginda sampai bunuh diri, mentri dan panglima moratmarit
tak keruan. Tetapi kita masih mempunyai daerah
yang luas. Asal yang mulia mentri pertahanan dapat
menyusun kekuatan yang rapih, rasanya tidak mudah
pasukan Ceng hendak mengalahkan kita."
"Ya," sahut Su Hong Liang, "tetapi bagaimana menurut
pendapat ciangkun cara pertahanan yang baik itu ?"
"Seperti yang kukatakan tadi," kata jenderal Lau,
"menempatkan panglima yang tepat di daerah yang penting.
Memperkuat pertahanan di garis depan."
"Tetapi menurut pendapat siok-hu, tidak demikian,
ciangkun."
"O, lalu bagaimana ?"
"Pertahanan yang paling baik itu adalah me nyerang."
"O, ya, ya, benar. Tetapi....."
"Kutahu pikiran ciangkun," cepat Su Hong Liang,
"memang dalam ilmu perang, yang menye rang itu tentu
lebih menguntungkan dari pada yang diserang. Hanya saja,
menyerang itu juga tidak mudah. Menyerang harus
mempunyai perhitungan yang cermat. "Dalam ilmu perang
dikatakan 'Tahu keadaan diri dan kenal kekuatan lawan,
merupakan kunci kemenangan'. Apakah ciangkun
sependapat dengan kata2 kuno itu ?"
"Setuju sekali, kongcu," kata Lau Liang Cu, "ah, ternyata
kongcu memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu
perang."
"Hanya sekedar comot sana comot sini saja, ciangkun,"
kata Su Hong Liang, "yang penting se gala ilmu perang itu
harus disesuaikan dengan me dan."
"Benar," sahut Lau Liang Co," lalu kalau menurut
pandangan kongcu, bagaimana harapan kita dalam
menghadapi musuh itu ?"
Su Hong Liang menghela napas, "Ah, aku tak
mempunyai wewenang untuk mengatakan sesuatu yang
resmi, ciangkun. Hanya kalau aku bicara, adalah sebagai
seorang rakyat yang mempunyai kewajiban ikut serta
memikirkan keadaan negara saja."
"Ah, harap kongcu jangan merendah. Belum tentu kita
orang2 tua yang sudah berkecimpung dalam peperangan
itu, selalu benar pandangannya. Bahkan kongcu, sebagai
seorang pemuda dan berdiri diluar garis peperangan, akan
lebih dapat memberi penilaian yang tepat.”
Kembali Su Hong Liang menghela napas.
"Berbicara soal urusan negara, aku terpaksa harus
berpaling pada sebuah kata2 yang pernah diucapkan oleh
seorang cendekiawan Cukat Beng Hou dahulu. Beliau
mengatakan 'Bo su cay jin. sen su cay thian'. Artinya,
manusia berdaya, Allah yang menentukan."
Jenderal Lau Liang Co kerutkan dahi. Dia diam jenderal
itu heran mengapa pemuda itu mengucapkan kata2
demikian. Ada hubungan apakah ucapan itu dengan
keadaan negara saat itu ?
"Tiada sesuatu di dunia ini yang langgeng. Matahari
terbit dan tenggelam, siang berganti malam, patah dan
tumbuh, hilang dan berganti. Demikian kodrat Tuhan.
Demikian pula dengan kerajaan. Kerajaan Song
ditumbangkan Goan, Goan dihancurkan Beng dan kini
Beng diserang Ceng, tentu akan timbul kekuatan baru lagi
yang akan melenyapkan dan mengganti. Demikian
selanjutnya akan terjadi selama bumi ini masih berputar....."
"Tiada kekuasaan yang mampu membendung matahari
yang akan terbit di waktu pagi. Pun takkan ada kekuasaan
yang betapapun hebatnya akan dapat mencegah matahari
itu akan tenggelam pada waktu senja hari. Timbul dan
tenggelam, sudah merupakan ketentuan takdir. Demikian
pula dengan kerajaan. Siapakah yang mampu
menyelamatkan apabila sebuah kerajaan itu sudah saatnya
akan hacur?"
Lau Liang Co makin terkejut. Mengapa pemuda itu
mengatakan demikian? Bukankah hal ini menyatakan
bahwa kerajaan Beng memang sudah ditakdirkan harus
hancur dan diganti dengan kerajaan Ceng? Tetapi bukankah
Su Hong Liang itu putra keponakan dari Su Go Hwat yang
menjabat sebagai mentri pertahanan kerajaan Beng?
Bagaimanapun tak dapat juga jenderal itu menahan isi
hatinya dan bertanyalah dia, "Mengapa kongcu
menampiikan falsafat kodrat hidup itu? Apakah kongcu
hendak maksudkan bahwa kerajaan kita sekarang ini
memang sudah ditakdirkan harus lenyap dan diganti
dengan kerajaan Ceng?"
Su Hong Liang tertawa, "Liu ciangkun seorang yang
tajam penilaian, luas pengetahuan. Berdosalah aku sebagai
rakyat Beng apabila mengatakan demikian. Tetapi lebih
berdosa lagi kalau aku mengingkari diri tanpa melihat
kenyataan. Hatiku tak menginginkan kerajaan Beng akan
lenyap. Tetapi mataku harus menyaksikan tanda2 kearah
itu. Siapakah yang wajib kuturut?"
"Kongcu, aku seorang panglima perang. Dalam
bertindak maupun berkata, aku selalu menggunakan yang
keras dan tegas. Tolonglah engkau berikan keterangan yang
jelas."
"Mohon tanya ciangkun," kata Su Hong Liang dengan
nada serius, "mengapa baginda Cong Ceng bunuh diri,
meagapa kotaraja pindah ke Lamkia?"
Lau Liang Co terkesiap namun dia menjawab juga,
"Karena diserang pasukan Ceng."
"Benar, tetapi bukankah kerajaan Beng juga punya
pasukan yang kuat?"
"Karena penghianatan Go Sam Kui."
'"Benar," kata Su Hong Liang, "terapi yang penting
penghianatan itu terjadi karena dalam tubuh pemerintah
Beng terdapat penghianat dari mentri2 yang tidak setia.
Yang penting pemerintah Beng sudah rapuh didalamnya
sehingga mudah dikalahkan musuh. Tetapi juga
dikarenakan musuh lebih kuat dari kita.”
Lau Liang Co terdiam.
"Atau kalau kita berpegang pada hukum kodrat tadi,
memang sudah waktunya kerajaan Beng itu harus hilang . .
. . "
"Kongcu ..."
"Jangan salah faham, ciangkun," cepat Su Hong Liang
menukas, "telah kukatakan tadi, bahwa hatiku, perasaanku,
jiwaku tak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi mataku dan
pikiranku dapat melihat dan menilai keadaan itu. Ciangkun
jika petang hari tiba apakah kita dapat mencegah matahari
akan tenggelam?"'
"Ciangkun," Su Hong Liang tak memberi kesempatan
jenderal itu berbicara, "Go Sam Kui dan semua peristiwa
yang menimpa kerajaan Beng hanyalah suatu sarana untuk
menetapi hukum kodrat itu."
"Tetapi peperangan belum selesai, kongcu. Kita masih
mempunyai daerah dan pasukan yang besar untuk
menghadapi musuh."
"Apakah ciangkun yakin bahwa perlawanan kita akan
mampu menahan musuh?"
"Tiada yang dapat mengatakan bagaimana kesudahan
peperangan ini. Yang penting kita berusaha untuk
melawan. Bukankah Su tayjin juga berjuang keras untuk
menghimpun kekuatan lagi?"
"Benar ciangkun," sahut Su Hong Liang, "tetapi tahukah
sebabnya mengapa siok hu (paman) ditugaskan biginda
untuk bergerak di daerah2 menyusun kekuatan itu?"
"Tugas itu memang penting "
"Ah, sepintas memang demikian tetapi kenyataannya
lain," kata Su Hong Liang.
“O, lalu apa sebenarnya yang telah terjadi?"
"Siapa yang berkeras mendukung Hok Ong mengganti
duduk di tahta?"
"Tay- haksu Ma Su Ing."
"Dan siapakah yang kini memegang kekuasaan di
kotaraja?"
' 'Tay-haksu Ma Su Ing."
"Ah, kiranya ciangkun sudah tahu semua,” kata Su Hong
Liang, “adalah karena saran Tay- haksu Ma Su Ing maka
siok-hu telah diutus baginda bertugas keluar untuk
menyusun kekuatan pasukan yang tersebar di sepanjang
barat perairan sungai Hong-ho. Dengan demikian maka tayhaksu
praktis memegang kekuasaan besar di kotaraja."
"Tetapi tidakkah Ma tayjin masih setia ke pada kerajaan
Beng?"
Su Hong Liang tersenyum, "ciangkun, tay-haksu atau
penasehat kerajaar, bukan suatu pangkat yang mudah
didapat apabila orang tidak memiliki ilmu pengetahuan
yang luas dan tinggi. Demikian pula Ma tayjin, dia seorang
cendekiawan yang luas pendalaman dan tinggi kepandaian.
Dialah yang mengajukan kepadaku tentang hukum kodrat
setiap kerajaan. Timbulnya sebuah kerajaan baru,
kejayaannya lalu akhirnya kehancurannya."
"O, apakah Ma tayjin juga menganggap bahwa kerajaan
Beng yang sekarang ini sudah menginjak masa-masa
keakhirannya?" Lau Liang Co terkejut.
'"Ciangkun,".jawab Su Hong Liang, "Ma tayjin adalah
seorang cendekiawan dan menjabat tay-haksu, sudah tentu
beliau sangat berhati-hati dalam ucapan. Tetapi dengan
mengajarkan kepadaku tentang hukum kodrat kerajaan itu,
seharusnya kita sudah dapat menduga sendiri bagaimana isi
hatinya."
Lau Liang Co mengangguk-angguk.
"Dan Ma tayjin pesan kepadaku supaya menyebarkan
ajaran itu kepada setiap penguasa pasukan maupun pejabat
di daerah2. Kelak pada waktunya, Ma tayjin akan dapat
menolong mereka."
"Oh ! . . . , " Lau Liang Co tertegun.
"Ciangkun, kurasa pembicaraanku sudah terlalu
panjang," kata Su Hong Liang, "asal ciang-kun sudah
menghayati hal itu, kiranya sudah cukup. Kelak aku dapat
menyampaikan pesan yang lebih lanjut dari Ma tayjin
kepada ciangkun, demi keselamatan dan kesejahteraan
hidup ciangkun."
"O, terima kasih, kongcu," kata Lau Liang Co.
"Ciangkun," kata Su Hong Liang, "sebenarnya
kedatanganku kemari bersama seorang sahabat.
"Ah, mengapa kongcu tak ajak kemari saja?"
Su Hong Liang gelengkan kepala, "Sebenarnya aku baru
saja kenal dengan dia di tengah per jalanan. Menurut
penilaianku, dia seorang yang aneh dan mencurigakan....., "
kemudian dia menceritakan tentang apa yang dialaminya
dengan Wan-ong Kui, terutama ketika menginap rumah
penginapan.
"O, lalu bagaimana kehendak kongcu?" tanya jenderal
Lau.
"Ah, hanya merepotkan ciangkun sajalah."
“Tak apa kongcu, silakan mengatakan."
Dengan bisik2 Su Hong Liang segera mengatakan apa
yang hendak ia lakukan kepada Wan-ong Kui.
Jenderal Lau mengangguk-angguk, "Baik kongcu, ah, itu
hanya urusan kecil. Nanti kusuruh Kho kunsu
mengerjakannya, tentu beres."
Jenderal Lau lalu memanggil Kho kunsu (sersan ) dan
memberi perintah, "Lekas bawa beberapa prajurit dan
tangkap pemuda yang rnasih berada dalam tahanan itu."
"Baik, ciangkun."
"Kho kunsu," tiba2 Su Hong Liang menyelutuk "cukup
ditangkap saja jangan sampai melukainya."
Kho kunsu mengiakan dan terus membawa dua orang
prajurit menuju tempat Wan-ong Kui ditahan.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Tetapi Wan-ong Kui
belum tidur. Ia masih menunggu kedatangan Su Hong
Liang yang tak kunjung datang itu. Tiba2 terdengar derap
langkah beberapa orang.
"Ah, itu dia. Tentulah dia yang datang," pikir Wan-ong
Kui yang mengira kalau Su Hong Liang datang.
Tetapi yang muncul adalah Kho kun-su si sersan tinggi
besar dan dua orang prajurit.
"Kami diperintah ciangkun untuk membawamu
menghadap," seru Kho kun-su.
Wan-ong Kui terkejut. Dia tak melihat Su Hong Liang
dan sikap serta nada Kho kun-su itu tampak kasar,
"Mana Su kongcu?"
"Jangan banyak bicara!" bentak Kho kun-su seraya
menyambar tangan Wan ong Kui.
Mendapat perlakuan sekasar itu, timbullah reaksi Wanong
Kui. Dia marah. Seketika ia gerakkan tangan kiri untuk
menusuk rusuk sersan itu, hek .... serempak sersan kasar itu
tegak mematung.
Kedua -prajurit itu kaget. Mereka segera menubruk Wanong
Kui. Wan-ong Kui loncat menghindar lalu menerjang.
Yang seorang rubuh termakan tendangannya dan yang
seorang terkulai ke lantai karena tersodok lambungnya.
Peristiwa itu membuatnya sadar bahwa tentu terjadi
sesuatu pada diri Su Hong Liang. Rasanya Su Hong Liang
tentu menderita bahaya.
'Lekas katakan," ia menarik leher baju prajurit yang
rubuh, "dimana Su kongcu!"
"Su konfccu sedang berada di kantor ciangkun bersamasama
minum arak . . . . "
"Ngaco!'" dengan geram Wan-ong Kui menghempaskan
prajurit itu ke lantai lalu dia melonjak bangun hendak
keluar. Ia tak percaya sama sekali keterangan prajurit itu.
Tak mungkin Su Hong Liang sedang enak2 menikmati arak
dengan jenderal Lau.
Belum sampai dia melangkah ke pintu, tiba2 muncul
seorang lelaki pendek berkulit hitam, rambut merah,
berpakaian seperti seorang imam. Dari di belakangnya
tampak seorang lelaki tegap berpakaian perwira. Ternyata
waktu Wan-ong Kui sedang bertempur menghadapi kedua
prajurit tadi, penjaga tahanan segera lari melapor.
Imam berambut merah itu bergelar Shin To hwatsu dari
kuil Cian-hud-si atau Seribu-arca di gunung Cian-hud-san.
Sedang peiwira itu sebenarnya bekas wi-su atau pengawal
istana raja Cong Ceng. Ketika ibukota pecah maka keadaan
menjadi kalut. Tan Hong demikian nama wi-su istana itu
harus melindungi raja lolos dari istana. Tetapi di tengah
jalan diserang oleh pasukan Ceng sehingga berantakan.
Banyak korban yang jatuh, Tan Hong dengan berganti
pakaian sebagai rakya biasa, dapat lolos dari kepungan
musuh. Akhirnya dia bertemu dengan jenderal Lau Liang
Co dan diangkat sebagai pengawal peribadinya.
"Ho, engkau berani melukai prajurit disini?” seru Shin
To hwatsu.
"Mau apa kalian!" bentak Wan-ong Kui seraya
menghunus pedang pusaka.
"Jangan banyak tingkah, lekas menyerah agar dapat
kami bawa kehadapan Lau ciangkun," kata Shin To hwatsu.
"Dimana Su kongcu ?"
"Aku hanya mendapat perintah untuk menangkapmu,
tidak disuruh menjawab pertanyaanmu."
"Mengapa aku ditangkap ?"
"Itu perintah jenderal."
"Hm, jangan membohongi aku. Tentulah kongcu sudah
kalian kaniaya dan sekarang kalian hendak menangkap
aku."
"Soal itu tanyakan saja pada Lau ciang-kun nanti.
Sekarang baiklah engkau menyerah saja!"
"Aku tidak berani melanggar janji!"
“Janji apa dan kepada siapa ?"
"Janjiku kepada pedang ini. Waktu akan kupakai, dia
pernah mengatakan bahwa dia mau ikut kepadaku asal aku
pantang menyerah pada musuh. Dia tak mau menjadi
senjata dari orang yang takut mati !"
"Ho, tak kira kalau seorang pemuda selemah
anakperempuan seperti engkau ternyata besar sekali
kokoknya. Engkau tahu dengan siapa engkau berhadapan
saat ini ?”
"Imam berambut merah, berkulit hitam !”
"Jahanam, engkau berani menghina aku,” Shin To hwatsu
terus menerkam. Memang imam itu paling marah kalau
orang berani mengatakan dia berambut merah.
Wan-ong Kui cepat menyongsong dengan sabatan
pedang untuk memapas jari lawan. Tetapi dia terkejut
ketika imam itu menarik tangan dan dengan cepat tangan
kirinya menyambar pergelangan tangan. Wan-ong Kui
menggelincirkan pedang kebawah untuk menebas, tetapi
seperti yang pertama. Selekas imam itu menarik pulang tani
kiri, tangan kanannyapun secepat kilat sudah menusuk
batang pedang Wan-ong Kui, tring. . .!
Walaupun dengan ujung jari tetapi tutukkannya itu
menimbulkan dering yang nyaring dan seketika Wan-ong
Kui rasakan tangannya kesemutan, pedang hampir terlepas
jatuh.
Imam itu tertawa mengekeh dan terus hendak
menyambar pergelangan tangan Wan-ong Kui. Tetapi pada
saat itu terdengarlah suara orang membentak, "Lepaskan !"
Shin To hwatsu terkejut ketika merasa sebuah gelombang
angin pukulan yang keras melanda punggungnya. Cepat ia
balikkan tangan kiri menampar ke belakang, sementara
tangan kanan masih melanjut hendak mencengkeram
pergelangan tangan Wan-ong Kui.
Darrrr.....
Terdengar letupan keras dan tubuh imam itu terhuyung
kemuka sampai dua langkah. Melihat itu Wan-ong Kui
terus mengirim sebuah tendangan, plok . . , . dan imam
itupun makin menjorok kemuka sampai beberapa langkah.
'"Lekas keluar," seru seorang lelaki tua seraya
melambaikau tangan dan dia sendiri terus melesat keluar.
Wan-ong Kui tahu bahwa lelaki tua itulah yang telah
menolongnya. Dia segera menyusul.
Diluar terdapat dua orang yang sedang bertempur. Si
perwira tadi melawan seorang gadis.
"Engkong, jangan bantu, biarlah aku sendiri yang
menyelesaikan orang ini!" seru sidara,
Wan-ong Kui segera menyadari. Lelaki tua dan dara itu
tak lain adalah yang pernah menghadang keretanya di
hutan kemarin. Aneh, kemarin mereka menghadang tetapi
mengapa sekarang mereka menolong dirinya!"
"Hong, mari kita cepat keluar dari sini!" kakek itu atau
Tong Kui Tik berseru seraya melambaikan tangannya
kearah kedua orang yang sedang bertempur itu.
Tiba2 perwira itu mendesis kaget dan cepat loncat
mundur lalu lari. In Hong hendak mengejar, "Jangan !" seru
engkongnya seraya memberi isyarat kepada Wan-ong Kui
supaya mengikutinya.
Cepat sekali mereka bertiga tiba di pagar tembok.
Tembok itu setinggi tiga tombak.
"Engkong, kita bakar saja gedung ini, " seru In Hong.
"Jangan, "
"Mengapa ?"
"Biarpun jelek, tetapi Lau Liang Co saat ini masih
berperang guna mempertahankan negara kita," kata Tong
Kui Tik.
"Wah. kalau kita mau lolos, bagaimana aku mampu
melampaui tembok yang setinggi ini ?" In Hong mengomel.
"Makanya engkau harus rajin berlatih, agar gin-kangmu
cepat maju," engkongnya tertawa.
"Bagaimana kita akan keluar, engkong ?"
"Mudah," kata Tong Kui Tik, "berdirilah tegak. Apabila
kulontarkan ke udara engkau harus gunakan gerak It-hojong-
thian dan melayanglah kepuncak tembok lalu engkau
boleh loncat turun."
Benar juga setelah Ing Heng berdiri tegak, dia diangkat
lalu dilemparkan oleh engkongnya. Dara itu berjumpalitan
dan melayang hinggap ke puncak tembok.
Wan-ong Kui sebenarnya juga ngeri melihat tingginya
pagar tembok itu. Tetapi dia sungkan kalau harus
diperlakukan seperti In Hong.
"Aku akan loncat sendiri, lopeh," katanya lalu enjot
tubuhnya melambung keatas Tetapi ia terkejut karena
puncak tembok itu masih sepengga tangan tingginya. Ah,
celaka dia tentu akan meluncur kebawah lagi. Tetapi
sekonyong-konyong segulung angin yang berisi tenaga
lunak telah menyorong tubuhnya hingga dia menjulang
naik dan akhirnya dapat mencapai puncak tembok.
"Ah, tentulah kakek itu yang telah membantu aku." ia
tersipu-sipu malu.
Ketika ia melongok kebawah, ternyata kakek itu sudah
berdiri disamping In Hong dan berseru, "Mari kita
melayang turun....."
Mereka bertiga menuju kesebuah hutan dan beristirahat
di sebuah gua.
"Terima kasih atas pertolongan lopeh," saat itu baru
Wan-ong Kui mendapat kesempatan untuk menghaturkan
terima kasih.
"Ah, kita orang persilatan memang harus tolong
menolong. Untuk bantuan yang tak berarti ilu harap siauheng
(engkoh kecil) jangan menganggap apa2, " Tong Kui
Tik tertawa.
"Bagaimana lopeh tahu kalau aku sedang ter ancam
dalam ruang tahanan itu?" mulailah Wan-ong Kui meminta
keterangan.
"Ketika terjadi ramai2 di rumahmakan, dan Hongpun
kebetulan masuk dan melihat sendiri peristiwa itu. Hong
mengatakan bahwa kemungkinan besar kalian berdua tentu
akan mendapat kesulitan dari Lau Liang Co. Hong
mengajakku supaya malam ini menyelidiki ke tempat
jenderal itu. Ai, ternyata pandangan anak itu benar. Engkau
sedang dikepung oleh kedua jago dari jenderal Lau!" kakek
Tong Kui Tek memberi keterangan.
Sebelum Wan-ong Kui menghaturkan terima kasih, In
Hong atau yang biasa disebut Hong oleh engkongnya itu,
sudah mendahului menyelut "Siapakah kedua orang itu,
engkong?"
"Kurasa tentu pengawal dari jenderal Lau.”
"Pengawal? Mengapa kepandaiannya hanya begitu saja?
Apakah mereka mampu melindungi keselamatan jenderal
itu?"
"Ah, engkau tak tahu Hong," kata Tong Kui Tek, "imam
berambut merah itu hebat kali."
"Hebat? Bukankah sekali pukul saja engkau sudah dapat
membuatnya terhuyung- dua langkah ke muka?"
"Bukan begitu," kata Tong Kui Tek, "pertama, dia tak
tahu siapa aku, maka dia anggap cukup dengan
menamparkan tangan kiri ke belakang dia tentu sudah
dapat menolak angin pukulan. Dan kedua kali, sebagian
perhatian dan tenaga masih dicurahkan untuk menangkap
siau-ko (Wan-ong Kui ). Bahwa dengan tamparan sebelah
tangan yang dilambari dengan separoh bagian tenagadalamnya
dia masih mampu menahan pukulan ku dan
hanya terhuyung dua langkah ke muka, sudah menandakan
betapa hebat kepandaian imam itu. Andaikata dia
berhadapan dan menggunakan seluruh tenaga-dalamnya,
kemungkinan aku kalah."
"Ai, engkong memang suka merendah diri. Siapakah
tokoh dunia persilatan yang sanggup menerima pukulan
sakti Kiu-yang-sin-kang dari engkong?"
"Hong, jangan lancang mulut!" bentak kakek itu dengan
marah tetapi pada lain kejab kemarahannyapun sudah surut
dan berkatalah dia, "Hong, engkau lupa akan pesan
engkong?"
"Maaf, engkong," dara itu tersipu-sipu minta maaf, "lain
kali Hong tentu takkan berani melanggar pesan engkong."
"Kutahu, engkau cucuku yang baik, Hong," orangtua itu
tertawa gembira.
Tetapi semua pembicaraan itu telah terdengar oleh Wanong
Kui. Disamping ia mengiri akan hubungan yang
sedemikian mesra antara seorang engkong dengan cucunya,
diapun diam2 terkejut mendengar kakek itu memiliki ilmu
pukulan sakti Kiu-yang-sin-kang.
"Terima kasih, lopeh, atas pertolongan lo-peh," buru2
Wan-ong Kui menghaturkan terima kasih.
"Ah, sudahlah siau-ko," kata Tong Kui Tek, "mau
kemanakah engkau sekarang?'"
"Aku hendak menolong kawanku."
"Yang bernama Su kongcu itu?"
"Ya, apakah lopeh tahu bagaimana keadaannya?"
Sebelum Tong Kui Tek menjawab, In Hong sudah
menyelutuk, "Wan-ong-ko, perlu apa engkau memikirkan
dia?"
Wan-ong Kui terkejut, "Dia adalah kawanku."
"Sudah berapa lama Wan-ong-ko kenal padanya?" tanya
si dara.
"Baru saja, waktu berpapasan di tengah jalan."
"Apakah engkau sudah tahu siapa sebenarnya dia itu?"
Wan-ong Kui gelengkan kepala, "Dia bernama Su Hong
Liang. Aku tak tahu siapa dia itu sebenarnya."
"Engkong, silakan menceritakan apa yang engkong lihat
di gedung jenderal itu,"' kata li Hong.
"Saat itu aku tak tahu engkau sianko. berada di mana.
Kusuruh Hong menunggu di bawah dan aku loncat ke atas
genteng rumah. Setelah mencari beberapa saat, akhirnya
kudengar suara orang bercakap-cakap," kata Tong Kui Tik,
"'kubuka sebuah genteng dan ketika melongok kebawah,
aku terkesiap . . . . "
"Mengapa?" tanya Wan-ong Kui terkejut, "apakah Su
kongcu sedang disiksa jenderal itu?"
Kecemasan Wan-ong Kui buyar seketika waktu melihat
Tong Kui Tik gelengkan kepala, “Aku sendiri hampir tak
percaya pada mataku tetapi apa yang kulihat itu memang
suatu kenyataan. Jenderal Lau Liang Co sedang duduk
berhadapan dengan Su kongcu. Keduanya bercakap-cakap
dengan asyik sembari menghadapi arak di meja…."
"Lopeh!" teriak Wan-ong Kui. Dia benar2 terkejut
karena tak percaya, "apakah lopeh tak salah lihat?"
Tong Kui Tik menatap Wan-ong Kui tajam2 dan
berkata, "Rasanya aku belum sangat tua dan kedua
matakupun masih awas, siauko."
Wan-ong Kui tertegun. Ia teringat akan keterangan
prajurit yang dirubuhkannya dalam sel tahanan itu. Prajurit
itu juga memberi keterangan serupa dengan Tong Kui Tik.
Ah, tetapi mungkinkah hal itu?
"Lopeh, apakah engkau mendengar apa yang mereka
bicarakan?" tanyanya mencari penegasan lebih lanjut.
"Mereka bicara dengan pelahan sekali. Hanya ada
kalanya Su kongcu itu tampak ngotot lalu bicara agak keras.
Dia seperti membicarakan tentang keadaan kerajaan Beng
saat ini. Jenderal Lau tampak mengangguk-angguk.
Akupun tak mau tinggal disitu lebih lama karena perlu
mencari engkau, siauko," kata Tong Kui Tik.
Wan-ong Kui makin bingung. Ia tak tahu apa yang harus
dilakukan. Adakah ia lebih baik melanjutkan perjalanan
untuk mencari Han Bi Ing yang menghilang itu ataukah
perlu menyelidiki bagaimana keadaan Su Hong Liang.
"Siauko," kata Tong Kui Tik yang rupanya tahu akan
kebingungan hati Wan-ong Kui, “menurut kesan yang
kulihat, jelas kawanmu itu tida kurang suatu apa. Kulihat
jenderal Lau Liang begitu hormat dan akrab kepadanya."
"Tetapi mengapa jenderal itu hendak menangkap aku?"
tanya Wan-ong Kui.
"Engkau heran?"
"Rupanya engkau baru pertama kali ini terjun ke dunia
persilatan. Ketahuilah anakmuda kata Tong Kui Tik,
"dunia persilatan itu penuh dengan tokoh banyak sekali
peristiwa yang sangat ganjil dan tidak terduga. Begitu pula
hati manusia itu sukar diduga, Wajah, kata2 dan tingkah
laku, bukan ukuran hatinya. Dan ketiga kalinya, engkau
baru saja kenal dengan pemuda itu. Bagaimana engkau tahu
siapa dia itu dan bagaimana sesungguhnya isi hatinya ?”
Mendengar itu Wan-ong Kui tertegun. Memang selama
bersama dengan Su Hong Ling, walaupun pemuda itu
berwajah cakap dan sopan santun, tetapi ia mendapat kesan
kalau Su Hong Liang itu ceriwis dan pandai bermain kata.
"Terima kasih, lopeh," akhirnya ia berkata.
"Wan-ong-ko," seru In Hong, "hendak kemanakah
engkau sekarang ?"
"Aku hendak mencari kusir kereta dan su-moayku yang
menghilang itu," cata Wan-ong Kui.
In Hong berpaling kepada engkongnya, "Engkong,
bagaimana kalau kiia bantu engkoh: Wan-ong ini untuk
mencari sumoaynya ?"
Tong Kui Tik mengeluh, "Ah, engkau ini memang budak
perempuan yang suka usil. Bukankah kita masih harus
menempuh perjalanan jauh ?"
"Ayah, engkong, terlambat sehari dua hari kan tak apa2,"
In Hong tetap merengek.
Mendengar itu Wan-ong Kui tak enak hati, ,"Nona,
jangan mengganggu urusanmu. Biarlah kucari sendiri
mereka."
“Tak apa, Wan- ong-ko," kata In Hong "kita toh sama2
menuju ke utara. Apa engkau keberatan kalau berjalan
bersama kita?"
"Ah, tidak, asal jangan mengganggu urusan mu yang
penting."
Demikian mereka bertiga segera melanjutkan perjalanan
lagi. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya In Hong
mengajak bicara saja.
"Celaka, hilang Su Hong Liang sekarang timbul dara ini.
Setali tiga uang," pikir Wan-ong;
Ketika melalui sebuah hutan tiba2 mereka kejutkan oleh
suara senjata beradu dan sambaran angin yang menderuderu.
"Ada orang bertempur!" seru In Hong.
Tong Kui Tik dan Wan-ong Kui terkesiap.
-oodwoo-
Jilid: 08
Ketika masuk kedalam hutan, Wan-ong Kui, Tong Kui
Tik dan In Hong terkejut melihat dua orang sedang
bertempur.
"Ing-moy!" serentak Wan-ong Kui berteriak kaget ketika
melihat seorang gadis cantik menggeletak dibawah sebatang
pohon. Dia cepat lari menghampiri.
Memang yang menggeletak itu adalah Han Bi Ing. Dia
pingsan. Setelah diberi pertolongan, ia pun dapat siuman.
"Mengapa engkau, ln-moay?"
"Dia . . . dia hendak memperkosaku!" seru Han Bi Ing
seraya menunjuk kearah salah seorang yang sedang
bertempur itu.
"Pemuda yang berwajah cakap itu?" Wan-ong Kui
berpaling dan menegas.
"Dan siapa pemuda tegap lawannya itu?"
"Entahlah, aku tak kenal."
"Wan-ong-ko, mari kita tangkap bangsat itu," seru In
Hong seraya maju ke gelanggang.
Yang bertempur itu seorang pemuda cakap lawan
seorang pemuda yang berwajah polos. Pada saat Wan-ong
Kui dan In Hong tiba, pemuda berwajah jujur itu sedang
terdesak. Jelas lawannya jauh lebih sakti. Hanya dengan
modal kenekadan sajalah maka pemuda jujur itu dapat
bertahan.
Duk ..... bahu pemuda berwajah polos itu termakan tinju
lawan. Dia terhuyung-huyung beberapa langkah. Dan
pemuda cakappun maju hendak menghantam lagi.
"Jangan jual tingkah, bangsat!" serempak Wan-ong Kui
dan In Hong berhamburan menerjang.
"O, kalian juga ikut-ikutan?" pemuda cakap itu mengejek
seraya kebutkan lengan bajunya. Se-gulung tenaga Thiatsiu-
kang menyiak pukulan Wan-ong Kui dan In Hong.
Keduanya terkejut ketika dilanda oleh arus tenaga sakti
yang memaksa mereka terdampar ke samping.
Menyadari kalau berhadapan dengan lawan yang amat
tangguh, Wan-ong Kui serentak mencabut pedang, In Hong
melolos sabuknya. Sekali serang, Wan-ong Kui terus
memainkan jurus Peh-hoa-in-gui atau Seratus-bungabermekaran,
sebuah jurus yang paling dahsyat dari
ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat.
In Hong juga memainkan sabuk pinggangnya dalam
jurus Song-liong-tham-cu atau Sepasang -naga-berebutmustika.
Sabuk pinggang Itu bergeliatan seperti dua ekor
naga yang sedang menyambar-nyambar berebut mustika.
"Bagus, bagus!" seru pemuda cakap itu dengan gembira,
"tetapi sayang ilmupedang Peh-hoa-kiammu belum
mencapai tataran yang tinggi. Tenaga-dalammu masih
belum mampu mengembangkan jurus2 Peh-hoa-kiam-hwat
yang hebat. Dan engkau, dara manis, juga masih jauh
sempurna latihanmu sehingga jurus Song-liong-tham-cu
masih lamban geraknya!"
Wan-ong Kui terkejut, In Hong terbeliak kaget. Mereka
tak mengira kalau lawan dapat mengetahui ilmu
permainannya dan dapat pula menilai tataran yang telah
mereka capai. Dan lebih terkejut pula mereka ketika dengan
gerak yang indah, pemuda cakap itu dapat menghindari
serangan pedang dan sabuk.
"Jangan sombong!" bentak In Hong, "kalau mampu,
kalahkanlah aku!"
"Untuk mengalahkan engkau adalah semudah aku
membalikkan telapak tanganku. Tetapi apa hadiahnya
kalau aku dapat merebut sabukmu?" seru pemuda cakap itu.
"Engkau boleh pergi!"
"Ha, ha, hanya begitu? Tak perlu kalau gitu, makin lama
engkau disini, aku makin gembira.”
"Setan, engkau menghendaki bagaimana!" teriak In
Hong makin geram.
"'Asal engkau mau ikut aku!"
"Cis, siapa sudi menjadi budakmu?"
"Bukan budak, dara manis, tetapi menjadi isteriku . . . . "
"Bangsat!" marah In Hong bukan kepalang. Dia serentak
mainkan sabuknya lebih gencar dalam jurus Tiang ho-lok-jit
atau Matahari-tenggelam-di bengawan-Tiangkiang.
Dalam pada itu pemuda berwajah polos tadi pun dengan
menggenggam pedang maju pula ikut menyerang, "Bangsat,
jangan menghina wanita."
"O, engkau berani maju lagi. Huh, jurus permainan
pedangmu Hoan-thian-to-hay ( Langit tengkurap-lautterbalik
) juga belum sempurna anak tolol!" seru pemuda
cakap itu seraya tertawa mengejek.
Pemuda berwajah polos itu terkejut. Memang dia sedang
menggunakan jurus Hoan-thian-to-hay saat itu.
Wut .... tiba2 pemuda cakap itu melambung keudara.
Tumit kakinya menginjak peda pemuda berwajah polos.
Dan ketika pedang tertekan kebawah, dia terus
berjumpalitan. Waktu kaki diatas kepala dibawah dia
menukik ke bawah untuk menampar sabuk yang meluncur
kearahnya.
Ternyata ketiga anakmuda itu menyerang dengan
serempak. Wan-ong Kui dan pemuda berwajah polos
menabas, In Hong melecutkan sabuknya. Karena babatan
pedang pemuda berwajah polos itu dapat diinjak dengan
tumit kaki maka sekarang dia menampar ujung sabuk In
Hong. Pada saat ujung sabuk In Hong melentuk turun,
pedang Wan-ong Kui tepat membabat cret .... ujung sabuk
In Hong yang terbuat dari kain sutera yang lemas tetapi
ulet, terpapas kutung ujungnya.
"Ih . . . . , " In Hong mendesis kejut seraya menyurut
mundur. Dan Wan-ong Kuipun juga loncat mundur.
Sementara pemuda cakap itupun sudah meluncur dan tegak
berdiri lagi dalam lingkar kepungan ketiga lawannya.
Sebenarnya sabuk pinggang In Hong itu juga tahan
tabasan senjata. Tetapi karena pedang Wan-ong Kui itu
sebuah pedang pusaka yang dapat memapas logam seperti
memapas batang pohon pisang, ujung sabuk In Hongpun
menderita terpapas ujungnya.
"Maaf, nona In," seru Wan-ong Kui.
"Engkau tak salah Wan-ong-ko," seru ln Hong seraya
membuang sabuk dan ganti mencabut pedang. Tetapi
ketika dia hendak menyerang lagi, engkongnya berteriak,
"Hong, berhenti!"
Bukan hanya In Hong, pun Wan-ong Kui dan pemuda
berwajah polos juga ikut berhenti mendengar teriakan jago
tua Tong Kui Tik yang penuh wibawa itu.
"Mengapa engkong?" tanya In Hong.
"Dia bukan musuhmu," kata orangtua itu seraya
melangkah maju, "biarlah aku yang menghadapinya."
"Bagus, cindilnya kalah sekarang bandotannya yang
maju," seru pemuda tampan itu dengan tertawa mengejek.
"Siapakah engkau?" seru Tong Kui Tik. Ia menyadari
bahwa pemuda tampan itu bukan tokoh sembarangan. Ia
terkejut ketika menyaksikan kepandaian pemuda itu waktu
menghadapi serangan In Hong bertiga. Pada hal ia tahu
bahwa In Hong itu juga lihay. Kalau hanya jago silat kelas
dua saja tentulah tak mampu menghadapi dara itu. Apalagi
masih dibantu Wan-ong Kui dan pemuda berwajah polos
yang juga cukup tinggi kepandaiannya.
"Buat apa tanya namaku?" sahut pemuda tampan itu.
"Begini," kata Tong Kui Tik dengan nada sabar, "kalau
aku mati, biarlah aku dapat mengetahui siapa yang telah
mengantar aku menghadap Raja Akhirat."
"O, baiklah", pemuda tampan itu tertawa bangga, engkau
tentu pernah mendengar tentang seorang tokoh yang saat
ini sedang menjadi bahan pembicaraan hangat dalam dunia
persilatan. Cobalah engkau ingat2! "
Tong Kui Tik mengerut dahi. Banyak sekali rasanya
tokoh2 yang bermunculan pada masa terakhir ini.
Terutama setelah negara mengalami kekacauan karena
diserang pasukan Ceng, banyak tokoh2 baru yang muncul.
"Ah, aku si orangtua ini memang sudah rusak ingatan
sehingga tak dapat menduga-duga siapa yang engkau
maksudkan." akhirnya ia menyerah.
"Ah, memang banyak tokoh2 yang bermunculan tetapi
siapakah diantara mereka yang paling menonjol sendiri?"
pemuda cakap itu memberi jalan.
"O," tiba-tiba Tong Kui Tik teringat, "aku memang
sudah jarang keluar. Tetapi belakangan ini aku mendengar
orang menyebut-nyebut tentang seorang jago silat yang
menamakan dirinya sebagai Bu Te sin -kun . . . . "
"Ha, ha, ha, akhirnya engkau dapat menemukan juga,"
seru pemuda cakap itu.
"Engkau Bu Te sin-kun?" Tong Kui Tik terkejut dan
nyalangkan mata memandang tajam2 ke arah pemuda itu
seperti hendak membuktikan kepercayaannya bahwa
pemuda yang masih semuda itu benar2 Bu Te sin-kun
atau jago tanpa tanding. Matanya yang tajam segera dapat
mengetahui bahwa wajah cakap dari pemuda ini bukan
wajah yang aseli melainkan hanya sebuah kedok yang
terbuat dari kulit tipis yang dibuat sedemikian rupa sehingga
sukar dikenali.
"Engkau tak percaya?" tanya pemuda cakap yang
mengaku sebagai Bu Te sin-kun itu.
"Percaya!"
"O, apa alasanmu?"
"Engkau sebenarnya bukan engkau saat ini."
"Apa maksudmu?"
"Bukalah kedok mukamu dan tunjukkanlah wajahmu
yang aseli!"
Bu Te sin-kun terkejut atas ketajaman mata jago tua itu.
Namun sesaat kemudian dia tertawa nyaring, "Tetapi
kurasa lebih baik begini dari pada engkau melihat wajahku
yang aseli."
"Mengapa? Apakah engkau tak berani unjuk muka?"
"Bukan begitu," sahut Bu Te sin-kun, tetapi sudah
menjadi undang-undangku. Bahwa setiap orang yang
melihat wajahku tentu harus mati!'
"O, kebetulan sekali. Aku memang sudah rasa terlalu
lama hidup. Kalau engkau dapat mengantarkan aku
menghadap raja Akhirat, aku merasa beruntung sekali!"
"Ah, sudahlah. Aku tak mau membunuhmu!"
"Pengecut!" tiba2 In Hong memaki.
"Jangan salah faham, nona manis," Bu Te sin-kun
tertawa menyengir, "kalau engkongmu kubunuh, engkau
tentu sedih dan tak mau jadi isteriku."
"Bangsat!" karena tak dapat menguasai diri lagi, In Hong
terus menerjang. Tetapi dengan santai Bu Te sin-kun
menghindar ke samping seraya kebutkan lengan bajunya.
Dari lengan baju itu memancar arus tenaga-dalam yang
mendampar batang pedang In Hong hingga tergetar keras
hampir jatuh. Tenaga-dalam yang dipancarkan dari kebutan
lengan baju itu disebut ilmu Thiat-siu-kang.
"Hong, minggirlah!" teriak Tong Kui Tik seraya loncat
dan menarik tubuh cucunya agar jangan jatuh. Kemudian
dia berpaling kearah Bu Te sin-kun, "Kalau sampai terjadi
apa2 pada anak ini, aku tentu akan mengadu jiwa
denganmu!" serunya geram.
"Jangan kuatir," Bu Te sin-kun tertawa, "masakan aku
tega melukai dara yang kupenuju . . . . "
"Bu Te sin-kun, sebelum kita bertanding aku hendak
meminta keteranganmu. Apa sebab engkau hendak
mengganggu nona itu?" seru Tong Kui Tik seraya menunjuk
pada Han Bi Ing.
"Ketahuilah, pak tua," seru Bu Te Bin-kun.
“Bu Te sin-kun itu adalah jago tanpa tanding. Tanpa
tanding bukan melainkan dalam ilmusllat, pun dalam segala
hal termasuk wanita. Sekali Bu Te sin-kun setuju, tak peduli
dia itu puteri raja atau puteri pengemis, puteri tokoh
persilatan sakti atau orang biasa, maupun isterinya siapa
saja pasti akan diambilnya. Nona itu aku suka karena
kecantikannya dan cucumu itupun aku senang karena
manisnya. Kedua-duanya harus kuambil!"
Han Bi Ing, Wan-ong Kui, In Hong dan pemuda
berwajah polos itu menggeram keras. Hampir saja mereka
akan bergerak menyerang apabila Tong Kui Tik tak
melarang dengan isyarat tangannya.
"Bu Te sin-kun, engkau akan memperoleh apa yang kau
kehendaki asal engkau mampu melangkahi mayatku!" seru
Toig Kui Tik dengar nada marah yang tertahan.
"Baik, kalau memang engkau menghendaki syarat itu,
akupun terpaksa menuruti saja!"
Menghadapi musuh yang sakti, Tong Kui Tik berlaku
sangat hati2. Jurus pertama ia buka dengan Kim-peng-tianki
atau Elang- emas-merentang-sayap. Tangan kanan
menampar kepala dan tangan kiri dipersiapkan apabila
lawan bergerak menghindar.
Tetapi di luar dugaan, Bu Te sin-kun menyurut
mundur selangkah berdiri dengan jurus Kim-ke-tok-lip
atau Ayam-emas berdiri-sebelah. Dengan demikian
tamparan Tong Km Tik itupun mengenai angin kosong. Ia
terkejut heran. Mengapa dalam gebrak pertama saja lawan
sudah bersiap dalam jurus Kim-ke-tok-lip.
Untuk menjajagi apa rencana lawan, Tong Kui Tik
ayunkan pukulan lurus ke dada lawan dalam jurus Hekhou-
cau-sim atau Macan-hitam-menerkam-uluhati.
'"Bagus, bagus, memang di gunung Kun-lun banyak
sekali macan hitam yang suka makan hati orang,*' seru Bu
Te sin-kun demi melihat jurus serangan lawan.
Tong Kui Tik makin terkejut. Sekali lihat lawan sudah
mengetahui dari perguruan manakah dia (Tong Kui Tik)
itu. Dia benar2 heran mengapa tokoh semuda Bu Te sinkun
memiliki pengetahuan yang sedemkian luas. Namun
karena sudah terlanjur menyerang mika Tong Kui Tik pun
lanjutkan serangannya. Rencananya begitu dekat pada dada
orang, dia hendak menebarkan jari tangannya untuk
menutuk jalandarah luan-ki-hiat di uluhati.
Tetapi alangkah kejutnya ketika rencana itu belum
terlaksana, tiba-tiba tubuh Bu Te sin-kun yang masih berdiri
dengan sebelah kaki itu, tampak berputar-putar deras. Dari
gerak putaran itu memancarkan tenaga-dalam yang
menyedot tangan Tong Kui Tik. Jago tua itu terkejut. Ia
salurkan tenaga-dalam lunak pada tinjunya, kemudian
dengan tenaga-dalam keras yang disalurkan kearah tangan
kiri, ia menghantam lawan.
Terdengar letupan pelahan dan Tong Kui Tik berhasil
menyelamatkan tangan kanan dari sel dotan lawan tetapi ia
harus membayar dengan terpental selangkah ke belakang.
"Bagus," seru Bu Te sin-kun, "engkau termasuk salah
seorang yang mampu menghindar dari tenaga sedotanku."
Tong Kui Tik makin, berhati-hati. Serangan selanjutnya
ia lambari dengan tenaga-dalam yang kuat. Namun Bu Te
sin- kun tetap tak mau meladeni. Dia hanya berlincahan
menghindar kian kemari.
"Aneh, mengapa dia tak mau menangkis?" pikir Tong
Kui Tik. Akhirnya dalam suatu kesempatan yang baik, dia
dorongkan kedua tangannya kearah lawan. Tangan kiri
memancarkan tenaga-dalam lunak dan tangan kanan
memancarkan tenaga-dalam Kiu-yang-sin-kang yang keras.
Tampaknya Bu Te sin-kun masih memandang rendah
lawan, serunya tertawa, "Ho, sekalipun tenaga-sakti Kiuyang-
sin-kangmu hebat tetapi masih belum mencapai
tataran yang tertinggi!”
Kembali Tong Kui Tik terkejut karena serangannya
dapat dibaca lawan. Namun diapun gembira karena lawan
tak mengerti siasatnya yang lain. Lawan hanya mengatakan
tenaga Kiu-yang-sin-kang tetapi tak menyebut tentang
tenaga-dalam lunak yang dilancarkan dengan tangan kiri".
"Uh . . . . ," tiba2 Bu Te sin-kun mendesuh kejut ketika
merasa segelombang tenaga-lunak tengah melanda
kepadanya, "Bian-ciang . . . ," pikirnya. Bian-ciang artinya
tenaga selunak kapas.
Namun pengetahuan itu sudah terlambat. Ia tak sempat
untuk menghindari arus tenaga-lunak yang sudah tiba di
dadanya. Cepat ia empos semangatnya, memancarkan
tenaga-dalam untuk melindungi dada lalu menghantam
dengan tangan kanan, darrrr ....
Kali ini kesudahannya agak hebat. Tong Kui Tik tersurut
mundur sampai tiga langkah. Wajahnya pucat. Tetapi Bu
Te sin-kun juga tergetar tubuhnya dan menyurut selangkah.
Han Bi Ing, Wan-ong Kui, pemuda berwajah polos
terutama In Hong terkejut menyaksikan keadaan Tong Kui
Tik. Lebih terkejut pula perasaan mereka membayangkan
kalau Bu Te sin-kun akan loncat menerjang orang tua itu.
Serempak bertiga anakmuda itu terus hendak menyerbu
kedalam gelanggang. Tetapi sebelum mereka semua
bergerak, tiba-tiba Bu Te sin-kun loncat ke belakang dan
berseru, "Pak tua, aku masih mempunyai lain urusan
yang penting dan tak dapat melayani engkau. Lain hari
aku pasti akan mencarimu untuk menyelesaikan
pertempuran ini," habis berkata Bu Te sin-kun berputar
tubuh dan loncat pergi.
In Hong lebih penting menolong engkongnya. daripada
mengejar Bu Te sin-kun, "Engkong, bagaimana
keadaanmu?" tanyanya cemas.
Tong Kui Tik tak menyahut melainkan geleng2 kepala.
Ia duduk bersemedhi untuk menyaIurkan pernapasannya.
In Hong bertiga mendapat kesan bahwa engkongnya itu
tentu menderita luka dalam yang cukup parah. Mereka tak
berani mengganggu dan hanya tegak menjaga di sekeliling
jago tua itu.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, tampak wajah
Tong Kui Tik mulai segar kembali! Kemudian ia berdiri dan
menghela napas, "Ah…. kalau dia mau menggunakan
seluruh tenaga-dalamnya aku pasti sudah hancur."
"O, apakah engkau menderita luka?" tanya In Hong.
"Ya, tetapi berbahaya. Tenaga-dalam orang itu memang
luar biasa. Tetapi heran mengapa dia tak mau
menggunakan seluruh tenaga-dalamnya?!”
Tiba2 Han Bi Ing teringat peristiwa dirinya dengan Bu
Te sin-kun, "O, apakah karena hal itu yang telah
menyebabkan dia kehilangan tenaga-saktinya? Tetapi nona
itu tak mau mengatakan hanya wajahnya saja yang bertebar
warna merah.
Rupanya perobahan muka Han Bi Ing dapat diketahui
Tong Kui Tik, serunya, "Nona. maaf apakah yang telah
terjadi dengan nona tadi?"
Han Bi Ing menceritakan. Bahwa waktu Wan-ong Kui
sedang bertempur dengan kelima harimau Lusan, tiba-tiba
kusir Thia Kim menghampiri kepadanya, "Nona, Wan- ong
kongcu pesan kepadaku, sebaiknya kita menyingkir dan
tempat ini .... "
"Mengapa?" tanya Han Bi Ing.
"Karena kougcu merasa seorang diri harus menghadapi
sekian banyak orang apalagi masih harus memikirkan
keselamatan nona, tentulah pikirannya akan terganggu.
Apabila nona sudah berada di tempat yang aman tentulah
pikirannya akan lebih tenang menghadapi lawan."
Han Bi Ing menganggap hal itu memang benar, tetapi
iapun menguatirkan keselamatan Wan-ong Kui. Apakah ia
akan membiarkan saja Wan-ong Kui mengalami bahaya
seorang diri?"
"Nona, setelah kita menyingkir ke tempat yang aman,
akulah yang akan ke luar untuk menemui Win-ong kongcu
lagi," melihat Han Bi Ing bersangsi, Thia Kim
menyusuli keterangan lebih lanjut.
Entah bagaimana Han Bi Ing tiba2 merobah pikirannya.
Ia anggap alasan yang dikemukakanl Thia Kim itu tepat.
Kalau ia sudah menyingkir tentulah Wan-ong Kui dapat
mencurahkan pikirannya dengan tenang. Akhirnya ia
mengikuti Thia Kim menyelinap ke dalam gerumbul dan
terus menerobos ke dalam sebuah hutan kecil. Cukup lama
juga mereka melintas hutan dan lembah dan akhirnya
mendapatkan sebuah tempat yang sesuai untuk sembunyi.
"Tinggalkan aku dan lekas carilah Wan-ong kongcu,"
kata Han Bi Ing.
Thia Kimpun menurut perintah. Tetapi sampai lama
belum juga kembali. Pada saat Han Bi Ing terlena tidur, ia
merasa tangannya telah dipegang orang. Begitu ia
membuka mata, alangkah kejutnya saat itu.
"Siapa engkau!" Han Bi Ing meronta dan membentak.
"O, tak perlu takut nona," kata orang itu seorang pemuda
yang tampan dan ramah.
"Siapa engkau!" Han Bi Ing yang saat itu sudah berdiri
mengulang pula pertanyaannya.
"Aku she Bu nama Te," kata pemuda tampan itu,
sahabat dari Wan-ong Kui."
"Wan-ong Kui? Bagaimana keadaannya?” Bi Ing
mulai tegang.
'"Ah," Bu Te menghela napas sedih, "Walaupun
terlambat tetapi untung aku kebetulan lewat di tempat itu.
Serta melihat Wan-ong Kui sudah kepayahan menghadapi
keroyokan beberapa orang, aku segera membantu. Tetapi
tepat pada saat itu Wan-ong Kui pun rubuh . . . . "
"Ihhhhh," Han Bi Ing menjerit, "apakah dia tewas?"
"Aku berhasil mengundurkan musuh dan terus kubawa
Wan-ong Kui lari ke dalam sebuah hutan. Dia tidak tewas
tetapi menderita luka parah sekali . . . . "
"Oh, mana dia!" teriak Han Bi Ing.
Bu Te mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum.
"Ah, memang pantas kalau Wan-ong Kui begitu
memperhatikan sekali kepadamu. Ternyata engkau juga
sangat memperhatikan keadaannya. Ah, dia lebih
beruntung dari aku . ..."
Han Bi Ing terkesiap. "Apa katamu?"
“Setelah kuberi obat, dia dapat sadar. Dia telah
menderita luka-dalam yang parah dan harus mengasoh
sampai setengah tahun baru pulih kesehatannya."
Han Bi Ing terkejut.
"Tetapi jangan kuatir nona," kata Bu Te, "dia minta
tolong kepadaku supaya menghantarkan nona ke Lou-husan.
Sebagai sahabat baik sudah tentu aku wajib membantu
kerepotannya."
"Ah, kurasa tak perlu merepotkan engkau,” kata Han
Bi Ing, "aku dapat melakukan perjalanan seorang diri."
"Ah, jangan nona," kata Bu Te, "pertama, suasana
sekarang ini tidak aman, dimana-mana timbul
pemberontakan dan kerusuhan. Begal dan perampok
tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Nona seorang gadis,
tidakkah akan berbahaya apabila harus menempuh
perjalanan seorang diri."
"Dan lagi," kata Bu Te lebih lanjut, "aku pun tak mau
ingkar janji kepada sahabatku Wan-ong Kui karena aku
sudah berjanji akan mewakilinya mengantar nona. Ah, dia
memang seorang pemuda yang penuh tanggung jawab
terhadap nona."
Han Bi Ing tertegun.
"Nona, berilah aku kesempatan untuk menghantar nona.
Aku berjanji akan melindungi nona dengan segenap jiwa
ragaku," Bu Te masih menusukkan kata2 yang berbisa.
Dengan kata2 yang manis dan sikap yang sopan,
berhasillah Bu Te mendapat kepercayaan^ Han Bi lug.
Mereka lalu meneruskan perjalanan!
Tetapi di tengah jalan entah karena apa terkenalah Han
Bi Ing pada Wan-ong Kui. Kebaikan. keramahan dan sikap
pemuda itu, berkesan dalam hatinya. Dia minta supaya
diantarkan ke tempat Wan-ong Kui.
"Ah, perlu harus kesana? Dia perlu ketenangan dan tak
mau diganggu orang," kata Bu Te.
"Tidak," kata Han Bi Ing, "biar bagaimana dia telah
melepas budi kebaikan kepadaku selama dalam perjalanan
ini. Aku harus melihat keadaannya. Kalau memang
berbahaya, aku akan merawatnya sampai sembuh."
Bu Te terkejut dalam hati. Sebenarnya dia sudah cukup
merderita menahan nafsu birahinya terhadap gadis cantik
itu. Dalam keadaan terdesak, daripada ketahuan belangnya
apabila harus mecari Wan-ong Kui, lebih baik ia bertindak
saat itu juga.
"Tidak, nona manis," katanya, "aku tak berani melanggar
pesan sahabatku."
Han Bi Ing terkejut ketika Bu Te berani memanggilnya
dengan kata 'nona manis’. Sedang Wan-ong Kui yang
bersamanya dalam perjalanan selama beberapa hari,
jangankan memanggil dengan 'nona manis', bahkan
bertatapan muka saja Wan-ong Kui itu tak berani.
"Jika engkau tak mau mengantarkan kesana aku akan
mencarinya sendiri," Han Bi Ingpun mulai getas.
"Ai, nona cantik," Bu Te tertawa, "mengapa engkau
begitu memperhatikan sekali kepada Wan-ong Kui?
Bukankah sekarang sudah ada penggantinya?"
Han Bi Ing makin mendapat kesan bahwa Bu Te itu
seorang pemuda yang kurang ajar. Masa baru kenal sudah
cengar cengir menyebut nona manis, nona cantik ' segala.
"Itu urusanku, engkau tak perlu ikut campur," Han Bi
Ing makin getas.
"Ai, nona cantik," kata Bu Te, "jangan marah.
Ketahuilah, nona manis aku juga seorang lelaki. Sudah
tentu aku merasa iri terhadap Wan-ong Kui. Apanya yang
menarik perhatianmu begitu rupa? Dia memang tampan
tetapi ketampanannya tidak bersifat kepriaan, melainkan
sebagai gadis cantik. Akupun lebih gagah dan lebih sakti
dari dia. Apa yang kurang padaku?"
"Jangan banyak mulut!" bentak Han Bi Ing makin
marah, "silakan engkau melanjutkan perjalananmu sendiri.
Aku tak butuh pengantar."
"Ah, dara cantik, segala-galanya tentu tetap cantik.
Bahkan kalau marah malah tambah cantik, ai . . . . "
Kini jelas sudah bahwa pemuda yang mengaku bernama
Bu Te itu seorang pemuda yang tak baik. Tiba2 Han Bi lng
teringat pada kusir kereta, "mana Thia Kim kusir kereta
itu?"
"Mengapa?"
"Kalau engkau tak mau mengantarkan aku ketempat
Wan-ong-ko, antarkan aku mencri kusir itu. Aku dapat
melanjutkan peijalanan bersama dia."
"Aiii .... bagaimana engkau ini nona manis. Diantar
seorang pemuda tampan dan gagah seperti aku tidak mau
tetapi minta diantar seorang kusir?"
"Tutup mulutmu!" bentak Han Bi Ing dengan wajah
kemerah-merahan. Namun ia berusaha untuk tidak marah.
"Dan jangan mengharap kusir itu mau kembali lagi."
"Mengapa?" Han Bi Ing terkejut.
"Dia sudah kuberi uang dan kusuruh pulang. Aku
kasihan padanya."
Han Bi Ing seorang gadis yang cerdas. Merangkai pada
kata2 itu dengan tingkah laku Bu Te yang kurang ajar,
diam2 ia menjadi tegang. Apakah ada udang dibalik batu
atas kemunculan pemuda yang bernama Bu Te ini?
Pikirnya. Ia mengeluh dalam hati karena mengingat
keadaan dirinya saat itu.
"Siapa yang suruh engkau berbuat begitu?" tegur Han Bi
Ing.
"Wan-ong Kui"
"Tidak percaya!" teriak Han Bi Ing seraya ayunkan
langkah.
"Hai, hendak kemana engkau, nona?" cepat Bu Te loncat
menghadangnya.
"Mencari Wan-ong ko."
Wan-ong Kui gelengkan kepala, "Sudahlah, jangan
buang waktu. Terus terang kuberitahu kepadamu bahwa
Wan ong Kui sudah pulang ke rumahnya di Pak-kia?"
"Apa?" Han Bi Ing terbeliak, "dia tinggal di bekas
kotaraja Pak-kia? Bukankah saat ini Pak-kia sudah diduduki
tentara Ceng?"
Bu Te mengangkat bahu, "Engkau tahu siapa Wan-ong
Kui itu?"
"Tidak."
"Hm," dengus Bu Te, "memang tak salah kalau engkau
memilih dia. Kelak engkau tentu hidup mewah."
"Siapa orangtuanya?"
"Walikota Pak-kia yang sekarang berhamba pada
kerajaan Ceng. Nah, tidakkah kelak engkau akan hidup
enak?"
"Tidak, aku tak sudi bersahabat dengan puteranya antek
kerajaan Ceng!"' teriak Han Bi Ing
"Bagus, kalau begitu jadilah isteriku saja, serentak Wanong
Kui ulurkan tangan hendak memeluk nona itu.
Han Bi Ing terkejut dan menyurut mundur lalu berputar
tubuh dan lari.
"Hai, percuma saja engkau lari, nona cantik," Bu Te
tertawa mengekeh seraya mengejar.
Ketika berpaling ke belakang dan melihat Bu Te berada
tiga empat langkah di belakangnya, Han Bi Ing menyadari
kalau ia sedang berhadapan dengan seorang iblis yang
hendak mengganggu dirinya.
"Daripada tercemar, lebih baik aku mengadu jiwa
dengan bangsat ini. Kalau aku kalah aku akan bunuh diri,"
ia membulatkan tekad.
Serentak ia berhenti dan berbalik tubuh menghadapi Bu
Te, "Mau apa engkau !"
"Oh, nona cantik, apakah engkau tak mengerti perasaan
hatiku yang hangus terbakar oleh bara asmaramu?"
Han Bi Ing merah mukanya tetapi dia sudah bersiap-siap.
"Aku sudah menjadi milik orang!"
"Siapa?"
"Putera paman Kim Thian Cong ..."
"Si Bloon itu? Ha, ha, ha . . . katak hendak makan buah
teratai, uh .... "
"Jangan menghina calon suamiku" bentak Han Bi Ing
tersipu-sipu malu, "biar jelek dia putera seorang pendekar
besar, tentu baik budinya. Tidak seperti engkau, iblis
pengganggu wanita!"
"Tidak!" tiba-tiba Bu Te membentak keras, "tidak bisa,
biarpun bagaimana juga takkan kuberikan engkau
diperisteri si Bloon itu!"
"Cis, aneh," dengus Han Bi Ing, "hak apa engkau hendak
melarang aku? Perjodohan itu ayahku yang menentukan!"
"Tidak peduli ayahmu, engkongmu kek, atau raja
sekalipun, aku takkan membiarkan engkau dipersunting si
Blo'on!"
"Kurang ajar, apa hakmu berani melarang.”
"Cintaku kepadamu, nona, yang memberi hak kepadaku
untuk melarang orang lain menjamah dirimu!"
Merah muka Han Bi Ing. Tetapi dia mual mendengar
ocehan Bu Te.
Tiba-tiba Bu Te sin-kun bersenandung;
Banyak bintang di langit
tetapi hanya rembulan satu
banyak gadis-gadis cantik
tetapi hanya dikau seorang
pilihanku ....
Bu Te tertawa terbahak-bahak, maju selangkah dan
ulurkan tangan hendak memeluk Ha Bi Ing.
Bi Ingpun cepat bergerak dan aduhhh . . , Bu Te menjerit
dan loncat mundur. Ia memandang telapak tangan
kanannya yang berdarah. Seketika marahlah dia.
Apa yang telah terjadi?
Ternyata Han Bi Ing diam2 sudah mencabut tusuk
kundainya. Tusuk kundai itu pernah digunakan untuk
menusuk dan mencukil bola mata Sasterawan -berwajahpucat
Sun Kian. Kali ini dia gunakan untuk menusuk
telapak tangan Bu Te.
Di tengah-tengah telapak tangan terdapat sebuah
jalandarah yang disebut jalandarah Lau-kiong-hiat. Apabila
jalandarah itu tertusuk maka tenaga-sakti yang dimiliki
orang tentu akan merana. Demikian rencana Han Bi Ing
dengan tusuk kundai itu.
Bu Te sudah mabuk kepayang. Ia tak mengira kalau
gadis itu berani menusuk. Lebih tak mengira kalau tusukan
tusuk kundai itu dengan tepat telah menyusup ke dalam
jalandarah Lau Kiong-hiat. Seketika ia rasakan tangannya
seperti tersentuh dengan aliran listrik yang kuat sehingga
kuasa menggigit jantungnya.
Bu Te tahu artinya tusukan itu. Lengan kanannya hilang
kekuatannya. Dia harus beristirahat beberapa waktu untuk
memulihkan tenaga itu.
Bagi Bu Te ilmusilat itu adalah segala-galanya. Wanita
cantik, tidak penting. Setiap saat dia dapat menikmati.
Maka marahnya bukan kepalang. "Engkau, perempuan
hina, berani melukai tanganku ....!"
Han Bi Ing hendak menghindar tetapi tamparan Bu Te
lebih cepat, plak.......untung Han Bi Ing masih sempat
mengisar kepalanya hingga mukanya selamat. Tetapi
lehernya terhajar. Seketika ia terhuyung-huyung rubuh ke
tanah, pakaiannyapun robek terkena duri.
Melihat betis si nona yang begitu putih mulus, seketika
meluaplah nafsu Bu Te. Cepat ia menerkam gadis itu
bagaikan serigala kelaparan.
Han Bi Ing tak berdaya ketika merasa tubuhnya telah
didekap oleh tangan yang kuat. Seketika dia sudah
memutuskan untuk bunuh diri saja. Serentak diapun
mengerahkan tenaga untuk menggigit putus lidahnya.
Pada saat yang genting dimana kehormatan nona itu
terancam hancur dan nona itupun sudi hendak membunuh
diri, tiba2 terdengar sebuah teriakan yang keras. "Bangsat,
jangan main perkosa wanita!"
Bu Te tersentak ke belakang tetapi secepat itu diapun
sudah berbalik diri dan menghantam uh . . . . terdengar
penyerangnya mendesuh kaget ketika mencelat beberapa
langkah ke belakang.
"Bajingan, engkau berani mengganggu kesenanganku!"
serentak Bu Te menerjang orang itu.
Penolong itu seorang pemuda berwajah polos yang
mengenakan pakaian serba sederhana. Ia mencabut golok
dan menyongsong serangan Bu te.
Untunglah Bu Tc sudah kehilangan sepan
bagian tenaganya sehingga pemuda berw j h f o los itu
dapat bertahan. Sekalipun beg'tu dia basah kuyup mandi
keringat menghadapi pukulan tangan Bu Te.
Bu Te terkejut juga. Dia tak kenal siapa pemuda itu
tetapi ilmu permainan golok pemuda itu henar2 luar biasa
sekali. Cepat dan gencar seperti hujan deras.
"Hm, budak yang tak kenal diri. Kalau dalam lima jurus
aku tak mampu mengalahkan engkau, aku akan pergi dari
sini," seru Bu Te seraya mulai menghitung, "satu . . . dua . .
. tiga ..."
Tring......golok pemuda itu terlepas jatuh dan saat itu
diapun sudah pejamkan mata menanti pukulan maut dari
Bu Te. Untung pada saat yang berbahaya itu muncul Wanong
Kui, In Hong dan engkongnya. Walaupun dia dapat
mengalahkan kedua pemuda Wan-ong Kui dan In Hong
bahkan ditambah pemuda berwajah polos, namun akhirnya
ketika berhadapan dengan Tong Kui Tik, ia merasa
menghadapi lawan yang berat.
Tong Kui Tik memang menderita luka akibat adu
tenaga-sakti dengan Bu Te. Tetapi sebagai seorang tokoh
sakti, Bu Te tahu kalau Tong Kui Tik itu hebat sekali. Ia
kuatir kalau sampai dikeroyok empat, tentulah dia akan
menderita kekalahan. Selama gunung masih hijau, masakan
takut tak ada kayu bakar, pikirnya. Lebih baik dia pergi
dulu, kelak dia masih mempunyai kesempatan untuk
membuat perhitungan dengan Tong Kui Tik. Maka diapun
sebera melarikan diri.
"Oh, tentulah akibat tusukan tusuk kundai nona itu yang
menyebabkan tenaga-sakti Bu Te sin-kun menderita," kata
Tong Kui Tik setelah mendengar cerita Han Bi Ing.
"Engkong siapakah Bu Te sin-kun itu?" tanya In Hong.
"Belum lama berselang ini, di dunia persilatan memang
muncul seorang tokoh misterius yang menyebut dirinya
sebagai Bu Te sin-kun. Ilmusilatnya tinggi sekali. Konon
menurut cerita orang, dia memiliki ilmusilat istimewa dari
berbagai perguruan," menerangkan Tong Kui Tik.
"Tetapi dia jelas seorang benggolan hitam yang gemar
merusak wanita," seru In Hong.
"Memang demikianlah, Hong," Tong Kui Tik
menghela napas," itulah bahayanya belajar ilmu sakti.
Jika tak kuat imannya, dia tentu akan berobah menjadi
iblis yang berbahaya. Tetapi kalau dia memang berjiwa
luhur, ilmusilat itu akan mendatangkan rahmat dan faedah
be untuk memberantas kejahatan, menegakkan keadilan
dan kebenaran."
Anak2 muda itupun mengangguk-angguk.
"Eh, siapakah nama siauheng?" tiba2 Tong Kui Tik
bertanya kepada pemuda polos. Wan-ong Kui dan In
Hongpun teringat kalau belum kenal dengan pemuda itu.
Mereka memandang kearah pemuda berwajah polos.
"Wan-pwe she Bok nama Kian. Tolong tanya siapakah
nama lo-cianpwe yang mulia?" kata pemuda berwajah polos
itu sembari menjurah memberi hormat.
Timbul kesan baik dalam hati Tong Kui Tik. Walaupun
agak ketolol-tololan tetapi jelas pemuda Bok Kian itu
seorang yang jujur, "Ai, Bok liauheng, aku siorang tua ini
bernama Tong Kui Tik. Dan marilah kuperkenalkan kepada
beberapa anak muda disini . . . . "
In Hong terkejut dalam hati. Jarang sekali engkongnya
bersikap begitu terbuka kepada orang, Engkongnya tentu
memperkenalkan diri dengan nama Ah Tik kepada setiap
orang yang menanyakan namanya. Mengapa terhadap
pemuda itu dia mau memberilahu secara terus terang.
"Inilah cucuku perempuan In Hong yang liar," tiba2
Tong Kui Tik memperkenalkan In Hong.
Sebenarnya In Hong hendak membantah tetapi saat itu
Bok Kian sudah memberi salam perkenalan, "Nona In . . . .
"
Terpaksa In Hong balas memberi hormat. Setelah satu
per satu diperkenalkan kepada Bok Kian, ketika tiba
pada Han Bi Ing, nona itu pun menghaturkan terima kasih
atas pertolongannya tadi.
"Ah, harap nona jangan sungkan. Rasanya tak ada orang
waras yang akan membiarkan perbuatan yang tak begitu
senonoh," kata Bok Kian. Mendengar itu Han Bi Ingpun
merah mukanya.
"Bok siauheng," kata Tong Kui Tik pula yang rupanya
menaruh perhatian kepada pemuda itu, "bolehkah aku
siorangtua ini mengetahui sedikit tentang tempat tinggal
dan tujuan siauheng sehingga sampai ditempat ini?"
"Ah, aku sedang melakukan tugas yang diberikan oleh
Su tayjin menghadap Li Seng Tong cong-peng (jenderal ) di
Ik-ciu . . . . "
"Su tayjin? Siapakah yang siauheng maksudkan dengan
Su tayjin itu?"
Bok Kian menyadari kalau kelepasan omong Tetapi
karena dasarnya dia tak dapat berbohong apalagi ia
mendapat kesan bahwa orang2 yang di hadapinya itu orang
baik maka iapun bicara terus terang, "Su Go Hwat mentri
pertahanan kerajaan kita."
"Oh," Tong Kui Tik terkejut, "jika demikian kongcu ini
orang kepercayaan dari Su tayjin bukan?"
Siau-heng artinya engkoh kecil. Digunakan terhadap
pemuda biasa. Kong-cu artinya tuan. Sebutan terhadap
putera orang berpangkat atau hartawan atau ternama.
Sebutan kongcu lebih menghormat daripada siau heng.
"Ah, tidak lo-cianpwe. Aku hanya seorang pegawai
biasa, harap jangan menyebut aku sebagai kongcu,". kata
Bok Kian.
"Dan sekarang Bok siauheng hendak menuju kemana?"
tanya Tong Kui Tik pula.
"Mencari Su tayjin."
"O, apakah Su tayjin tidak tinggal di gedung kementerian
pertahanan di Lam-kia?"
Bok Kian gelengkan kepala, "Su tayjin sudah sejak
bebeapa waktu ketika kotaraja pindah ke Lam-kia, bertugas
keluar untuk menyusun kekuatan pasukan kita di daerah2.
Tempat tidak menentu karena harus keliling dari satu ke
lain tempat."
"Ah," Tong Kui Tik menghela napas, "siapakah yang
menugaskan Su tayjin?"
"Seri baginda Hok Ong."
"Hm, seri baginda Hok Ong kabarnya banyak
dipengaruhi oleh mentri tay-haksu Ma Su Ing. Su tayjin
seorang mentri jujur. Apabila beliau tak tinggal di kotaraja,
tentulah Ma Su Ing makin leluasa untuk mengendalikan
pemerintahan penurut sekehendak hatinya."
"Memang banyak sekali mentri dorna yang bersembunyi
dalam pemerintah kerajaan Beng sehingga mudah
dikalahkan musuh. Jenderal2 lapuk, anak pasukan kurang
disiplin, Mentri dorna menguasai pemerintahann," tiba2
Wan-ong Kui dengan geram.
Sekalian orang terkesiap mendengar pernyataan yang
berani dari pemuda itu. Terutama Han Bi Ing, dia serentak
teringat, serunya, "Wan-ong ko, apa .... apakah engkau
berniat hendak berhamba pada kerajaan Ceng?"
"Siapa yang bilang!" wajah Wan-ong Ku tampak
memberingas.
"Jahanam Bu Te."
"Perlu apa Wan-ong Kui masih hidup begini rupa kalau
mempunyai tujuan untuk berhamba pada penjajah Ceng?
Hanya mereka yang berjiwa budak mau berhamba pada
musuh!"
"Bagus, Wan-ong-ko, aku memang tak percaya omongan
si Bu Te itu," tiba2 In Hong juga ikut memuji.
Tong Kui Tik tertawa lebar.
"Engkong, mengapa engkau tertawa?" tegur In Hong.
"Engkau tak tahu Hong," seru jago tua itu "hari ini aku
merasa seperti menjadi muda kembali. Bok siau-heng, Wanong
siau-heng adalah pemuda2 yang berjiwa patriot. Jika
mereka, anak muda yang masih penuh harapan rela
mengorbankan masa muda yang masih penuh harapan dan
mengorbankan masa mudanya untuk berjuang membela
tanah-air, mengapa aku si tua-renta yang sudah mendekati
liang kubur ini, tak ikut berjuang?"
"Lo-cianpwe," kata Bok Kian, "apa yang kita hadapi saat
ini adalah musuh yang hendak menindas seluruh rakyat.
Perjuangan melawan penjajah, bukan hanya kewajiban dari
prajurit saja, pun setiap orang, seluruh rakyat yang merasa
mempunyai tanah-air, wajib berjuang membasmi musuh!"
"Ah," Tong Kui Tik menghela napas, "tetapi aku sudah
tua, masakan mereka mau menerima diriku?"
"Siapa yang lo-cianpwe maksudkan mereka itu?" tanya
Bok Kian.
"Barisan pejuang, baik yang berbentuk kesatuan pasukan
kerajaan maupun lasykar rakyat dan barisan kaum
persilatan yang menentang kerajaan Ceng."
"Tidak, lo-cianpwe," seru Bok Kian, "tua, muda, lelaki
perempuan, besar kecil, semua berguna untuk peluangan
membela tanah-air. Apalagi lo-cianpwe seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, sudah tentu akan menyambut
dengan gembira kehadiran lo-cianpwe di tengah2 kita."
Tong Kui Tik mengangguk-angguk.
"Lo-cianpwe," kata Bok Kian pula, "jika lo-cianpwe
setuju, marilah kubawa lo-cianpwe menghadap Su tayjin.
Su tayjin pasti gembira sekali menerima kedatangan locianpwe."
"Hong, tuh dengar tidak," seru Tong Kui Tik kepada In
Hong, "apakah engkau setuju ikut Wan-ong-ko?"
In Hong gelengkan kepala, ''Ih, engkong ini bagaimana.
Apakah engkong lupa akan tujuan kita?"
"Ai, engkau ini memang keras kepala, Hong,” seru Tong
Kui Tik, kemudian berkata kepada Bok Kian, "terima kasih
Bok siauheng atas perhatianmu. Tetapi cucuku si Hong itu
masih ada urusan penting yang headak diselesaikannya
maka akupun terpaksa tak dapat memenuhi anjuran siauheng.
Tetapi aku yakin, bahwa kita bersama dalam satu
garis perjuangan."
"Tak apa, lo cianpwe," Bok Kian tersenyum, "dan aku
terpaksa akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan."
"Bok siau-heng," kata Tong Kui Tik, "sekalipun hanya
dalam waktu yang singkat, tetapi aku gembira sekali atas
pertemuan ini. Saat ini negara sedang dalam suasana
perang. Setiap orang tak tahu bagaimana nasibnya besok
pagi. Aku ingin memberi sesuatu kepadamu sebagai tanda
kenang2an, harap engkau jangan menolak."
"Ah, mengapa lo-cianpwe begitu sungkan2,” Bok Kian
gopoh memberi pernyataan.
"Ah, bukan sesuatu barang berharga, tetapi hanya
sekedar untuk kenangan saja," kata Tong Kui Tik seraya
menyerahkan sebuah bungkusan kain kuning. Bok Kian
terpaksa menerima dan setelah menghaturkan terima kasih
lalu mohon pamit kepada sekalian orang.
"Engkong, mengapa engkau begitu suka kepada pemuda
itu ?” beberapa saat kemudian setelah Bok Kian pergi, In
Hong bertanya.
"Ah, entah bagaimana, tetapi melihat wajahnya, aku
terkenang pada seseorang," kata Tong Kui Tik.
"Siapa engkong ?"
Tong Kui Tik termenung. Ia agak kaget dan cepat
tersenyum, "Ah, seorang sahabat yang baik."
In Hong heran. Tidak biasanya engkongnya bersikap
begitu kikuk.
"Wan-ong kongcu, kalian hendak kemana ?" tanya Tong
Kui Tik mengalihkan pembicaraan.
"Mengantarkan sumoayku ini ke Lou-husan."
"Mengapa, Wan-ong-ko ?" tanya In Hong.
"Mencari putera Kim Thian Cong tayhiap."
Tong Kui Tik terkejut mendengar nama Kim Thian
Cong. "Tetapi bukankah Kim tayhiap sudah meninggal ?"
"Benar, lopeh, tetapi kami akan mencari puteranya,"
kata Wan-ong Kui, "apakah lopeh kenal dengan Kim
tayhiap ?"
"Setiap orang persilatan seangkatan dengan aku tentu
kenal nama Kim tayhiap yang termasyhur. Dia adalah
pemimpin dari dunia persilatan. Sayang pada waktu beliau
wafat, aku sedang mengembara ke daerah Tibet sehingga
tak dapat datang."
"Lalu apakah lopeh kenal dengan puteranya?”
Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Sudah lama aku
mengasingkan diri dari dunia persilatan Banyak sekali
tokoh2 muda yang tak kukenal. Tetapi kalau ayahnya
seorang pendekar besar tentulah puteranya juga pendekar
muda yang hebat.”
Wan-ong Kui gelengkan kepala, "Tidak, lo peh. Harimau
tentu beranak harimau tetapi kaum manusia belum tentu.
Ayahnya pendekar sakti, puteranya seorang blo'on yang tak
mengerti silat,"
"Ah, kongcu bergurau," kata Tong Kui Tik.
"Tidak, lopeh. Orang2 mengatakan bahwa putera Kim
tayhiap itu seorang bloon, tak mau belajar silat."
"Lalu kongcu hendak menemuinya untuk apa ?" tanya
Tong Kui Tik.
"Sebenarnya hal itu mengenai kepentingan
sumoayku," Wan-ong Kui berpaling kepada Bi Ing yang
berada disampingnya, "sumoay, bolehkah kukatakan
kepada cianpwe ini ?"
Han Bi Ing tidak menyahut melainkan mencubit lengan
Wan-ong Kui.
"Begini lopeh." kata Wan-ong Kui yang lalu
menceritakan tentang maksud tujuan Han Bi Ing mencari
putra Kim Thian Cong.
"O," seru Tong Kui Tik, "tetapi boleh aku mengetahui
nama ayah nona Bi Ing itu ?"
Wan-ong Kui berpaling memberi anggukan kepada Han
Bi Ing dan nona itupun segera menyahut, "Aku adalah anak
dari Han Bun Long dari Thay-goan-hu."
"Oh," teriak Tong Kui Tik, "aku memang sudah
meragukan hal itu dan ternyata memang benar. Dimanakah
sekarang ayah nona ?"
Dengan berlinang-linang air mata Han Bi Ing
mengatakan bahwa ia belum tahu pasti bagaimana keadaan
ayahnya. Karena waktu pasukan Ceng menduduki kotaraja
Pak-kia lalu mengirim pasukan menduduki Thay-goan
ayahnyapun lalu menyuruhnya ke Lou-hu-san.
"Dan dia sendiri ?" tanya Tong Kui Tik."
"Beliau sudah bertekad untuk melawan pasukan Ceng.
Oleh karena itu lebih dulu ayah telah mengungsikan aku."
"Lalu ibu nona ?"
"Ibu . . . ibu sudah lama meninggal dunia." Tong Kui Tik
menghela napas panjang.
"Lopeh, apakah engkau kenal dengan ayah sumoayku ?"
tanya Wan- ong Kui.
"Dia sahabatku yang baik." kata Tong Kui Tik, "tetapi
sudah hampir duapuluh tahun kami tak bertemu. Sekarang
tahu2 dia sudah mendahului aku."
"Lo cianpvve," tiba2 Han Bi Ing berkata "mohon tanya
siapakah lo-cianpvve ini ? Mengapa ayah tak pernah
menyebut nyebut nama lo-cian pwe kepadaku ?"
Tong Kui Tik menghela napas, "Ya, karena kalian mau
berlaku jujur, akupun harus berterus-terang juga.
Sebenarnya aku ini murid perguruan Go-bi-pay tetapi aku
dituduh telah melakukan kesalahan membunuh Asita
Ihama kepala kuil Mutiara-putih di Tibet, aku dikeluarkan
dari pergu ruan . . . ."
"Ah, kurasa lopeh tentu tak melakukan pembunuhan itu,
bukan?" kata Wan-ong Kui.
"Tidak," sahut Tong Kui Tik, "tetapi bukti tak dapat
disangkal. Aku diketemukan berada samping Asita lhama
yang sudah berlumuran darah tak bernyawa sedang
tanganku masih mencekal pedang . . . ."
"Apakah lopeh tidak mengetahui hal itu?”
"Aku pingsan dan ketika sadar, tahu2 aku sudah
dikepung oleh beratus-ratus lhama."
"Ah, fitnah," seru Wan-ong Kui, "lalu siapakah yang
membunuh Asita lhama itu ?"
"Sejak dikeluarkan dari perguruan aku lalu mengembara
untuk menyelidiki siapa pembunuh yang telah mencelakai
diriku itu. Tetapi tak berhasil. Aku bertemu dengan Han
Bun Liong, ayah nona Bi Ing. Kami bersahabat baik sekali.
Akhirnya kami berdua masuk menjadi prajurit. Kami
beruntung diterima dan dijadikan pengawal dari mentri Go
Sim Kui. Karena melihat mentri itu hendak berhianat
dengan bersekongkol pada raja Ceng, diam2 aku masuk ke
dalam markasnya. Dia hendak kubunuh tetapi gagal karena
keburu dipergoki oleh pasukan pengawal. Aku melarikan
diri dari kotaraja dan sejak itu aku mengasingkan diri dari
dunia persilatan . . . . "
"Dan ayah?" tanya Han Bi Ing.
"Kabarnya ayahmu juga dicurigai oleh Go Sun Kui dan
dikeluarkan. Tetapi bagaimana perisitiwa yang
sesungguhnya aku tak tahu karena dia juga pindah dari
kotaraja. Ternyata dia berdiam di Thay-goan . . . . "
"Bagus!*' sekonyong-konyong terdengar sebuah suara
berhamburan dibawa kesiur angin.
Tong Kui Tik terkejut. Ketika berpaling tampak dua
orang lelaki muncul dari gerumbul pohon. Yang seorang
berdandan seperti seorang sastrawan dan yang satu, seorang
lelaki tua. Mereka berjalan menghampiri ketempat
rombongan Teng Kui Tik.
"Loheng," setelah memberi hormat, sastrawan itu
bertanya kepada Teng Kui Tik, "tolong tanya, yang
manakah Han siocia itu ?"
"Siapakah anda ini ?" Tong Kui Tik balik bertanya.
"Aku orang she Ko nama Cay Sing, saya seorang sahabat
dari Han Bun Liong . . .”
Semula Tong Kui Tik curiga. Tetapi setelah mendengar
keterangan orang, dia mengira kalau Ko Cay Sing itu
hendak menyampaikan berita dari ayah Han Bi Ing maka
buru2 diapun memperkenalkan nona, "Yang inilah nona
Han Bi Ing itu."
Tanpa menghaturkan terima kasih, Ko Cay Sing terus
mengisar pandang kearah Han Bi Ing "Han siocia. aku
telah mendapat pesan dari ayah nona supaya
menyampaikan sebuah berita."
"O, silakan,'" kata Han Bi Ing, "apakah ayah mendapat
kecelakaan ?"
Ko Gay Sing gelengkan kepala, "Tidak, nona, ayah nona
tak kurang suatu apa."
"Ah," terima kasih Tuhan," seru Han Bi Ing dengan
gembira," lalu dimanakah dia sekarang?”
"St. soal ini tak dapat kukatakan karena loheng pesan
wanti2 jangan memberitahukan tempatnya kepada siapapun
juga. Pokoknya Han beng selamat dan kini bersembunyi
ditempat yang dirahasiakan."
"O," seru Han Bi Ing," lalu apa saja pesan ayah itu ?"
"Ayah nona pesan supaya nona kembali ke Thay-goan
untuk merawat lukanya . .
"Ah," Han Bi Ing mengeluh kaget, "apakah eyah terluka
dalam peperangan itu ?"
"Ya."
"Parahkah lukanya ?"
"Aku tak dapat mengatakan nona. Tetapi nanti nona
dapat melihat sendiri. Dia benar2 membutuhkan nona
untuk merawatnya, kasihan …”.
"Lalu bagaimana dengan perintahnya supaya aku
menuju ke Lou-hu-san itu ?"
"O, apakah dia memerintahkan nona begitu?"
"Apakah ayah tak menceritakan kepadamu ?" Han Bi Ing
balas bertanya.
Rupanya orang itu menyadari kalau bicara secara tolol.
Buru2 ia menyusuli kata. "Mungkin karena sedang dalam,
keadaan terluka dia lupa pada perintahnya itu. Yang jelas
dia sudah mengirim pesan kepadaku supaya dihaturkan
kepada nona. Apakah nona tak kasihan kepada ayah nona
yang sudah tua dan seorang diri dalam keadaan terluka itu
?"
"Ah......," Han Bi Ing mendekap mukanya dengan kedua
belah tangan. "Bagaimana nona ?"
"Baik, aku akan kembali ke Thay-goan. Tetapi
bagaimana dengan* peti harta yang- kubawa itu?"
"Ah, peti harta itu dibawakan nona?" Ko Cay Seng
terkejut tetapi cepat pula ia menyusul kata2, 'jika demikian,
bawalah sekalian peti itu mungkin bergana untuk beaya
pengobatan Hai loheng."
Han Bi Ing begitu cemas dan gembira mendengar berita
tentang diri ayahnya. Maklum sejal kecil dia sudah ditinggal
mati mamanya sehingg/ dia rapat sekali dengan ayahnya.
Demikian ayahnya, pun juga amat mencintai puteri satusatunya
itu. Maka begitu mendengar pesan ayahnya, Han
Bi Ing.pun terus setuju untuk kembali ke Thay-goan.
"Jika begitu, marilah kita berangkat sekarang juga," kata
Kon Cay Seng.
"Tunggu!" tiba2 Wan-ong Kui berseru.
"Eh, siapa engkau!" teriak Ko Cay Seng. I
"Aku pengawal dari Ing moay."
"O," seru Ko Ciy Seng, 'lalu engkau mau apa?"
"Ing-moay,'" Wan-ong Kui berpaling kearah Han Bi Ing,
"apakah engkau kenal dengan kedua orang ini?"
Han Bi Ing gelengkan kepala, "Tidak."
''Mengapa engkau cepat2 percaya pada omongannya?"
Han Bi Ing tertegun.
"Tetapi dia membawa berita tentang ayahku," katanya.
"Dan engkau terus percaya ?"
"Habis, ayah memang benar bertempur melawan
pasukan Ceng untuk mempertahankan kota. Kalau beliau
terluka parah dan bersembunyi di suatu tempat yang
dirahasiakan, itu memang masuk akal, Wan-ong-ko."
"Setiap orang yang mempunyai maksud, dapat saja
merangkai alasan yang dapat diterima akal."
"Lalu bagai nana aku harus berbuat, Wan-ong-ko?"
'Engkau harus meminta bukti bahwa dia benar2 orang
yang disuruh ayahmu."
"Tepat," tiba2 Teng Kui Tik ikut .bicara, nona harus
dapat mempertimbangkan apakah ayahmu itu seorang
manusia yang suka mencla-mencle. kau disuruh menyingkir
lalu disuruh kembali. Dan bukankah kota Thay- goan saat
ini sudah diduduki pasukan Ceng ?"
"Dan mengapa peti harta itu juga harus taci bawa pulang
?" In Hong meriyelutuk.
Pikiran Han Ing yang semula dicengkam ketegangan
karena mendengar berita ayahnya sehingga dia tak dapat
memikir terang, kini seperi disadarkan. Ia anggap
peringatan2 dari Wan-ong Kui, Tong Kui Tik dan In Hong
itu memang tepat.
"Ko sianseng," kata Han Bi Ing kepada sasterawan yang
bernama Ko Cay Seng itu, "karena aku beiurn kenal dengan
tuan maka dapatkah engkau mengunjukkan barang suatu
bukti bahwa engkau benar2 telah disuruh ayahku ?
"Hm, ini urusan seorang anak dengan ayahnya, ayah
yang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan.
Mengapa nona masih menghiraukan omongan orang2 yang
tak berkepentingan itu ?"
"Tidak, Ko sianseng," seru Han Bi Ing, "mereka justeru
memperhatikan kepentinganku. Karena kutahu ayah itu
seorang yang berhati-hati dalam tindakan dan bertanggung
jawab dalam kata2. Dia telah menyuruh aku menyingkir,
mengapa tiba2 dia suruh aku kembali lagi ?"
"Tetapi ayah nona benai2 sedang menderita musibah.
Sebagai puterinya wajiblah engkau lekas datang
merawatnya. Apakah engkau sampai hati kalau ayahmu
sampai meninggal ? Apakah engkau tak berdosa kalau
engkau tak mau memenuhi keinginan ayahmu yang
meminta engkau datang untuk merawatnya atau mungkin
kalau dia sampai tak tertolong, pun dia merasa, terhibur
hatinya karena engkau menjaga di sampingnya ?"
Han Bi Ing tertegun. Kecintaannya terhadap sang ayah
memang sedemikian besar sehingga kata2 Ko Cay Seng itu
tepat mengenai di hatinya. Dia merasa berdosa kalau tak
dapat memenuhi panggilan ayahnya. Andaikata ayahnya
sampai meninggal dunia, bukankah ia akan makin berdosa
karena tak mau memenuhi panggilan itu ?
"Cici Ing," tiba2 In Hong berseru, "agar hatimu lebih
mantap, mintalah bukti kepadanya !"
"Jangan usil mulut budak perempuan !" bentak Ko Cay
Seng.
"Gila!" teriak In Hong, "aku bicara dengan mulutku
sendiri, mengapa engkau melarang ?"
"Jangan mencampuri urusan Han siocia !"
"Yang mempunyai kepentingan adalah cici Ing, kalau dia
yang melarang, aku taat. Tetapi kalau engkau, huh,
engkaupun hanya orang suruhan juga, bukan urusanmu!"
"Ko sianseng," cepat Han Bi Ing menukas, "agar hatiku
tenang, sukalah engkau memberi bukti bahwa engkau
benar2 disuruh ayah,",
"Bukti apa yang engkau kehendaki ?"
"Apa saja yang engkau terima dari ayah."
"Baik," kala Ko Cay Ssng seraya merogoh kedalam saku
bajunya dan mengeluarkan sebuah sampul, "inilah surat
dari ayahmu."
Sambil menyambuti, Han Bi Ing berkata. "Kalau
membawa surat dari ayah mengapa dari tadi tak engkau
serahkan ?"
"Kukira panggilan seorang ayah kepada putrinya yang
disayangi itu tak perlu pakai segala macam surat bukti.
Tak tahunya kalau engkau menghendaki begitu," sahut
Ko Cay Seng.
In Hong terkejut melihat surat itu. Ia berpaling kearah
engkongnya kemudian kepada Wan-ong Kui. Tong Kui Tik
dan Wan-ong Kui tenang-tenang saja.
Waktu membaca surat itu wajah Han Bi Ing tampak
makin pucat dan bibirnya gemetar. Sesaat kemudian
airmatanyapun muai menitik keluar.
"Baik Ko sianseng, marilah kita berangkat, katanya.
"Han siocia, apakah benar surat itu dari ayahmu ?" tegur
Tong Kui Tik.
"Benar, Tong pehpeh (paman) Aku tak ragu lagi bahwa
ini memang buah tulisan ayah," kata Han Bi Ing.
Tong Kui Tik mengangguk, "Baiklah. Tetapi aku
berkumpul dengan ayahmu sudah beberapa tahun. Akupun
tahu juga gaya tulisan ayahmu. Bolehkah aku melihat
surat itu ?"
Han Bi Ing segera menyerahkan surat Ketika
membaca, wajah T'ong Kui Tik tam mengeriput tegang.
Beberapa saat kemudian mengangguk dan menyerahkan
surat itu lagi pada Han Bi Ing, “Benar, memang itu
tulisan ayahmu."
"Jika begitu, anda idinkan kami berangkat sekarang
bersama Han siocia?" tanya Ko Cay Seng dengan nada
riang.
"Ya." .
"Engkong!" teriak In Hong. Tetapi Tong Kui Tik tak
menyahut. Wajahnya tampak membesi.
"Nona Han, mari kita berangkat sekarang."
"Baik."
"Tetapi mana peti harta itu?"
Han Bi Ing tetkesiap lalu berbaling kepada Wan-ong Kui,
"Wan-ong-ko, dimanakah engkau menyimpan peti itu?"
Sebelum Wan-ong Kui menjawab, Tong Kui Tik sudah
mendahului, "Jika engkau hendak memenuhi panggilan
ayahmu, silakan. Tetapi tentang peti harta itu, jangan
engkau bawa serta."
"Mengapa?" Ko Cay Seng tercejut.
"Karena itu bukan milik Han Bun Liong!"
Han Bi Ing terkejut, lebih2 Ko Cay Seng. Serentak dia
berseru, "Apa katamu? Harta itu bukan milik Han Bun
Liong?"
"Ya."
"Lalu milik siapa?"
"Milik mentri Go Sam Kui!"
"Hai!" teriak Ko Cay Seng, "jangan engkau bergurau
sahabat."
"Siapa yang bergurau?" balas Tong Kui Ti "memang
harta karun itu milik mentri penghianat Go Sam Kui. Kalau
tak percaya tanyakan sendiri kepada Han Bun Liong."
"Tidak! Han Bun Liong tidak mengatakan apa2 bahkan
dialah yang suruh puterinya membawa kembali harta itu,"
bantah Ko Cay Seng.
"Tidak bisa," seru Tong Kui Tik dengan tegas, "kalau
Han Bun Liong menanyakan, suruh dia mencari aku si Ah
Tek."
Ko Cay Seng mulai tegang, "Tidak mungkin. Harta itu
adalah milik Han Bun Liong sendiri. Aku salah seorang
sahabatnya yang tahu betul akan keadaannya."
"Dari mana dia memperoleh harta kekayaan sebesar itu?"
tanya Tong Kui Tik.
"Dahulu dia bekerja sebagai pengawal mentri Go Sam
Kui."
"Berapa gajih seorang pengawal mentri? Bahkan
mentripun kalau dia benar2 jujur, tak mungkin akan
memiliki harta karun yang sedemikian besarnya."
"Bagaimana mungkin mentri Go Sam menyerahkan
harta karun itu kepada Han BuLiong?" bantah Ko Cay
Seng.
"Itu memang suatu rahasia, engkau tak perlu tahu.
Pokok, aku tahu jelas tentang persoalan itu. Kalau tak
percaya tanyakanlah sendiri kepada Han Bun Liong."
"Hm, rupanya anda hendak cari perkara, bukan?" seru
Ko Cay Ssng yang mencium gelagat tak baik.
"Itu terserah kepadamu," sahut Tong Kui Tik, "kalau
engkau tak mengutik tentang peti harta itu, urusan inipun
selesai. Tetapi kalau engkau berkeras kepala, hm, bukan
salahku kalau terjadi sesuatu!"
"Nona Han, dimana peti itu?" seru Ko Cay Ceng kepada
Han Bi Ing.
Han Bi Ing heran mengapa tiba2 Tong Kui Tik bersikap
demikian. Tetapi dia seorang nona yang cerdas. Ia tahu
bahwa tentu ada hal2 yang menyebabkan mengapa Tong
Kui lik bersikap begitu.
Wan-ong Kui juga mempunyai pendapat begitu.
Serentak dia berseru, "Ing-moay, jika engkau liendak
merawat ayahmu, silakan. Tetapi peti itu janganlah engkau
bawa dulu. Kalau benar ayahmu menghendaki barang itu,
baru nanti kita mengambilnya."
"Wan-ong-ko, maukah engkau ikut aku menjenguk
ayah?" tiba2 Han Bi Ing bertanya.
"Baik," sahut Wan-ong Kui. Karena sudah menyanggupi
hendak mengantar Han Bi Ing, malu kemanapun dia akan
tetap mengantar. Diam2 iapun curiga kepada kedua
pendatang itu.
"'Ko sianseng," kata Han Bi Ing, "nanti setelah bertemu
dengan ayah dan jika ayah benar2 menghendaki, kami akan
datang kemari lagi untuk mengambilnya."
"Tidak, nona Han," jawab Ko Cay Seng dengan nada
keras, "perintah ayah nona harus di-laksanakan. Aku tak
mau mengantar nona kalau nona tak membawa peti itu."
"Hm, aneh engkau ini," seru In Hong, "mengapa engkau
berkeras menghendaki peti itu?"l
"Jangan ikut campur, budak perempuan!" bentak Ko Cay
Seng.
Memang In Hong sudah tak senang kepada Ko Cay
Seng. Dibentak dan dimaki sebagai budak perempuan,
dara itupun marah, "Kalau begitu pergilah engkau. Cici
Ing tidak boleh pergi, peti itupun jangan harap kami
serahkan kepadamu!"
"Budak liar, engkau berani lancang bicara! kutampar
mulutmu!"
"Coba saja kalau engkau berani!" In Hong menantang,
melangkah maju dan tegak bercekak pinggang dihadapan
Ko Cay Seng.
Tiba2 lelaki kawan Ko Cay Seng, segera maju dan
ayunkan tangannya.
"Hong, jangan cari perkara," teriak Tong Kui Tik seraya
mengangkat tangan seperti sikap orang yang mencegah.
Plok.....auh, lelaki tua itu terlempar dua tiga langkah
ke belakang karena perutnya didupak In Hong.
Ketika hendak menampar, sekonyong-konyong lelaki tua
yang berpakaian seperti seorang pertapa itu rasakan
tangannya kaku sehingga sukar digerakkan. Dan pada saat
itulah I n Hong mengirim sebuah tendangan ke perut orang.
Merah padam muka pertapa tua itu. Walau pun dia tak
terluka tetapi sekali gebrak dijatuhkan oleh seorang anak
perempuan, dia malu sekali. Dan sebagai seorang berilmu
tinggi dia tahu apa sebab lengannya mendadak kaku.
"Ho, rupanya engkau memiliki ilmu tenaga-sakti yang
hebat, loheng," serunya kepada Tong Kui Tik, "tetapi
sayang caramu tadi tidak sportif."
"Benar," sahut Tong Kui Tik, "tetapi rasanya masih
lebih sportitf daripada perbuatan seorang angkatan tua
yang hendak menghina seorang bocah perempuan."
"Baik," sahut pertapa itu, "jika demikian aku jngin
berkenalan dengan kepandaianmu. Mari kita bermain
beberapa jurus."
Tong Kui Tik terpaksa menyambut tantangan itu.
Keduanya segera berhadapan. Tetapi sebelum mereka
mulai bertempur, Ko Cay Seng suh berseru, "Suto
siangjin, kalau siangjin hendak bertempur, jangan
bertempur secara percuma."
"Bagaimana maksud Ko-heng?" sahut pertapa itu.
"Bukankah dia tadi yang menentang soal peti harta?"
"O, benar, benar," pertapa itu cepat dapat menanggapi
maksud kawannya. Ia berkata kepada Tong Kui Tik, "Anda
melarang peti harta itu tak boleh kami bawa, bukan?"
"Ya."
"Nah, kita bertaruh. Kalau aku menang, apakah engkau
bersedia menyerahkan peti itu?"
"Aku takkan menghalangi!"
"Apa maksudmu?"
"Peti itu bukan aku yang menyimpan. Tetapi aku berhak
untuk melarang setiap orang tak bertanggung jawab yang
hendik membawanya."
"Lalu siapa yang menyimpan?"
"Aku tak berhak menjawab. Sekarang kita bicarakan
persoalan kita sendiri. Bagaimana kalau engkau kalah?"
"Aku pergi dari sini!" sahut pertapa itu.
"Baik, mari kita mulai."
"Tunggu," seru pertapa, lalu berpaling kearah Ko Cay
Seng, "bagaimana pendapat Ko heng?"
"Syaratnya terlalu enteng," seru Ko Cay Seng, "paling
tidak, dia haius memberitahu dimana tempat peti itu
disimpan."
"Ti.lak perlu," tiba2 Wan-ong Kui menyelutuk, "akulah
yang menyimpan peti itu. Jangan mendesak Tong locianpwe."
“Ho, lalu engkau juga menghendaki bertempur?"
"Ya," jawab Wan-ong Kui. Ia memperhitungkan
rrenghendaki atau tidak, orang she Ko itu tentu akan
mendesak iya untuk memberikan peti itu.
"Apakah engkau yang hendak menantang Wan-ongko?"
teriak In Hong.
'Ya," sahut Ko Cay Seng
“Ah, masakan engkau berani."
“Kenapa tak berani?"
"Karena setiap kali bertempur, Wan-ong-ko tentu maju
berdua dengan aku. Dan biasanya setiap lawan tentu tak
dapat bertahan lama ..."
'"Sombong!" bentak Ko Cay Seng, "jangankan hanya
dua, empat atau sepuluh budak perempuan seperti engkau,
aku masih sanggup menghajar."
"Baik," kata In Hong lalu mengajak Wan-ong Kui,
"Wan-ong-ko, mari kita remuk manusia yang ingin
merampok peti harta ini!"
Wan-ong Kui mengangguk.
"Apa janjimu kalau kalian kalah ?" seru Ko-Cay Seng.
"Bukankah engkau menghendaki peti harta itu ?" balas I
n Hong.
"Ya."
"Dan apa janjimu kalau engkau yang kalah.
Ko Cay Seng tertawa lepas, "Jika aku kalah, ha, ha,
terserah saja pada kalian aku bagaimana ?"
"Baik. bersiaplah," seru In Hong seraya mencabut
sepasang pedang. Wan-ong-kui pun juga melolos
pedangnya.
"O, kalian menggunakan pedang ?" seru Ko Cay Seng,"
bagus, bagus ! Supaya pertempuran ini lebih menggairahkan
semangatku, biarlah kulayani kalian dengan sepasang
tangan kosong. Karena kugunakan senjataku, dikuatirkan
terlalu cepat selesainya, kurang menarik."
In Hong geram tetapi diam2 ia hendak membikin panas
hati orang, "Jangan sombong, bung. Coba engkau
katakan, berapa lama engkau mampu bertahan ?"
"Ho, budak perempuan, engkau benar2 bermulut besar,"
seru Ko Cay Seng, "kalau dalam sepuluh jurus aku tak
mampu mengalahkan kalian aku akan pergi dari sini !"
"Ah, jangan," seru In Hong, "kasihan kalau dalam
sepuluh jurus. Bagaimana kalau kuberi seratus jurus ?"
"Gila!" teriak Ko Cay Seng makin panas, 'sebenarnya
sepuluh jurus itu sudah terlalu banyak. Kalau aku mau
mempercepat, dalam lima atau enam jurus saja, kalian tentu
sudah rubuh!"
"Cis, enak saja kalau ngoceh," teriak In Hong, "lima kali
lima, duapuluh lima jurus, kuberi kesempatan kepadamu."
"Budak liar, kalau dalam lima jurus aku tak dapat
mengalahkan engkau, aku akan pergi!"
"Uh
"Jangan banyak mulut, lekas mulai!" bentak Ko Cay
Seng seraya menampar In Hong.
In Hong loncat menghindar ke samping. Namun ia
rasakan angin pukulan sasterawan yang menyambar
telinganya, tajam sekali.
Ko Cay Seng tak dapat melanjutkan serangannya kepada
In Hong karena saat itu dia sudah diserang Wan-ong Kui.
Wan-ong Kui tahu bahwa dibalik kata2 yang congkak dari
sasterawan itu tentu didukung oleh kepandaiannya yang
sakti. Maka ia terus melancarkan ilmupedang Peh-hoakiam.
In Hong juga maju dan memainkan ilmupedang Song
ou-tiap-kiam atau ilmupedang Sepasang-kupu-kupu.
Ilmupedang itu ia dapatkan dari Sim Hui suthay, seorang
rahib sakti kenalan Tong Kui Tik. Kebetulan Sim Hui
suthay yang tengah mencari daun obat, bertemu dengan In
Hong. Melihat dara itu mempunyai bakat dan tulang yang
bagus, Sim Hui suthay segera menyatakan hendak
mengambilnya sebagai murid. Tetapi dasar nakal, In
Hong malah menghina rahib itu, "Kalau engkau
memang sakti, hayo kejarlah aku .... "
In Hong terus lari naik ke puncak gunung. Ia mengira
masakan rahib tua yang lemah itu mampu mengejarnya.
Tiba di pondoknya, engkohnya sudah menyambut diiuar.
'Engkong, ada seorang rahib tua hendak mengambil aku
sebagd murid. Lucu," ln Hong tertawa mengejek.
"Mengapa lucu?" tanya engkongnya.
"Bukankah apa yang engkong ajarkan kepadaku itu
sudah hebat sekali?"
Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Diatas gunung masih
ada langit. Orang sakti masih ada yang lebih sakti. Hong,
jangan engkau membanggakan kepandaianmu. Ilmusilat
itu tiada batasnya dan orang sakti yang terpendam itu,
banyak sekali. Hong, mengapa engkau menolak diambil
murid ?”
"Eh, engkong ini bagaimana sih?" gumam Hong,
"sedang berjalan mendaki gunung sudah susah, masakan
hendak menjadi guruku,” dia lalu menceritakan
bagaimana ia menantang rahib tua itu untuk mengejarnya.
Tong Kui Tik tertawa, "Ya, benar. Tetapi engkau juga
keterlaluan, masakan seorang tua engkau ajak adu lari."
'Salahnya mengapa mau
In Hong tertawa, “Salahnya mengapa mau mengambil
murid aku"'
"Tetapi kalau umpama dia mampu mengejarmu, apakah
engkau mau menjadi murdnya?"
Tanpa ragu2 In Hong mengiakan. Tong Kui Tik tertawa,
"Ai, engkau ini memang budak liar. Hong, ambilkan pipaku
di meja dalam."
In Hong lari masuk kedalam ruangan. Tiba? ia menjerit
dan lari keluar lagi, "Engkong .... engkong .... mengapa
rahib itu berada dalam ruang kiia?"
"Rahib tua? Aneh, aku juga tak tahu," engkongnya
tertawa dan mengajak In Hong masuk.
"Suthay, memang beginilah watak cucuku yang liar itu,"
Tong Kui Tik tertawa lalu membentak In Hong, "Homg,
mengapa engkau tak lekas menghaturkan hormat dan maaf
kepada suthay, Sun Hui suthay adalah guru dari mendiang
mamamu!"
In Hong terkejut dan gopoh berlutut memberi hormat
serta menghaturkan maaf.
"Bangunlah, nak. Kalau melihat wajahmu, aku
terkenang pada ibumu," kata Sim Hui su;hay dengan
berlinang-linang.
"Hong, adalah karena melihat wajahmu yang mirip
mamamu itu maka suthay tertarik dan hendak
mengambilmu sebagai murid," kata Tong Kui Tik.
Dari hasil pembicaraan, mengingat In Hong berat untuk
berpisah dengan engkongnya, maka Sim Hui suthay
tinggal beberapa waktu di gunung itu. Setiap setengah
tahun atau paling lama setahun sekali, Sim Hui suthay
tentu datang lagi untuk memberi pelajaran ilmusilat.
Song-ou-tiap kiam-hwat atau ilmupedang Sepasangkupu2
adalah ajaran dari Sim Hui suthay. Berkata suthay
itu, "Inilah ilmupedang yang pernah kuberikan kepada
mamamu dulu. Engkau harus mampu mempelajarinya dan
mencapai hasil yang lebih baik dari mamamu."
Ilmupedang Sepasang-kupu2 memiliki gaya dan gerak
yang lincah dan lemas. Sim Hui suthay telah
menciptakannya sendiri. Ilmupedang itu tepat sekali untuk
wanita.
Sudah dua bahkan hampir tiga tahun Sim Hui suthay tak
datang. In Hong gelisah dan akhirnya mendesak
engkongnya diajak turun gunung mencari nenek-gurunya
itu.
Kebetulan pula Wan-ong Kui memainkan ilmupedang
Peh-hoa-kiam atau Seratus-bunga. Ilmupedang itu serasi
sekali mempunyai imbangan ilmupedang Sepasang-kupukupu.
Yang satu berhamburan bagai seratus bunga mekar.
Yang satu berlincahan bagaikan sepasang kupu menarirari
diatas rumpm bunga.
Tetapi Ko Cay Seng memang lihay. Walaupun dia
dijepit dan muka belakang tetapi dia masih dapat
menghalau ataupun menghindar dari ke dua taburan
pedang lawan. Hanya diam2 dia terkejut dan gelo karena
terlalu memandang rendah kepada lawan.
Sementara di partai lain yaitu Tong Kui Tik lawan
pertapa tua Suto Kiat, juga berlangsung pertempuran yang
dahsyat. Keduanya bertempur dengan tangan kosong, tetapi
dahsyatnya lebih dari nenggunakan senjata tajam.
Pertapa Suto Kiat itu memiliki ilmupukulan luar biasa
yakni Im-yang-ngo-heng-ciang atau Pukulan Lima-unsurnegatip-
positip. Suatu ilmu-pukulan yang sakti dari dunia
persilatan daerah Tibet. Disebut lima unsur karena pukulan
itu mengandung lima macam tenaga-dalam panas, dingin,
keras, lunak dan lekat. Untung kepandaian pertapa itu
belum mencapai tingkat yang tinggi dan baru mencapai
tataran ketujuh, Tetapi sekalipun demikian, hebatnya sudah
tak terperikan.
Dengan susah payah Tong Kui Tik menggunakan
tenaga-sakti Kiu-yang-sin-kang, ilmu andalan dari
perguruan Go-bi-pay. Ku-yang-sin-kang bersifat lunak tetapi
menghancurkan yang keras.
'"Hm, siapakah pertapa ini ? Walaupun ilmu pukulan Imyang-
ngo-heng-ciang yang dimiliki belum mencapai tataran
kesembilan, tetapi sudah begini hebat," pikir Tong Kui Tik.
Karena pernah mengembara ke daerah Tibet maka diapun
dapat mengenal ilmupukulan im-yang-ngo-heng ciang.
Ilmupukulan itu termasuk salah satu dari sepuluh Lui-ciang
atau Pukulan-geledek dari dunia persilatan Tibet.
Tetapi pertapa itu juga tak kurang kejutnya "Siapakah
orangtua ini ? Mengapa dia memiliki tenaga-sakti Kiu-yangsin-
kang yang begini hebat ?"
Karena saling jeri, keduanya tak berani memandang
enteng lawan. Pada saat pertempuran yang berjalan serba
cepat dan dahsyat itu mencapai limapuluh jurus, tiba2
pertapa Suto Kiat menyerang dengan jurus Sin-eng-tian-ki
atau Rajawali-sakti-mengebas-sayap. Sspasang tangan
susul- menyusul melancarkan pukulan maut. Yang satu
di'ambari dengan tenaga-dalam keras dan yang satu
dengan tenaga-dalam lekat.
"Hm. apa boleh buat," pikir Tong Kui. Cepat dia
gunakan jurus Cui-ta jut-mui atau mabuk-keluar-pintu.
Jurus itu merupakan jurus serangan membalas serangan.
Dengan gerak sempoyongan seperti orang mabuk
sepasang tangan Tong Kui Tik pun berhamburan
menangkis dan menghantam tangan lawan.
Terdengar bunyi macam api disiram air ketika tangan
mereka beradu. Keduanya tersurut mundur dua langkah.
Tong Kui Tik rasakan lengannya kesemutan tetapi pertapa
itupun tergetar lengannya. Jelas keduanya berimbang.
Diam2 Tong Kui Tik terkejut. Belasan tahun ia
mengasing diri di gunung untuk mengasuh In Hong. Sejak
ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, In Hong yang
masih kecil itu ikut pada eng-kongnya. Disamping
mengajarkan ilmusilat kepada cucunya, Tong Kui Tik
sendiripun giat berlatih ilmusilat, terutama untuk mencapai
kesempurnaan dalam tenaga-sakii Kiu-yang-sin-kang.
Tetapi dia tak kira bahwa begitu turun gunung dia harus
sudah bertemu dengan seorang pertapa dari Se-ik yang
berkepandaian begitu tinggi.
Ternyata pertapa Suto Kiat itu salah seorang kaki tangan
Torkun, panglima besar balatentara Ong. Demikian pula
sasterawan Ko Cay Seng. Keduanya memang diperintah
Torkun untuk menyelundup kedilam daerah kekuasaan
kerajaan Beng, untuk menyelidiki kekuatan mereka. Dan
juga untuk menghubungi dan membujuk jenderal2 maupun
mentri kerajaan Beng yang ingin berhamba pada kerajaan
Ceng.
Sejak ikut Torgun, baru pertama kali itu Suto Kiat
menghadapi seorang lawan yang dapat mengimbangi
kepandaiannya.
Tengah kedua lawan itu menumpahkan seluruh
kepandaiannya, sekonyong-konyong di sebelah sana
terdengar In Hong berteriak, "Hai, sasterawan gadungan,
engkau mempunyai muka atau tidak ?"
"Hm," desuh Ko Cay Seng dengan geram.
"Wan-ong-ko, berhenti dulu," teriak In Hong seraya
loncat ke belakang.
''Kenapa ?" walaupun heran namun Wang-ong Kui ikut
loncat mundur.
"Tadi dia bilang dalam lima jurus tentu dapat
mengalahkan kita. Sekarang sudah berapa! jurus ?"
"Duapuluh lima jurus :"
In Hong berpaling kearah Ko Cay Seng, serunya, "Tuh
dengar tidak ? Kalau minta tambah bilang dong terus terang
l"
Merah padam muka Ko Cay Seng.
-oodwoo-
Jilid: 9
Eh, ketemu lagi.
Memang Ko Cay Seng lak menyangka kalau dia harus
memeras tenaga untuk menghadapi serangan sepasang
ilmupedang dari kedua lawannya. Ilmu pedang Peh-hoakiam
secara tak terduga, merupakan pasangan yang sesuai
dengan ilmupedang Song-ou-tiap-kiam. Sepasang
ilmupedang itu ternyata dapat saling mengisi
kekurangannya.
Sebenarnya Ko Cay Seng memiliki ilmu permainan thiatpit
( pena besi ) yang hebat. Sepasang thiat-pitnya sekali
dimainkan dapat menusuk tujuh buah jalandarah pada
tubuh lawan.
Kiu-kiong-sin-pit atau Pit-sakti-sembilan Istana. Yang di
maksud dengan istana disini tak lain adalah jalandarah
tubuh manusia. Ilmu pit Kiu-kiong-sin-pit itu sebenarnya
sekaligus dapat menusuk sembilan jalandarah Kang. Tetapi
Ko Cay Seng baru mampu meyakinkan menusuk enam
jalandarah. Mungkin dalam dunia persilatan, sudah tak ada
lagi tokoh yang mampu memainkan Kiu-kiong-sin-pit
sampai tataran yang tertinggi. Bahkan mampu menusuk
sampai enam buah jalandarah saja, sudah jarang terdapat.
Karena termakan oleh propokasi In Hong Ko Cay Seng
panas hatinya dan sumbar2 dengan tangan kosong dia akan
merubuhkan lawan dalan lima jurus. Dia tergelincir dan
harus menelan ejekan dari In Hong. Karena tak mau
menggunakan senjatanya thiat-pit dan hanya menggunakan
jari kedua tangannya untuk menutuk, dia harus hati2, dan
tak leluasa bergerak menghadapi pedang Wan-ong Kui
yang tajam luar biasa.
Walaupun ia masih mampu menghadapi kedua
anakmuda itu sampai duapuluh jurus dalan kedudukan
menang angin, tetapi menurut perjanjian, dia harus
menyerah. Lima jurus dengan duapuluh lima jurus, terpaut
banyak sekali.
"Bagaimana, mau minta tambah?" In Hong menegas
lagi.
Sejenak Ko Cay Seng melirik ke arah pertapa Suto Kiat.
Dilihatnya kawannya itu sedang mati-matian menghadapi
lawan. Walaupun tidak kalah tetapi juga sukar memang.
Iapun menyadari bahwa In Hong itu seorang yang bermulut
tajam. Jika ia berkeras melanjutkan pertempuran itu, dia
tentu akan diejek habis habisan.
"Hm, aku seorang ksatrya yang memegang janji. Aku
bukan takut atau kalah dengan kalian budak2 yang tak
ternama, melainkan hanya hendak menetapi janji saja,"
kata Ko Cay Seng, "tapi ingat, lain waktu kalau bertemu
lagi, kalian tentu kucincang."
"Uh, engkau anggap ini daging sapi yang dapat dicincang
seperti bakso ?" dengus In Hong, "pergilah, kali ini aku
dapat mengampunimu ..."
Ko Cay Seng bersuit nyaring untuk melonggarkan
kesesakan dada dan memberi tanda kepada kawannya.
Setelah itu dia terus melesat pergi dan dalam beberapa kejap
menghilang di balik gerum bui.
Setelah melancarkan serangan dahsyat sehingga dapat
mendesak mundur lawan, pertapa Suto Kiatpun terus loncat
keluar dan menyusul Ko Cay Seng.
Tong Kui Tik duduk pejamkan mata. Melihat itu In
Hong menghampiri, "Engkong, engkau bagaimana ?"
Tong Kui Tik mengangkat tangan mengisyaratkan dara
itu jangan bicara. Dia sedang menyaIurkan napas
memulangkan tenaga.
Sementara itu kedengaran Han Bi Ing menghela napas,
"Ah, kalau ayah benar2 sakit, aku dapat menjenguknya.
Orang itu sudah kabur, tak ada lagi yang dapat
menunjukkan tempat ayah...."
"Ing-moay," kata Wan-ong Kui, "kita dapat pergi ke
Thay-goan dan mencari sendiri."
"Tetapi Wan-ong-ko," sahut Han Bi Ing, "menurut kata
orang itu, ayah bersembunyi ditempat yang dirahasiakan.
Bagaimana mungkin kita dapat mencarinya ?"
"Apakah engkau percaya pada keterangan orang itu ?"
balas Wan-ong Kui.
"Surat itu benar tulisan ayah," kata Han Bi Ing.
"Ya, memang," tiba2 terdengar Tong Kui Tik berseru.
Ternyata jago tua itu sudah berbangkit dari duduknya.
Sebelum In Hong sempat bertanya, dia sudah bicara dengan
Han Bi Ing.
"Tong pehpeh," seru Han Bi Ing, "mengapa engkau
melarang permintaan ayah supaya aku kembali dengan
membawa peti harta itu ?"
"Ayahmu sendiri yang mengatakan."
"Ayahku mengatakan ?" Han Bi Ing terkejut.
"Coba engkau ulang apa baris pertama dalam surat
ayahmu itu ?"
"Ayah menulis . . . 'ah, memang benar kata orang,
impian itu' harus dibalik artinya'. Beberapa waktu yang -
lalu aku bermimpi dipestakan orang dan dihormati dengan
besar-besaran seperti mempelai agung. Tak tahunya, aku
harus menderita ke dalam pertempuran. Kemudian aku
bermimpi dilempar kedalam sungai dan terdampar di
karang sunyi, ternyata aku tertolong . . . .". Maka aku harus
mengakui, bahwa pentafsiran impian itu arus dibalik
dengan kenyataannya....."
"Cukup," seru Tong Kui Tik, "berdasarkan itu ayahmu
telah memberi isyarat, bahwa segala apa yang ditulis dalam
surat itu, bahwa dia telah tolong dan dilidungi oleh
pembesar2 kerajaan Ceng, harus engkau balik. Kalau dia
mengatakan engkau pulang, jangan engkau pulang. Kalau
dia mengatakan supaya engkau membawa peti harta itu,
jangan engkau bawa peti itu....."
"Oh, Tong pepeh," serta merta Han Bi Ing memeluk kaki
Tong Kui Tik," terima kasih peh-peh. Aku memang buta
dan bodoh. Untung peh-peh telah menyelamatkan diriku."
Tong Kui Tik mengangkatnya bangun, "Ya, memang
orang harus perlu pengalaman hidup. Yang penting, kita
harus cermat dan waspada menghadapi segala apa."
"Wan-ong-ko, ilmupedangmu sungguh indah sekali,"
tiba2 In Hong berteriak, "apa namanya!
Wan-ong Kui tahu kalau In Hong itu seorang dara yang
lincah dan polos bicara. Dia pun mengatakan nama
ilmupedangnya.
"Eh, mengapa serasi benar dangan ilmupedangku
Sepasang-kupu-kupu ? Seratus bunga mekar dan kupu2
menari-nari, ah ... ."
"Tetapi sasteravvan tadi juga sakti. Dia tidak kalah.
Hanya karena dia terlalu congkak, dia tak dapat
mengalahkan kita dalam lima jurus. Andaikata tidak ada
perjanjian itu tentulah kita yang kalan," sahut Wan-ong
Kui.
In Hong mengangguk, "Ya, benar. Walaupun hanya
duapuluh lima jurus, tetapi dia dapat menghadapi serangan
pedang kita berdua dengan tangan kosong. Engkong,
siapakah sasterawan itu.”
Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Dalam ke sempatan
melirik keadaanmu tadi, dia menggunakan dua buah jari
tangan kanan dan kirinya untuk menutuk pedangan. Jelas
dia tentu seorang ahli tutuk yang lihay. Tetapi aku tak
kenal."
"Dia adalah Kiu-kiong-thiat-pit Ko Ca Seng," tiba2 Han
Bi Ing berseru.
Sekalian orang terkejut. In Hong cepat bertanya,
"Bagaimana cici tahu? Bukankah tadi cici mengatakan tak
kenal dengan orang itu?"
"Ayah pernah menyebut namanya tetapi aku memang
belum pernah tahu orangnya," jawab Han Bi Ing.
"O, Kiu-kiong-thiat-pit? Kiu-kiong itu artinya sembilan
istana. Dan thiat-pit adalah pena besi. Apa artinya?"
"Ayah mengatakan bahwa Kiu-kiong-thiat-pit Ko Cay
Seng itu seorang ahli tutuk jalandarah yang sakti," kata Han
Bi Ing.
"Benar," sahut Tong Kui Tik, "sekarang aku ingat.
Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan mengenal
seorang tokoh termasyhur bernama Ko Sam Hiap bergelar
Kiu-kiong-thiat-pit. Dengan sepasang pena besi dia dapat
menutuk sembilan buah jalandarah ditubuh lawan. Kiukiong
bukan sembilan istana tetapi sembilan buah
jalandarah manusia."
"Jika begitu mungkinkah sasterawan tadi putera dari Ko
Sam Hap itu?" tanya In Hong.
"Mungkin saja, mengingat dia juga orang she Ko.
Sedangkan Ko Sim Hiap sudah berpuluh-puluh tahun tak
terdengar beritanya lagi. Kabarnya dia sudah mati," kata
Tong Kui Tik lalu beralih kepada cucunya, "Hong,
mengapa engkau tak dapat merobah watakmu?"
"Watak yang bagaimana, engkong?"
"Suka mengolok-olok orang. Untung sasterawan tadi
sombong, kalau tidak, andaikata dia marah dan
menyerangmu dengan senjata thiat-pit, apakah engkau
mampu melawan?"
In Hong tertawa mengikik, "Jelek2 begini aku dapat
mengenal watak orang, engkong. Kalau berhadapan dengan
seorang lawan yang serius dan cerdik, aku tak berani
menggodanya. Tetapi kalau dia sombong seperti sasterawan
tadi, tentu akan kupancing kemarahannya supaya dia panas
hati, sumbar dan lengah, hi, hi, hi . . . . "
Tong Kui Tik hanya geleng2 kepala. Kemudian dia
bertanya kepada Han Bi Ing kemana tujuannya.
"Tong pehpeh," kata Han Bi Ing, "menilik surat itu
memang tulisan ayah, tentulah ayah masih hidup. Maka
kupikir aku hendak menuju ke Thay-goan saja untuk
mencari ayah."
"Jangan," Tong Kui Tik gelengkan kepala, "ayahmu jelas
tak menghendaki hal itu."
"Tetapi pehpeh," bantah Han Bi Ing, "bukankah dia akan
menderita tanpa ada yang dapat memberi pertolongan?
Kalau dia masih hidup, jelas dia tentu ditawan orang2
Ceng."
"Kutahu ayahmu seorang yang cerdik. Dia tahu kerajaan
Ceng membutuhkan orang2 berilmu tinggi seperti dia.
Walaupun ditawan tetapi dia tentu belum sampai disiksa.
Untuk sementara ini dia tentu tak menderita suatu apa,
kecuali hanya kebebasannya yang dirampas."
"Lalu aku harus bagaimana, Tong pehpeh?"
"Laksanakan perintah ayahmu semula."
"Menuju ke Lou-hu-san?"
"Ya."
"Tetapi pehpeh. Aku tak mau bersenang-senang diri
sendiri kalau ayah sampai menderita."
"Kim tayhiap itu dulu pemimpin dunia persilatan.
Puteranya tentu kenal dengan berbagai ketua perguruan
maupun tokoh2 ternama. Kalau putera Kim tayhiap
meminta, tentulah mereka akan membantu untuk
membebaskan ayahmu."
"Benar, Ing-moay," kata Wan-ong Kui, "apa yang
dikatakan Tong lopeh itu memang benar. Nanti setelah tiba
disana, kita dapat mencari daya untuk menolong ayahmu."
Han Bi Ing mengangguk.
"Engkong, mari kita ikut mengantar cici Ing. Bukankah
dulu waktu pemakaman Kim tayhiap, engkong tak dapat
hadir. Nah, engkong dapat meminta maaf kepada
puteranya itu," seru ln Hong.
"Apa engkau tak jadi mencari nenek-gurumu?"
"Bukankah engkong mengatakan bahwa putera Kim
tayhiap itu tentu kenal dengan tokoh2 persilatan. Bukankah
kita dapat menanyakan diri nenek-guru kepada mereka?"
Tong Kui Tik diam tetapi akhirnya dia menyetujui juga.
Demikian mereka berempat segera melanjutkan perjalanan
ke Lou-hu san.
Disepanjang perjalanan tak ada peristiwa yang penting,
Hanya hubungan antara Wan-ong Kui dengan Han Bi Ing
maupun In Hong, makin akrab. Lucunya, Wan- ong Kui
dapat merasakan, bahwa kedua gadis itu seolah-olah terlibat
dalam persaingan untuk mendekati dia.
"Celaka," diam2 Wan-ong Kui mengeluh dalam hati,
"kalau saja mereka tahu aku ini siapa, uh....."
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di-tempat
tujuan. Gunung Lou-hu-san mempunyai beberapa puncak.
Tempat kediaman Kim Thian Cong di puncak Giok-li-nia.
Makin dekat dengan tempat yang dituju, makin
teganglah hati Wan-ong Kui dan Han Bi Ing, Hanya saja
ketegangan mereka itu tidak sama bahkan saling
bertentangan.
Han Bi Ing gelisah membayangkan bagaimanakah
kiranya putera Kim Thian Cong itu. Adakah dia seorang
pemuda yang cakap dan berbudi halus seperti Wan-ong
Kui? Adakah pemuda itu nanti mau menerimanya sebagai
isteri? Adakah .... adakah .... banyak nian pertanyaan
adakah yang menghuni dalam benak si jelita itu.
Sedangkan Wan-ong Kui mempunyai lain renungan. Ia
merenungkan tentang peristiwa beberapa tahun yang lalu
dengan putera Kim Thian Cong yang bernama Blo'on. Ia
gemas dan merasa terhina sekali atas tindakan Blo'on
kepadanya. Jika Blo'on mau minta maaf dan mengakui
kesalahannya serta bersedia melanjutkan lagi ikatan itu, dia
. .. dia dapat mengampuni. Tetapi kalau pemuda itu
berkeras kepala menolak, dia tetap akan membunuhnya.
"Ah, kasihan Han Bi Ing, dia akan menjadi janda. Tetapi
apa boleh buat," akhirnya ia meneguhkan rencana dalam
hatinya.
Sayup2 tampak genteng warna merah dari sebuah
bangunan yang berdiri di puncak Giok-li-nia, Makin lama
merekapun makin mendekati bangunan itu.
"Ah, putera Kim tayhiap itu tentu sudah besar," kata
Tong Kui Tik.
"Engkong, apakah engkau kenal padanya ?"
Tong Kui Tik gelengkan kepala.
Tak berapa lama merekapun melihat sebuah bangunan
rumah gedung besar. Diatas pintu rumah itu tergantung
sebuah papan bertuliskan Wisma Damai.
Saat itu hari sudah menjelang petang. Kabut malam
mulai bertebaran menimbulkan hawa dingin.
"Ai, aneh benar pemuda itu. Masakan krasan tinggal
ditempat gunung yang begini sunyi senyap," gumam In
Hong.
Pintu gedung itu tidak tertutup dan mereka pun
melangkah masuk. Tetapi keadaannya sunyi senyap tiada
tampak barang seorangpun juga. Bahkan perabot di ruang
itu juga amat sederhana, hanya seperangkat meja kursi.
Satu-satunya perhiasan hanya sebuah lukisan seorang lelaki
yang cakap dan berwibawa. Lukisan itu tertempel pada dinding
dan didepannya terdapat sebuah meja dari sebuah hiolou
atau tempat dupa. Dua batang dupa masih menyala
mengemelutkan asapnya yang harum.
"Ah, Kim tayhiap," seru Tong Kui Tik seraya
menghampiri ke muka meja dan membungkukkan tubuh
memberi hormat dengan khidmat.
"Hong, ayo haturkan hormat kepada Kim tayhiap,"
serunya.
In Hongpun segera melakukan perintah Wan- ong Kui
dan Han Bi Ing juga ikut memberi hormat.
Diam2 Han Bi Ing memperhatikan gambar besar pada
dinding itu. Seorang lelaki yang berumur setengah baya.
Wajahnya cakap, mata dan sepasang alisnya yang lebat,
menampilkan kewibawaan dan keperibadian yang kuat.
Diam-diam ia membayangkan bahwa putera Kim Thian
Cong tentu juga memiliki keperibadian seperti ayahnya.
"Ah, hidup manusia itu memang seperti bermimpi. Sejak
berpisah dengan Kim tayhiap pada tigapuluh tahun
berselang, aku tak dapat bertemu lagi dengannya untuk
selama-lamanya.....," Tong Kui Tik menghela napas.
"Macan mati meninggalkan kulit, manusia mati
meninggalkan nama. Walaupun sudah meninggal tetapi
nama Kim Thian Cong akan tetap di kenang untuk selamalamanya.
Hong, ingatlah, engkau harus hati2 menjaga
nama," kata Tong Kui Tik pula.
"Tetapi engkong, aku kan hanya seorang anak
perempuan . . ."
"Jangan mempunyai pikiran begitu, Hong," sahut Tong
Kui Tik, "bukankah nama Hoa Bok Lan tercatat sebagai
serikandi yang takkan terlupa sepanjang jaman ?"
"Ah, engkong, mana aku mampu menyamai Hoa Bok
Lin ?"
"Itulah," seru Tong Kui Tik," ibarat orang bertanding,
engkau sudah kalah sebelum bertanding. Engkau telah
memperkalahkan dirimu sebelum engkau berusaha. Itu
anggapan salah, Hong. Setiap orang harus jangan merasa
dirinya sudah kalah tetapi harus memiliki pendirian bahwa
apa yang lain orang mampu, kitapun dapat melakukan
juga."
"Ah, lain kata lain kenyataannya, engkong," bantah In
Hong.
"Nah, itu yang disebut 'kalah sebelum bertanding'.
Karena merasa sudah kalah, maka engkaupun lemas tak
bersemangat lagi untuk berusaha. Itu salah," kata Tong Kui
Ttk, "jangan mempunyai anggapan begitu tetapi berusaha
dan berjuanglah. Soal berhasil atau gagal tidak akan
mengurangi nilai daripada perjuanganmu yang engkau
lakukan dengan sungguh hati. Bukankah dewasa ini negara
sedang terancam musuh dari luar ? Nah, inilah kesempatan
yang baik bagaimu untuk berjuang."
Sementara engkong dan cucunya itu sedang tukar
pembicaraan, Wan-ong Kui juga mempunyai kesan sendiri
terhadap gambar dari Kim Thian Cong. Ia menghela napas
dalam hati. Dia sendiri tak tahu apa arti daripada helaan
napas itu.
"Hai siapakah yang mengganggu ketenangan ruang
sembahyang ini !" tiba2 terdengar suara orang berseru tak
senang.
Tong Kui Tik dan ketiga pemuda serempak berpaling
kearah suara itu. Seorang pemuda yang bertampang cakap
dan halus masuk ke dalam ruang itu. Mereka tertegun
ketika pemuda itu tiba dihadapan mereka.
Pemuda itu nyentrik sekali. Mukanya putih karena
dilumuri bedak. Memakai kopiah kepala dari kain tetapi
sampingnya diberi dua buah lubang. Dari kedua lubang itu
mencuat keluar seuntai rambut seperti kuncir, mengenakan
celana hitam dan baju merah.
Han Bi Ing terbeliak, Wan-ong Kui melotot dan In Hong
mendelik. Hanya Tong.Kui Tik yang tenang2 memberi
salam, "Maaf, kami telah lancang masuk kedalam ruang
ini."
"Hm. mau apa kalian datang kemari ?" tegur pemuda
berkuncir itu.
"Maaf boleh kami tahu siapakah anda ini ?" kata Tong
Kui Tik.
"Aku yang bertanya dulu !" seru pemuda itu.
"O. kedatangan kami ini hendak mohon bertemu dengan
Kim kongcu."
"Siapa Kim kongcu itu ?"
"Putera Kim Thian Cong tayhiap."
"Apa engkau belum kenal dengan pemuda itu ?"
"Belum."
"Aneh," gumam pumuda nyentrik, "kalau belum kenal
mengapa hendak bertemu.
Tong Kui Tik terkesiap. Ia heran melihat sikap dan
bicara pemuda itu. Sebelum ia menerangkan lebih lanjut, In
Hong sudah tak kuat dan menyelutuk, "Mengapa aneh ? Ini
kan bukan urusanmu. Siapa engkau ? Lekas panggilkan
Kim kongcu"
"Ini bukan hotel dan aku bukan jongos, mengapa engkau
memberi perintah seperti tuan-besar saja !" balas pemuda
nyentrik itu.
Tong-Kui Tik tahu bagaimana perangai cucunya. Untuk
menghindari ramai2, buru2 dia berkata, "Hong, tak boleh
kurang sopan. Kita ini tetamu."
"Ya tetapi dia bicaranya seperti cuka !'
"Kailau enigkau diperlakukan tak sopan oleh orang, yang
malu bukan engkau tetapi orang itu,” kata Tong Kui Tik
lalu berpaling kepada pemuda nyentrik itu, "Maaf, sekali
lagi kami hendak mohon bertemu dengari putera Kim
tayhiap. Kami datang dengan membawa persahabatan dan
kedamaian."
"Ada beperluan apakah anda hendak bertemu dia ?"'
"Ajakah perlu harus diterangkan ?
"Ya."
"Mengapa ? Bukankah nanti apabila bertemu dengan
Kim kongcu akan dapat mengatakannya ?"
"Setiap orang yang hendak bertemu harus lebih dulu
memberitahu keperluannya."
Tong Kui Tik tertegun. Tiba2 Wan-ong Kui maju,
tegurnya, "Siapa engkau?"
"Engkau lihat aku ini siapa ?"
"Kim Bloon !"
Pemuda nyentrik itu tidak kaget tetapi tenang-tenang
berkata, "Bagaimana engkau tahu ?"
"Itu bukan urusanmu," balas Wan-ong kui.
"Siapa engkau ?"'
"Engkau lihat aku ini siapa ?" Wan-ong Kui balas
menirukan gaya pemuda nyentrik tadi.
'"Setan !" Wan-ong Kui terus hendak memukul.
"Eh, mau pukul-pukulan atau mau bertamu!" bentak
pemuda nyentrik itu.
"Engkau menghina aku !"
'"Engkau suruh aku melihat dirimu dan aku mengatakan
keadaan yang sebenarnya. Mengapa engkau marah!"
"Wan-ong siau-heng, harap sabar," seru Tong Kui Tik,
"engkau bilang dialah putera Kim tay hiap itu ?"
"Siapa lagi kalau bukan pemuda macam begitu !" Wanong
Kui menggeram.
"Benarkah engkau putera Kim tayhiap ?"
"'Ya, ampuuuun.....," tiba2 In Hong melengking.
"Ohhhh," Han Bi Ing mendesuh.
In Hong benar2 tak menyangka bahwa putera seorang
pendekar besar seperti Kim Thian Cong ternyata seorang
pemuda yang blo'on.
Han Bi Ingpun seperti diguyur air es. Pemuda yang
dibayangkan tentu miliki sifat2 seperti gambar Kim Thian
Cong ternyata seperti seorang badut. Rambutnya dibelah
menjadi dua untai kuncir dan mukanya berbedak tebal
seperti badut. Ah, apakah dia harus jadi isteri pemuda
semacam itu…."
"Wan-ong-ko……,” tak terasa Han Bi Ing mengeluh
pada pemuda cakap itu.
"Eh, apa-apaan itu, ya ampun ? Engkau minta ampun
kepada siapa ?" tegur pemuda nyentrik yang mengaku
sebagai putera Kim Thian Ceng.
"Hong, sudahlah," cepat Tong Kui Tik mencegah
cucunya bicara. Lalu dia berseru kepada pemuda nyentrik
itu, "O, sutit, engkau sudah begini besar," dia terus hendak
memeluk pemuda itu, Tetapi pemuda itu menyurut
mundur.
"Eh, nanti dulu, siapa engkau, aku belum kenal, jangan
main peluk saja !" serunya.
Tong Kui Tik menerangkan bahwa dia sahabat Kim
Thian Cong yang sudah tigapuluh tahun tak berjumpa,
"Kim sutit, aku sungguh menyesal dan minta maaf karena
tak dapat menghadiri upacara pemakaman ayahmu."
"Tak perlu !"
"Lho, kenapa ?" Tong Kui Tik terkejut
"Kalau mau minta maaf, mintalah kepada arwah ayah,
tak perlu kepadaku."
"Eh, engkau kan puteranya."
"Ya, tetapi aku sendiri juga tidak hadir waktu itu."
"Hah ?" Tong Kui Tik terperanjat," engkau tidak hadir
dalam upacara pemakaman ayahmu?"
"Sudah kukatakan tidak."
"Mengapa?"
"Dia sedang sakit, engkong," tiba2 In Hong menyelutuk.
Dia tak tahan melihat sikap pemuda nyentrik itu.
"Sakit apa?" Tong Kui Tik heran.
"Sakit ayan . . . . "
"Budak liar, jangan lancang mulut. Aku tidak punya
penyakit ayan!" teriak pemuda nyentrik itu.
Mau tak mau Wan-ong Kui tertawa. Diam2 Tong Kui
Tik juga geli.
"Dia benar, engkau salah, adik Hong," seru Wan-ong
Kui.
"Lalu apa penyakitnya?" In Hong masih me nanggapi.
"Sinting!"
"Jahanam engkau!" pemuda nyentrik itu rnencak2 karena
dimaki sinting, "aku waras, aku tidak sinting!"
"Kalau waras, mengapa engkau seorang pemuda
memakai bedak setebal itu?" seru ln Hong.
"Budak perempuan liar, ketahuilah!" seru pemuda
nyentrik sambil deliki mata, "disini hawanya dingin dan
banyak nyamuk. Kalau malam terpaksa mukaku kubedaki
begini. Bedak itu dapat menolak nyamuk dan menahan
hawa dingin."
"Kim kongcu, kemana sajakah engkau ketika
pemakaman ayahmu itu?'' tanya Tong Kui Tik pula.
"Mengembara."
"Cari cengkerik barangkali ..." tiba2 Iri Hong mengoceh
pula.
Sekalian orang tertawa. Walaupun Tong Kui Tik deliki
mata kepada dara itu tetapi diam2 dia juga geli.
"Eh, budak perempuan liar, apa engkau kira aku ini anak
kecil?" tegur pemuda nyentrik itu.
"Siapa yang bilang engkau anak kecil?"
"Bukankah cari cengkerik itu perbuatan anak kecil?"
"Tidak selamanya anak kecil. Orang tuapun dapat juga
mencari cengkerik. Semisal tidak selama yang berbedak itu
harus orang perempuan, orang lakipun juga pakai bedak . . .
. "
"Budak perempuan, ini tempatku. Kalau engkau terus
menerus bersikap liar, tentu akan kuusir dari sini!"
"Ya, ampuuuuun, marah ya?"
"Sudahlah, Hong, jangan kurang sopan," seru Tong Kui
Tik lalu berkata pula kepada pemuda nyentrik itu, "Kim
kongcu, kedatanganku kemari ini hanyalah perlu untuk
menyambangi sahabatku Kim tayhiap. Maukah kongcu
menunjukkan dimana makam ayahmu itu?"
"Mau apa tanya makam ayah?"
"Aku hendak berziarah ke sana untuk menghaturkan
maaf dan hormatku kepada arwah Kim tayhiap."
"Jangan!"
Tong Kui Tik terbeliak. Aneh sekali pemuda ini,
pikirnya. Tetapi dia makin mendapat kesan bahwa putera
Kim Thian Gong itu memang agak tidak normal
pikirannya. Dia tak marah, kebalikannya malah menghela
napas sedih. Sedih atas nasib Kim Thian Cong, seorang
pendekar besar yang harum namanya dan diangkat sebagai
pemimpin dunia persilatan tetapi mempunyai putera yang
tidak waras pikirannya.
"Kim kongcu, mengapa engkau tak memperbolehkan
aku berziarah ke makam ayahmu?" katanya dengan nada
masih penuh kesabaran.
In Hong heran. Berulang kali engkongnya menerima
kata2 yang menusuk hati dari pemuda nyentrik itu tetapi
mengapa engkongnya masih bersabar saja. Ah, In Hong
memang tak tahu perasaan hati engkongnya terhadap
keluarga Kim Thian Cong.
"Engkau tak tahu," kata pemuda nyentrik itu, "bahwa
untuk berziarah ke makam ayah harus ada izin dulu."
"Izin? Izin dari siapa?" Tong Kui Tik heran.
"Izin dari tujuh perguruan besar."
"Tujuh perguruan besar yang mana saja?"
"Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Hoa-san-pa, Go-bi-pay,
Kun-lun-pay, Kong-tong-pay dan Kay-pang."
"Mengapa harus minta idin kepada ketujuh perguruan
besar itu?"
"Karena merekalah yang bertanggung jawab akan
keselamatan jenasah ayah."
"Bertanggung jawab atas keselamatan jenasah Kim
tayhiap?"
"Ya."
"Aneh," gumam Tong Kui Tik, "apakah jenasah Kim
tayhiap pernah diganggu orang?"
"Ya," sahut pemuda yang dianggap sebagai Kim Blo'on
putera Kim Thian Cong, "pada waktu hendak dimakamkan,
jenasah ayah telah hilang dicuri orang."
"Minta ampuuuuun," kembali In Hong melengking.
"Eh, apa engkau punya sakit jantung, budak liar?" tegur
Blo’on kepada In Hong.
"Siapa bilang!"
"Kalau tidak mengapa tiap kali engkau selalu minta
ampuuun saja."
"Hi, hik," In Hong tertawa mengikik, "cengkerik di
gunung tahunya hanya ngerik saja. Tak tahu kalau di kota
ada alat tetabuhan yang sangat merdu semacan harpa.
Minta ampuuuun itu adalah istilah baru yang tersebar di
kota, menyatakan kalau orang terkejut dan heran melihat
sesuatu yang ganjil. Coba saja engkau turun ke kota, tentu
setiap orang akan berteriak minta ampuuuuun kalau ketemu
engkau !"
"O, jenasah Kim tayhiap pernah dicuri orang? Siapakah
pencurinya ?" buru2 Tong Kui Tik mengikat perhatian
Blo'on dengan pertanyaan.
"Ah, soal itu panjang sekali kalau diberitakan. Cukup
kalau kukatakan bahwa persoalan itu sudah dapat
diselesaikan dan jenasah ayah sudah diketemukan dengan
selamat. Namun sekalipun begitu, ketua dari ketujuh
perguruan besar itu tetap sepakat untuk mengadakan
peraturan bahwa barangsiapa yang hendak berkunjung ke
makam ayah harus mendapat idin dari mereka."
"Ah, sukar. Perguruan itu tersebar di beberapa tempat
yang jarak masing2 amat jauh. Bagai mana mungkin aku
hendak memperoleh idin itu?" Tong Kui Tik menghela
napas.
"Maka lebih baik kalian lekas tinggalkan tempat ini dan
tak perlu harus berziarah kemakam ayah," kata Blo’on.
In Hong marah karena engkongnya secara halus diusir.
Tetapi sebelum dara itu sempat membuka suara, Tong Kui
Tik sudah berkata lagi, "Masih ada sebuah hal vang ingin
kutanyakan kepadamu, Kim kongcu."
"Soal apa?"
"Apakah tak ada ketua dari ketujuh perguruan besar itu
yang datang kemari ?"
"Dulu ada," kata Blo'on, "tetapi sekarang jarang."
'"Siapa yang datang kemari ?"
"Tak tentu," jawab Blo'on "tetapi yang paling sering
adalah Hui Gong taysu dari Siau-lim-si dan Ang Bin tojin
dari Bu-tong-pay. Ada kalanya Hong Hong tojin dari Go-bipay
dan lain2.”
"O, apakah mereka datang sendiri ?"
"Tidak tentu. Ada kalanya hanya mengirim salah
seorang muridnya."
"Baik."
"Masih ada pertanyaan lagi ?".
"Tidak,"
"Jika begitu, silahkan tinggalkan tempat ini."
"Aku sih sudah tak ada urusan, tetapi Wan ong kongcu
ini masih ada," kata Tong Kui Tik.
"Wan-ong kongcu? Kongcu dari mana dia?*
"Ya aku inilah," seru Wan-ong Kui seraya maju
selangkah ke muka.
"'O, engkau yang mau marah tadi. Ada keperluan apa
engkau kemari ?"
"Dua urusan," sahut Wan-ong Kui, "kesatu, aku
mengantarkan nona Han Bi Ing dari kota Thay-goan."
"Dan yang kedua ?'
"Yang kesatu dulu," sahut Wan-ong Kui, "setelah selesai
baru kukatakan yang kedua."
"Apa keperluan nona Han Bi Ing datang kemari ?" tanya
Blo'on.
"Silakan tanya sendiri kepada nona Han."
Blo'on mengulangi pertanyaannya kepada Han Bi Ing.
Nona itu dengan malu2 menyahut, "Aku hendak
menyerahkan surat dari ayahku."
"O, menyerahkan surat kepada siapa ?"
"Kepada putera Kim Thian Cong tayhiap di puncak
Giok-li-nia sini. Apakah engkau benar puteranya ?"
"Engkau anggap aku pantas tidak menjadi putra ayahku
?" balas Blo'on.
"Pantas tak pantas, kalau memang benar puteranya, ya
harus tetap puteranya."
"Benar puteranya atau bukan, juga terserah pada
anggapanmu sendiri. Kalau engkau menganggap aku putera
ayah, memang aku puteranya. Tetapi kalau engkau anggap
bukan, ya bukan."
"Aneh," gumam In Hong, "kalau anaknya bilang terus
terang. Kalau bukan ya harus bilang secara jujur. Mana
pakai anggapan segala."
"Ya," Han Bi Ing menambah, "kalau benar puteranya,
bilang putranya. Kalau bukan, ya bilang bukan. Karena
surat ini hanya boleh kuserahkan kepada putera Kim
tayhiap saja."
"Sudah kukatakan," sahut Blo'on, "terserah engkau mau
menganggap aku ini putera Kim tayhiap atau bukan.
Demikian pula dengan surat ini. Kalau mau menyerahkan,
boleh. Tidak pun tak apa. Aku tak mempunyai kepentingan
dengan surat itu."
"Ing-moay," tiba2 Wan-ong Kui menengahi, "dia
memang Kim Blo'on putera Kim tayhiap."
"O, pantas, pantas," In Hong berteriak seraya bertepuk
tangan.
"Kenapa budak liar !” bentak Blo'on.
"Onng menamakan benda atau anak, tentu harus
disesuaikan dengan wajudnya. Dan eigkau memang tak
mangecewakan dengan namamu itu.”
"Engkau menghina ?"
“Tidak." sahut In Hong yang tajam lidah "aku hanya
berkata menurut keadaan yang sebenarnya. Apakah orang
seperti engkau harus memakai nama Tay Hong atau
pahlawan besar? Kan tidak pantas. Kalau ayahmu .memberi
kau nama Blo'on, itu memang tepat sekali."
"Hm, cewek2 semacam engkau memang genit-genit.
Tetapi coba saja, pada suatu hari engkau tentu akan
menangis."
"Mengapa ?'" In Hong heran.
"Kalau melihat mulutmu yaag tajam, tingkah ulahmu
yang liar dan sikapmu yang genit, pemuda mana yang sudi
memperisteri engkau? Nah pada saat itulah kelak engkau
akan menangisi karena tak dapat jodoh ...-."
"Tutup mulutmu, blo'on sinting!" teriak In Hong dengan
merah padam karena malu, "daripa mendapat lelaki
semacam engkau, lebih baik aku tak kawin. Hanya gadis
yang . . . . " tiba2 ia tak melanjutkan perkataannya karena
teringat akan Han Bi Ing. Dia kuatir kata2 itu akan
menyinggung perasaan Han Bi Ing.
"Genit, mengapa tak melanjutkan perkataanmu? Gadis
yang .... yang bagaimana, hayo, bilanglah!" teriak Blo'on.
"Gadis yang tak tahu dan tak kenal kepadamu!" dengan
lincah dara itu dapat mengalihkan jawabannya.
"Hong, sudahlah, biarkan nona Han Bi Ing melanjutkan
pembicaraannya," kata Tong Kui Tik.
"Engkau mau menerima surat dari ayahku atau tidak?"
rupanya Han Bi Ing jengkel juga melihat tingkah dan
ucapan Blo'on.
"Lho, aneh, engkau mau menyerahkan kepadaku atau
tidak?" balas Blo'on.
Wan-ong Kui menyambar surat dari tangan Han Bi Ing
lalu menyerahkan kepada Blo'on, "Nih, terimalah dan baca
apa isinya!'
Dengan santai Blo'on membuka surat itu. Seketika
wajahnya mengerut tegang, "Ah, tak mungkin . . . . "
“Apa yang tak mungkin?" seru Wan-ong-Kui. Dia sudah
tahu persoalannya dan dia mewakili Han Bi lng untuk
berbicara dengan Blo'on. Ia tahu sebagai seorang gadis, Han
Bi Ing tentu malu untuk mengurus tentang perjodohan
dirinya. Apalagi harus otot-ototan dengan seorang pemuda
nyentrik seperti Blo'on.
"Siapa Han Bun Liong itu, aku tak kenal."
"Dia jelas ayah dari nona ini."
"Terserah dia punya anak siapa. Tetapi aku tak pernah
merasa kenal dengan dia, mengapa dia terus berani
menetapkan perjodohan ini!''
"Jelas hal itu sudah disetujui oleh kedua orangtua, ayah
nona Han dan ayahmu."
" Tanyakan saja pada ayah."
"Engkau gila!" teriak Wan-ong Kui, "bukankah Kim
tayhiap sudah meningal dunia?"
"Engkau susul ke akhirat atau tunggu saja kalau ayah
kelak menitis kembali."
"Kim Blo'on, jangan sembarangan bicara seenakmu
sendiri," hardik Wan-ong Kui dengan nada tajam, "ini
bukan urusan guyon tetapi mengenai nasib orang."
"Habis, aku harus bilang bagaimana?" seru Blo'on.
"Bukankah isi surat itu sudih jelas?"
"Memang jelas," sahut Blo'on, "tetapi aku tak tahu
menahu soal itu. Ayah tak pernah bilang apa2 kepadaku."
"Apakah ibumu tak pernah bererita?"
"Ibuku sudah meninggal sejak aku masih kecil."
Wan-ong Kui tertegun. Sesaat kemudian ia berkata pula,
"Tetapi engkau harus percaya kepada apa yang dikatakan
Han lo-enghiong, ayah nona Han Bi Ing ini. Kalau tak ada
persetujuan begitu, masakan dia mau menyuluh nona Han
datang kemari."
"Eh, bung, jangan mendesakkan alasan yang tak ada
landasannya. Andaikata engkau, apakah engkau terus mau
menerima saja hal itu. Engkau belum kenal dengan
seseorang, lalu tiba2 engkau menerima suratnya yang
menjodohkan puterinya kepada engkau. Apakah engkau
terus kontan menerimanya?"
Wan-ong Kui tertegun. Memang pertanyaan Blo'on itu
sukar dijawab.
"Han lo-enghiong seorang tokoh yang termasyhur kaya,
dermawan dan gagah. Bagaimana mungkin beliau hendak
menipu engkau?" bantah Wan-ong Kui.
"Engkau benar," kata Blo'on, "tetapi untuk engkau
sendiri. Sedang untuk aku, tidak bisa. Aku belum kenal
dengan Han lo-enghiong dan ayahku juga tak pernah
mengatakan hal itu. Bagaimana mungkin aku dapat
menerimanya begitu saja?"
Wan-ong Kui tertegun.
"Ada dua jalan," kata Blo'on lebih lanjut "jika engkau
hendak menyelesaikan persoalan ini.”
“Bagaimana?"
"Pertama, aku minta supaya Han lo-enghiong datang
kemari untuk memberi kesaksian hal itu. Kedua, harus
mencarikan bukti bahwa mendiang ayah, pernah
mengadakan persetujuan begitu.
"Kalau salah satu dari permintaanmu dapat
kulaksanakan, apakah engkau mau menerima?"
"Itu baru soal resmi atau tak resminya surat itu. Jelasnya,
baru suatu bukti tentang terjadi per setujuan antara ajah
dengan Han lo-enghiong saja. Soal aku menyetujui atau
tidak, masih akan kupertimbangkan lagi."
"Wan ong-ko," teriak Han Bi Ing, "ambil kembali surat
itu!"
"Kenapa, Ing-moay?"
"Aku hanya menuruti perintah ayah. Aku tidak akan
mengemis belas kasihannya. Bahkan aku berterima kasih
karena dia tak mengakui surat itu dan akupun tidak terikat
lagi!" kata Han Bi Ing dengan nyaring.
"Baiklah, Ing-moay," kata Wan-ong Kui lalu mengajak
sekalian orang keluar.
"Hai, bukankah engkau masih ada urusan lagi dengan
aku?"
"Tunggu!" seru Wan-ong Kui, "nanti aku segera kembali
kesini lagi."
Setelah keluar dari wisma, berkatalah Wan-ong, "Tong
lopeh, Ing-moy dan nona In, tolong kalian tunggu disini.
Aku hendak menemui Kim Blo'on lagi."
"Lho aneh," seru In Hong, "mengapa kita tak boleh
mendengarkan? Apakah rahasia?"
"Ya, anggaplah begitu," Wan-ong Kui berkata dengan
nada terpaksa, "nanti setelah selesai, akan ku beritahu
kepada kalian." — Habis berkata Wan-ong Kui terus masuk
kedalam wisma lagi.
"Engkau mau mengatakan soal yang kedua?" tegur Kim
Blo'on.
"Ya," sahut Wan-ong Kui, "tetapi soal ini menyangkut
urusan peribadi kita. Kuharap jangan engkau beritahukan
kepada siapa juga, tahu?"
"O, ada urusan peribadi? Apakah itu?" Kim Blo'on
heran.
"Bukankah pikiranmu masih waras?"
"Apa engkau kira aku ini gila?"
"Baik, dengarkan dan jawablah pertanyaanku ini," kata
Wan-ong Kui.
"Hm".
"Beberapa tahun yang lalu, apa engkau masih ingat kalau
engkau pernah berkelana?"
“Ya."
"Apa engkau pernah mengobati puteri baginda Ing Lok
yang sakit keras itu?"
"Rasanya pernah."
"Jangan pakai rasanya. Pernah atau tidak, jawab yang
tegas!"
"Ya."
"Engkau dapat menyembuhkan penyakit ki-ongcu (
puteri raja ) atau tidak?"
"Ya, kong-cu memang sembuh."
"Lalu seri baginda Ing Lok mengganjar engkau hadiah
apa?"
"Puteri itu."
"Bagus," seru Wan-ong Kui, "siapa nama puteri yang
akan dijodohkan kepadamu itu?"
"Eh, mengapa engkau bertanya begitu melilit?"
"Jawab!" bentak Wan-ong Kui.
"Aku lupa namanya."
"Gila!"' teriak Wan-ong Kui, "masakan puteri yang
hendak dijodohkan kepadamu, engkau tak tahu namanya."
"Eh, soal lupa itu hakku sendiri. Mengapa engkau
hendak main paksa mengharuskan aku ingat?"
"Hm," dengus Wan-ong Kui, "engkau menganggap
baginda bersungguh-sungguh hendak menganugerahkan
puterinya atau hanya sekedar main2 saja?"
"Aku tak memiliki anggapan apa2!"
"Apa maksudmu?"
"Baginda mau menganugerahkan puterinya atau tidak,
aku tak peduli."
"Tetapi nyatanya puteri itu telah diberikan kepadamu."
"Ya."
"Mengapa engkau melarikan diri?"
"Aku seorang manusia bebas."
"Engkau pengecut!"
"Eh, apa katamu?"
"Engkau pengecut! Engkau seorang lelaki yang tak
bertanggung jawab."
'"Lho, jangan seenakmu sendiri memaki orang!"
"Engkau memang harus dan wajib dimaki!"
"Aku kan tuan dari diriku sendiri. Mengapa aku tak
boleh berbuat apa yang kuanggap baik untukku?"
"Benar," sambut Wan-ong Kui, "engkau mau mencebur
laut, mau terjun ke jurang, mau minum racun, mau apa
saja, itu memang hakmu. Tetapi engkau kan mempunyai
tanggung jawab kepada puteri itu, mengapa engkau minggat
begitu saja? Engkau telah menghina raja, mempermainkan
puteri baginda."
"Lho, aku kan belum resmi menikah tetapi baru akan
dinikahkan?" bantah Blo'on.
"Itu kan soal peresmian upacara saja tetapi amanat
baginda sudah dikeluarkan, berarti sudah resmi."
Blo'on terkesiap, "Eh, inikah yang engkau maksudkan
dengan urusan peribadi itu?"
"Apa lagi kalau bukan begitu."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Tergantung kepadamu."
"Aku tidak mengerti omonganmu!"
"Engkau mau menerima puteri itu sebagai isterimu atau
tidak?"
Blo'on tertawa.
"Mengapa tertawa?" Wan-ong Kui terbeliak.
"Kerajaan Beng sudah pecah. Jangankan puteri bahkan
bagindapun sudah wafat. Dalam keadaan dimana nasib
seseorang masih belum dapat dipastikan, mengapa harus
meributkan persoalan suami isteri?"
"Itu bukan urusanmu, itu urusan seluruh pemerintah dan
rakyat kerajaan Beng. Engkau tahu, bagaimana perasaan
puteri itu?"
"Siapa yang tahu perasaan orang?"
"Engkau telah membunuh dia. Dia benci dan merasa
malu karena sebagai seorang puteri raja, telah engkau
permainkan begitu rupa."
Blo'on tertawa ringan, '"Engkau bicara seolah-olah
engkau ini puteri itu sendiri . . . . "
"Aku utusannya!"
"O, engkau diutus puteri untuk mencariku?"
"Ya."
"Untuk apa ?"
"Untuk meminta ketegasanmu. Engkau mau menerima
puteri itu sebagai isterimu atau tidak!"
"Kalau menerima, mana puteri itu ?"
"Itu bukan urusanmu. Akulah yang akan membawa
puteri itu kesini."
"Kalau aku tidak menerima ?"
"Engkau harus mati !"
"Siapa yang membunuh aku ?"
"Aku."
"O, engkau hendak membunuh aku ? Enak saja. Apa
kaukira aku ini bangsa ayam yang gampang engkau
sembelih ?"
"Buktikan saja nanti!"
"Hm," dengus Blo'on, "beginilah sifat manusia itu.
Manusia yang berkuasa, menganggap rakyat itu harus
tunduk pada perintahnya. Manusia yang tua, menganggap
anak itu wajib menurut perintah orangtua. Raja memaksa
aku harus menikah dengan puterinya. Tadi Han Bun Liong
dari Thay-goan itu juga hendak suruh aku memperisteri
anaknya. Katanya sejak kecil sudah dipacangkan dengan
aku. Aku ini seperti manusia yang tak boleh memilih jodoh
sendiri, tak berhak menentukan pilihanku sendiri. . . ."
"Tidak !" tiba2 Blo'on berteriak.
"Hm, engkau menolak ?"
"Engkau hanya seorang utusan. Suruh raja datang sendiri
kemari untuk bicara dengan aku."
"Perlu apa ? Pertama, seri baginda Ing Lok sudah wafat.
Kedua, pada waktu itu baginda sudah berkenan
menurunkan amanatnya mengenal perjodohan itu."
"Itu kan kehendak raja. Semisal dengan surat dari Han
Bun Liong tadi. Itu kehendak dia sendiri dan mungkin
kehendak orangtuaku. Tetapi semuanya bukan
kehendakku."
"Tetapi bukankah waktu itu engkau sudah menerima ?"
"Aku belum pernah menyatakan begitu. Seolah-olah aku
tak berhak menyatakan pendapat dan harus menerima !"
"Jadi …"
"Tak perlu membicarakan peristiwa itu lagi. Sekarang
negara sedang terancam musuh. Mengapa baginda tidak
memikirkan bagaimana untuk menghancurkan musuh
melainkan mengurus urusan tetek-bengek begini."
Wan-ong Kui terkesiap.
"Aneh, mengapa baginda mengejar-ngejar aku. Pada hal
puteri itu cantik. Baginda dapat menikahkan dengan siapa
saja, yang lebih cakap lebih pandai dari aku."
"Hm," dengus Wan-ong Kui, "mungkin baginda merasa
berhutang budi kepadamu karena engkau dapat
menyembuhkan penyakit puteri."
"Aku tak merasa menghutangkan budi kepada baginda.
Kalau aku dapat menyembuhkan, itu hanya secara
kebetulan saja. Mungkin puteri memang belum takdirnya
mati sehingga Thian mengirim aku untuk menolongnya."
"Ah, engkau hendak cari alasan."
'"Sebagai rakyat, akupun wajib memberi bantuan kepada
raja sebagai suatu pengabdian, bukan hutarg-piutang budi !"
"Hm, engkau boleh beranggapan begitu," kata Wan-ong
Kui, "tetapi akupun harus menunaikan tugas yang diberikan
baginda. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghina
baginda dan puteri raja. Aku diberi kekuasaan penuh untuk
membunuhmu sebagai hukuman."
"Soal itu aku minta tempo."
"Berapa lama?"
"Sampai nanti setelah penjajah Ceng enyah dari bumi
kita !"
Wan-ong Kui terkesiap. Tetapi pada lain saat dia
berkata, "Baik. Tetapi sekarang aku minta janjimu dulu."
"Apa ?"
"Engkau harus mengakui bahwa puteri raja itu adalah
isterimu. Soal pelaksanaannya aku setuju pada pendirianmu
yalah setelah penjajah Ceng kita usir."
"Tidak," Blo'on menolak, "soal itu kita rundingkan lagi
kelak setelah peperangan ini selesai. Tak perlu segala janji."
"Penting," sahut Wan-ong Kui," dengan berjanji itu
berarti puteri itu adalah milikmu.
"Engkau mencelakai puteri !"
"Apa ?" Wan-ong Kui terbeliak.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap orang tak
tahu bagaimana nasibnya. Apakah engkau berani
memastikan kalau aku tentu masih hidup sampai
peperangan selesai ?"
"Mengapa tidak ? Kalau engkau tinggal di gunung ini,
siapa yang akan mengganggumu ?"
"Tidak, aku takkan enak2 tidur selama negara ini sedang
terancam musuh. Dan lagi apa engkau kira dengan tinggal
di gunung ini aku tentu selamat ?"
"Mengapa tidak ?"
"Hm, kalau sudah takdirnya, masakan engkau, aku dan
setiap orang mampu menghindar dari Giam-lo (raja
akhirat). Di rumah, sembunyi, tidur pun orang bisa mati."
"Apa engkau hendak turun gunung ?"
"Itu urusanku sendiri, tak perlu engkau ikut campur.
Tetapi yang jelas, aku takkan berpeluk tangan mengawasi
rakyat kita sedang ditindas penjajah Ceng."
Wan-ong Kui terdiam. Beberapa saat kemudian dia
berkata, "Begini. Aku menghendaki sepatah kata saja dari
mulutmu yang berjanji bahwa engkau mau menerima puteri
itu sebagai isterimu."
"Tidak perlu berjanji,” seru Blo’on, “besok kalau
peperangan sudah selesai dan kita masih sama2 hidup, kita
bicara lagi !"
"Engkau mau mengakui puteri itu sebagai isterimu atau
tidak ?"
"Ah, perlu apa harus meminta pengakuan.. Bukankah
hal itu malah menyiksa dirinya ?"
"Menyiksa bagaimana ?"
"Andaikata aku mati dalam peperangan, tidakkah puteri
akan menjadi seorang janda ? Lain halnya kalau tak ada
pengakuan, dia masih tetap sebagai seorang gadis puteri."
Wan-ong Kui tertegun sejenak, kemudian berkata pula,
"Tidak, aku harus membawa laporan kepada puteri tentang
hasil pertemuanku dengan engkau. Paling tidak, engkau
harus memberi suatu pengakuan bahwa engkau mengakui
puteri sebagai isterimu."
"Ah, tak perlu,"
"Engkau menganggap tak perlu, tetapi aku menganggap
perlu. Engkau harus memberi pernyataan, engkau mau
mengakui puteri sebagai isteri atau tidak !"
"Sudah kukatakan, besok saja kalau peperangan sudah
selesai. Jangan engkau memaksa sekarang."
"Hm, jika begitu, jelas engkau masih ragu2, pada hal
persoalan itu sudah dinyatakan dalam firman seri baginda.
Baik, karena engkau keras kepala, akupun terpaksa harus
menggunakan wewenang yang telah diberikan kepadaku
untuk mengambil batang kepalamu!"
Noot: Tentang peristiwa Blo'on dengan puteri raja,
silakan baca Pendekar Blo'on.
"Boleh, boleh," sahut Blo'on, "silakan ambil kalau
engkau mampu."
Wan-ong Kui serentak mencabut pedang dan berseru,
"Hayo, pakailah senjatamu juga!"
Blo'onpun segera melolos pedang. Wan-ong Kui tak mau
banyak bicara lagi dan terus membuka serangan.
Tring, tring, tring ....
Terdengar sambaran angin yang tajam dari gerak
permainan pedang kedua pemuda itu. Dan ada kalanya
terjadi benturan senjata yang menimbulkan dering suara
yang menusuk telinga.
Seru sekali pertempuran antara kedua pemuda itu. Wanong
Kui memainkan ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat yang
hebat tetapi dia heran atas permainan ilmupedang lawan.
Kalau tak salah lawan menggunakan ilmupedang Giok-likiam-
hwat atau ilmupedang Bidadari.
"Aneh," gumam Wan-ong Kui dalam hati, "ilmupedang
Giok-li-kiam itu khusus untuk pendekar wanita. Tetapi
Blo'on ini anak lelaki, mengapa dia memainkan ilmupedang
itu?"
Memang Peh hoa-kiam-hwat atau ilmupedang Seratusbunga,
setanding sekali dengan ilmu pedang Giok-li-kiam.
Baik gayanya yang mengutamakan keluwesan dan
ketangkasan maupun jurusnya yang indah, hampir sama.
Sementara rombongan Tong Kui Tik yang menunggu di
halaman luar, karena lama tak melihat Wan-ong Kui keluar
dan kemudian mendengar suara gemerincing senjata
beradu, menyebabkan mereka terkejut.
"Eh, rupanya terjadi pertempuran senjata," seru In Hong
yang tajam telinganya. Dia terus menghampiri kedalam
wisma. Tong Kui Tik dan Han Bi Ingpun mengikuti.
Apa yang mereka saksikan dalam ruang wisma itu,
membuat mereka terkejut, "Ai, mereka bertempur,
engkong," seru In Hong.
Wan-ong Kui terkejut, cepat ia membisiki, “Kalau
engkau seorang ksatrya, engkau harus pegang janjimu tadi."
“Janji apa?" kata Blo'on seraya masih memainkan
pedangnya.
"Bahwa urusan kita ini, jangan sampai terdengar
mereka."
"Aku sih tak perlu harus memberitahu kepada mereka.
Mereka kan rombonganmu."
"Hm, asal engkau pegang janjimu sajalah," dengus Wan
ong Kui seraya menyerang dengan deras.
Tiba2 In Hong berteriak, "Wan-ong-ko, mengapa engkau
menyerangnya ?"
"Mulutnya usil, perlu diberi hajaran." sahut Wan-ong
Kui.
"Ya." seru In Hong, "bagaimana kalau kubantu, biar
cepat selesai?"
Sebelum Wan-ong Kui menyahut, Blo'on sudah
melengking, "Boleh, boleh, mari budak liar, engkau maju
sekalian. Kalau perlu semua boleh maju, biar menghemat
tempoku."
"Jangan Hong," cegah Tong Kui Tik ketika melihat
cucunya hendak ikut mengeroyok.
"Tetapi dia menantang aku, bahkan engkong juga
ditantangnya," seru In Hong.
Tong Kui Tik tersenyum, "Karena mendengar engkau
menawarkan bantuan kepada Wan-ong Kui, maka dia
panas hatinya."
"Tetapi engkong," In Hong masih tak puas, "mengapa
engkong tak mengidinkan aku meringkusnya ?"
"Ua, uah, budak liar yang genit mulut, "tiba2 Blo'on
menyanggapi," enak saja kalau ngomong. Seperti ayam saja
mau diringkus. Cobalah kalau engkau mampu . . . ,"
Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring dari jauh.
Dan cepat sekali terdengar langkah kaki orang memasuki
ruang.
Sekalian orang berpaling dan tahu2 dalam ruang itu telah
muncul empat orang lelaki.
"Ah," diam2 Tong Kui Tik mengeluh dalam hati ketika
melihat dua dari pendatang itu tak lain adalah sasterawan
Ko Cay Seng dan pertapa Suto Kiat.
Tetapi dia lebih terkejut ketika melihat kedua kawan Ko
Cay Seng. Yang satu seorang imam tua dan yang satu
seorang lelaki berumur 35-an tahun, dandanannya seperti
orang Boan yang berpangkat.
Bahwa kedatangan Ko Cay Seng dan Suto Kiat
membawa dua orang kawan tentulah tidak membawa
maksud baik, dapat dimaklumi Tong Kui Tik. Tetapi yang
mengejutkan hati jago Go-bi-pay yang telah dikeluarkan
dari perguruan itu tak lain bahwa imam itu juga berasal dari
perguruan Go-bi-pay.
Tetapi sebelum dia sempat bertanya, In Hong sudah
menyeluluk, "Hai, mengapa kalian nongol lagi ?'"
"Budak liar, jangan bermulut tajam. Kedatanganku
kemari karena mengantar kedua kawan yang mempunyai
urusan disini," sahut Ko Cay Seng.
"Kim kongcu, mundurlah, biar kubereskan pemuda
lawanmu itu," tiba2 orang Boan yang berpakaian indah itu
berseru seraya maju dan terus menghantam Wan-ong Kui.
Sudah tentu W-an-ong Kui terkejut. Dia geliatkan
pedangnya menyongsong pukulan orang Boan itu. Tetapi
orang Boan itu cepat tamparkan tangan kiri sehingga
pedang Wan-ong Kui tersiak ke samping.
"Kim kongcu, mengapa engkau diam saja? Hayo,
ringkuslah dia!" seru orang Boan itu kepada Blo'on.
Memang saat itu Blo'on tertegun dan hentikan
permainannya. Andaikata pada saat Wan-ong Kui
menyerang orang Boan tadi, dia menyerang Wan-ong Kui,
tentulah Wan-ong Kui celaka, Tetapi ternyata dia hentikan
serangannya.
"Hai, siapa engkau!" melihat Wan-ong Kui diserang, In
Hong terus melesat ke muka dan menusuk punggung orang
Boan itu. Tetapi orang Boan itu menghindar ke samping.
"Ho, engkau budak liar? Dengarkanlah," seru orang
Boan itu, "Kim kongcu adalah kawan kami!"
"Siapa engkau!"
"Aku Barbak, adik dari panglima Torgut dari pasukan
kerajaan Ceng."
"Apa putera Kim tayhiap itu kawanmu,” In Hong
terkejut.
"Ya," sahut Barbak, "dia sudah banyak sekali jasanya
menangkap tokoh2 persilatan yang menentang kerajaan
Ceng. Kelak dia akan diambil menantu oleh kak Torgun!"
Kata2 Barbak, adik dari panglima besar kerajaan Ceng,
bagaikan halilintar meletus. Sekalian orang terkejut. Bahkan
Blo'on sendiri juga tersentak kaget.'
"O, dia seorang penghianat?" seru In Hong.
"Budak liar, jangan lancang mulut. Dia bukan
penghianat. Dia seorang pahlawan yang berjasa besar pada
kerajaan Ceng. Dia ingin menyelamatkan rakyat dari
kehancuran!"
"Hai, tidak, tidak! Aku tak kenal siapa engkau! Jangan
memfitnah," teriak Blo'on.
Barbak tertawa riang, "Sudahlah, Kim kong cu. Tak
perlu kita main sandiwara. Di hadapan budak liar semacam
ini, perlu apa kita takut membuka kartu."
"Engkau . . . eng . . . . " saking kagetnya, dada Blo'on
sampai sesak bernapas sehingga ucapannya tersekat sekat.
"Sudahlah Km kongcu, jangan kuatir," Barbak tertawa,
"hari ini kita memang sengaja datang kemari ini untuk
menjaring mereka berempat. Lawanmu itu, adalah keluarga
raja Beng, harus kutangkap. Orangtua itu, murid murtad
dari perguruan Go-bi-pay, nanti Hian Hian tojin yang akan
membereskan. Budak perempuan liar itu, pernah menghina
Ko-heng.
Ko-heng (Ko Cay Seng) yang akan memberi pelajaran.
Dan gadis cantik itu, puteri Han Bu Liong, biar Suto
siangjin yang menangkapnya agar Han Bun Liong
menyerah. Dan engkau, Kim kongcu, silahkan memeriksa
makam ayahmu. Kemungkinan ada orang yang hendak
mencuri jenasah ayahmu lagi!"
"Tidak, engkau bohong !" teriak Blo'on
"Ai, mengapa engkau masih tak percaya ke pada Kim
kongcu," Barbak tertawa, "kalau aku bohong, engkau boleh
kembali kemari dan buntulah aku ! Lekas, jangan sampai
terlambat !"
Mendengar itu Blo'on bingung. Ia tak kenal siapa mereka
berempat itu. Tetapi menilik orang Boan yang bernama
Barbak itu begitu serius, kemungkinan memang makam
ayahnya hendak diganggu orang.
"Biarlah aku ke sana. Kalau memang dia bohong, aku
masih dapat kembali kesini untuk membuat perhitungan
dengan orang Boan ini," akhirnya Blo'on mengambil
keputusan dan terus lari.
In Hong dan Tong Kui Tik serempak hendak mencegah
tetapi begitu keduanya maju, ln Hong sudah dihantam Ko
Cay Seng dan Tong Kui Tik diserang imam tua. Blo'on tak
mengira kalau keadaan dalam ruang itu, dia terus lari
menuju ke makam ayahnya.
Kini Wan-ong Kui berhadapan dengan Barbak, Tong
Kui Tik dengan imam Go-bi-pay, In Hong dengan Ko Cay
Seng. Pertapa Suto Wan tidak mendapat lawan. Dia segera
menghampiri ke tempat Barbak.
'"Ciangkun," serunya. Ia menyebut Barbak dengan
panggilan ciangkun (jenderal ), "potong ayam tak perlu
pakai pisau pemotong kerbau. Harap ciangkun beristirahat,
serahkan pemuda pucat itu kepadaku."
"Terima kasih, siangjin," sahut Barbak seraya loncat
mundur, "aku hendak menyusul Kim kongcu untuk
membicarakan urusan penting."
"Silakan," jawab Suto Kiat, "nanti tentu akan kami
haturkan beberapa pemberontak ini."
Mendengar itu Barbak terus melesat keluar.
"Hm, kiranya engkau budak orang Boan," dengus Wanong
Kui kepada Suto Kiat.
"Jangan banyak mulut!" bentak Suto Kiat, "kalau engkau
mau menyerah, tentu engkau akan ringan hukumanmu,
kemungkinan akan mendapat kebebasan. Tetapi kalau
engkau keras kepala, ha, ha, jangan menyesal kalau sudah
terlambat."
"Hanya manusia2 yang takut mati dan rakus hidup,
bersedia menjadi budak kaum penjajah yang hendak
menguasai negara kita!" seru Wan-ong Kui.
"Jangan banyak mulut!" Suto Kiat terus menampar
dengan lengan jubahnya. Segelombang angin kuat,
menderu kearah Wan-ong Kui. Wan oig Kui terkejut dan
cepat loncat menghindar. Namun terpaksa dia harus
memutar pedangnya untuk menghapus arus tenaga lawan
yang masih terasa menggetarkan tubuhnya.
Menyadari bahwa lawan memiliki tenaga pukulan yang
sakti, Wan-ong Kuipun berlaku hati-hati untuk
menghadapinya. Untung ia memiliki pedang pusaka yang
luar biasa tajamnya sehingga banyak membantunya untuk
menahan desakan lawan.
Sementara In Hong yang harus berhadapan dengan
sasterawan Ko Cay Seng, masih coba2 untuk menggunakan
siasat membuat hati lawan panas agar mau sesumbar seperti
ketika bertempur siang tadi.
"Hai, orang she Ko, mengapa tak mengeluarkan
sepasang thiat-pitmu ? Apa engkau tak takut menderita
kekalahan seperti siang tadi ?" In Hong sengaja
mengejeknya.
Kekalahan yang diderita Ko Cay Seng sebenarnya bukan
suatu kekalahan bertempur melainkan kekalahan karena
kehabisan waktu. Ia sumbar kalau dalam lima jurus pasti
dapat mengalahkan In Hong dan Wan-ong Kui. Tetapi
ternyata sampai duapuluh lima jurus ia tetap tak berhasil.
Dan akhirnya ia harus pergi.
Ia tahu bahwa dara itu memang bermaksud hendak
membikin panas hatinya. Namun melihat bahwa saat itu
dia hanya berhadapan dara itu seorang diri karena Wan-ong
Kui sudah dikerjai Suto Kiat, diapun tetap menganggap
enteng. Apa lagi dihadapan Barbak, adik dari panglima
besar kerajaan Ceng, ia tentu malu sekali apabila sampai
menderita kekalahan lagi.
"Ho engkau kira yang pintar itu hanya engkau sendiri,
budak liar ? Bukankah engkau hendak melancarkan siasat
untuk membuat panas hatiku sehingga aku mau memberi
keringanan kepadamu? Heh, heh,” Ko Cay Seng tertawa
mengekeh.
"Heh, heh,” In Hong balas menirukan tertawa Ko Cay
Seng, “siapa sudi meminta keringanan kepadamu ? Aku kan
suruh engkau pakai senjata agar jangan sampai engkau
kalah seperti siang tadi ? Hm, apa engkau kira aku tak
mengerti ilmu kepandaianmu yang sekaligus dapat
menusuk sembilan jalandarah orang ? Tetapi uh,
sebenarnya engkau masih harus belajar lagi, karena jelas
kulihat engkau baru mampu menusuk tiga atau paling
banyak empat jalandarah orang. Kalau mau jadi kuku
garuda, harus memiliki kepandaian yang tinggi, jangan
kepalang tanggung seperti engkau itu. Cis, kalau aku jadi
pembesar Ceng, aku tak sudi pakai orang semacam engkau.
Orang yang dengan paling2 hanya berani berhadapan anak
perempuan saja!”
Bukan main marah Ko Cay Seng ditelanjangi begitu rupa
oleh In Hong. Dia sudah tahu kalau si dara hendak
membikin panas hatinya. Dia berusaha hendak menekan
perasaannya tetapi kata2 yang berhamburan seperti banjir
dari mulut dara itu, benar2 membuat mukanya merah
padam seperti kepiting direbus. Apalagi ketika imam Go-bipay
dan pertapa Suto Kiat juga mendengar dan
menyempatkan waktu untuk berpaling memandangnya, Ko
Cay Seng benar2 seperti semut diatas kuali panas,
kelabakan setengah mati.
"Bukankah engkau ini anak dari Ko Sam Hiap yang
terkenal sebagai ahli menutuk jalandarah dengan pit besi
itu? Huh, kau tahu mengapa dia tak berani keluar ke dunia
persilatan lagi? Tak lain karena dia takut setengah mati
kepada guruku. Bapamu yang bisa menutuk sembilan buah
jalandarah saja sudah keok, apalagi engkau yang baru
mampu menutuk tiga atau empat jalandarah, heh, heh . . ..
"
In Hong memberondongnya dengan kata yang tajam
lagi. Apa yang didengar dari keterangan engkongnya tadi
tentang tokoh Ko Sam Hiap, terus dibuat senjata untuk
memberondong Ko Cay Seng.
In Hong tahu bahwa saat itu dirinya terancam bahaya.
Engkongnya tentu tak dapat menolong karena sedang
berhadapan dengan seorang lawan. Juga Wan-ong Kui
tentu sibuk sendiri karena berhadapan dengan Suto Kiat.
Sedang Han Bi Ing walaupun nganggur tetapi tak dapat
membantu karena tak mengerti ilmusilat. Ia nekad untuk
membikin panas hati lawan. Sukur kalau lawan mau
sumbar seperti siang tadi tetapi kalau tidak mau, paling
tidak dia dapat mengulur waktu. Siapa tahu mungkin akan
datang seseorang yang dapat merobah keadaan yang
berbahaya pada saat itu.
Diluar dugaan In Hong, Ko Cay Seng tertegun
mendengar ocehan dara itu. Dia heran, mengapa dara itu
tahu nama ayahnya, tahu tentang ilmu kepandaian
ayahnya, bahkan tahu sampai tataran berapa kepandaian
ilmu thiat-pit yang dimiliki ayahnya dan dia sendiri. Tetapi
ketika mendengar dara itu mengatakan kalau ayahnya (Ko
Sam Hap) takut keluar karena dikalahkan oleh guru si dara
itu, dia marah, "Bohong! Siapa bilang ayahku kalah dengan
gurumu? Siapa nama gurumu itu?"
"Coba engkau ingat2, bukankah ayahmu pernah
bercerita kalau dia kalah unggul kepandaiannya dengan
seorang tokoh yang dijumpainya?"
Ko Cay Seng tcrkesiap. Ia memang pernah mendengar
ayahnya menceritakan sebuah peristiwaj yang aneh.
Pada suatu hari ayahnya ( Ko Sam Hiap ) bertemu
seorang tua berambut putih dan jenggot putih yang panjang
sampai menutup dada. Orang itu mengatakan dia kepingin
mati tetapi sayang selama ini tak ada orang yang dapat
membunuhnya, "Kalau engkau dapat membunuh aku, akan
kuberimu sebuah kitab pusaka berisi suatu ilmusilat sakti
yang sudah tak ada lagi dalam dunia persilatan."'
Ko Sam Hiap tertarik dan menyanggupi. Tetapi
walaupun dia sudah tumpahkan seluruh ilmu menutuk
sembilan buah jalandarah dengan 'thiat-pit, tetapi tetap dia
tak mampu menyentuh tubuh orangtua aneh itu. Orangtua
itu tidak membalas tetapi dia memiliki gerak yang
mengherankan. Tampaknya diam tetapi bergerak, kosong
tapi berisi, ke kanan tetapi sesungguhnya ke kiri, menyurut
ke belakang tetapi ternyata maju kedepan.
Ko Sam Hiap benat2 terkejut, kagum dan putus asa.
Akhirnya ia merjatuhkan berlutut minta maaf dan mohon
diberi pelajaran. Tetapi orangtua aneh itu menolak,
katanya, "Segala apa di dunia ini mempunyai jodoh atau
pasangan. Engkau tak berjodoh dengan kitab pusaka itu
…..”
Sejak itu Ko Sam Hiap tak keluar dari tempatnya. Dia
berusaha mengingat setiap gerakan orangtua itu dan coba2
untuk merangkai dan nyusunnya dalam sebuah tata-gerak.
Dia memang berhasil tetapi tak dapat menentukan isi atau
intisari pokok dari gerak tata-langkah yang luar biasa dari
orangtua aneh itu.
Teringat akan cerita ayahnya itu, tiba2 timbul pertanyaan
dalam hati Ko Cay Seng, "Apakah dara ini murid dari
orangtua aneh itu?"
"Ah, tak mungkin," pada lain saat ia membantah dugaan
itu, "orangtua itu ketika bertemu ayah pada tigapuluh tahun
yang lalu, sudah tua renta. Kemungkinan sekarang sudah
mati. Tak mungkin dara yang baru berumur belasan tahun
ini dapat menjadi muridnya!"
Jika dengan gertakan itu In Hong dapat memaksa Ko
Cay Seng berpikir-pikir dulu atau paling tidak dapat
meagulur waktu, pun diantara Tong Kui Tik dengan imam
tua dari perguruan Go-bi-pay telah terjadi percakapan yang
menarik.
"Hm, orang she Tong, kukira engkau sudah tak berani
muncul lagi. Ternyata engkau masih hidup," seru imam tua
itu.
"Siapakah tosu ini?" tegur Tong Kui Tik dengan masih
bernada sabar.
"Aku Hian tojin dari Go-bi-pay."
"Dengan Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay yang
sekarang?"
"Dia murid Biau Hun ciang-bun-jin yang terdahulu dan
aku murid dari Biau Ceng tojin, suheng dan Biau Hun ketua
Go-bi-pay yang dulu."
Tong Kui Tik terkejut, "Jika begitu engkau adalah sutit (
murid keponakan ) dari suhuku Biau Gong tojin.....
"Memang Biau Gong tojin yang kini menjadi tiang-lo (
tetua ) Go-bi-pay adalah supehku. Tetapi aku tak kenal
engkau. Hanya kudengar bahwa Biau Gong tianglo dahulu
pernah mempunyai seorang murid orang biasa. Murid itu
telah melanggar peraturan perguruan dan telah diusir."
Tong Kui Tik teringat bahwa waktu ia masih belajar di
perguruan Go- bi-pay, memang paman gurunya, Biau Ceng
tojin, masih belum mempunyai murid. Kemungkinan
setelah dia diusir, barulah Biau Ceng menerima Hian Hian
tojin.
"Lalu apa maksud Hian Hian sute . . . . "
"Jangan menyebut sute kepadaku. Engkau bukan murid
Go bi-pay lagi!" tukas Man Hian.
Tong Kui Tik terkesiap lalu mengangguk.
"Go-bi-pay telah menentukan pendirian. Dalam
peperangan ini, akan berdiri netral, tidak akan membantu
kerajaan Beng, juga tidak mendukung kerajaan Ceng. Gobi-
pay hanya sebuah perguruan yang menyiarkan ajaran
agama dan musilat. Tidak mencampurkan politik negara."
"0," desuh Tong Kui Tik, "sejak kapankah peraturan itu
diresmikan ?"
"Mengapa engkau bertanya begitu ?" balas Tian Hian
tojin.
"Karena dulu waktu aku masih belajar di Go-bi-pay."
kata Tong Kui Tik, "bahkan suhu sering menanamkan
ajaran2 tentang keadilan dan kebenaran. Membela keadilan
dan kebenaran adalah suatu dharma yang baik."
"Memang benar," sahut Hian Hian.
"Dan membela kerajaan Beng dan serangan orang2
Boan, juga suatu dharma yang baik."
"Itu berarti mencampuri politik negara. Tidak boleh."
seru Than Hian.
"O, apakah Go-bi-pay yang sekarang, menganggap
bahwa pasukan Ceng yang hendak menjajah negara kita itu
adil dan benar ?"
"Itu urusan negara .. .."
"Jawab menurut suara hati nuranimu !" teriak Tong Kui
Tik," adil atau tidak, benar atau tidak kalau suku Boan itu
hendak menduduki negara Beng ?"
"Orang she Tong," sambut Hian Hian, "jangan
mencampur-adukkan urusan perorangan dengan urusan
negara. Urusan negara jauh lebih luas dan lebih banyak
liku-likunya daripada urusan pertorangan."
Tong Kui Tik tertawa, "Perbedaan sedikit dengan banyak
itu hanya soal jumlah tetapi tak merobah sifat pendirian itu,
Keadilan harus dijunjung, Kebenaran harus ditegakkan."
"Kerajaan Beng sudah bobrok. Raja hanya bersenangsenang
dengan arak dan wanita. Mentri dorna menguasai
pemerintah. Keadilan dan Kebenaran sudah kabur. Itulah
sebabnya maka kerajaa Ceng muncul untuk membela
Kebenaran dan menegakkan Keadilan di singgasananya."
"Itu alasan orang Boan. Engkau orang Han mengapa,
engkau membela orang Boan," sahut Tong Kui Tik,
"kerajaan Beng bobrok, kita orang Han sendiri yang akan
mengurus. Tak perlu harus kerajaan Ceng campur tangan."
Hian Hian tertawa, "Jelas, jelas. Sekarang sudah jelas
bahwa kabar yang mengatakan engkau menentang kerajaan
Ceng dan hendak menggabung dengan kaum pemberontak,
itu memang benar. Bukankah begitu ?"
"Tentang aku hendak bergabung diri pada apa yang
engkau sebut sebagai pemberontak, itu masih belum
kupikirkan. Tetapi yang jelas aku memang menentang
kerajaan Ceng yang hendak menduduki kerajaan Beng !"
"Bagus, bagus," seru Hian Hian tojin dengan gembira,
"dengan begitu jelas engkau mampunyai tiga macam dosa
yang tak dapat diampuni lagi.'
Tong Kui Tik terkesiap namun sesaat kemudian ia
berseru tenang, "Coba katakan apa ketiga kesalahanku itu."
"Pertama, engkau melanggar peraturan perguruan Go-bipay
yang melarang anakmuridnya mencampuri urusan
politik negara."
"Kedua," kata Hian Hian tojin pula. "engkau berani
menentang kerajaan Ceng, Dan ketiga, engkau
menggabungkan diri pada kaum pemberontak. Hukuman
dari ketiga dosa itu adalah mati "!
"O," dengus Tong Kui Tik, "apakah aku yang hendak
dihukum mati itu tak boleh membela diri ?"
"Boleh."
"Terima kasih," kata Tong Kui Tik dengan nada yang
tenang, "tuduhan pertama itu ngawur ! Tadi aku menyebut
engkau sebagai sute, engkau menolak dan mengatakan
kalau aku sudah bukan. murid. Go-bi-pay lagi. Tetapi
mengapa sekarang engkau menuduh aku melanggar
peraturan Go-bi-pay ? Bukankah sekarang aku sudah bukan
murid Go-bi-pay lagi ?"
Hian Hian tojin mengangguk, "Benar, memang Go bipay
tak mau mengakui engkau sebagai murid lagi. Tetapi
ada suatu peraturan yang menentukan tentang bekas murid
atau murid yang sudah diusir dari perguruan Go-bi-pay.
Jika sudah dipecat, dia berbuat baik, hidup tenang sebagai
rakyat biasa. Go-bi-paypun takkan mengambil , tindakan
lagi kepadanya, Tetapi kalau dia masih aktief dalam dunia
persiatan. lebih2 menggabungkan diri pada golongan Hitam
atau pada gerombolan pemberontak, Go-bi-pay tetap akan
mencarinya."
"Apa hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya ?"
"Dia harus mengembalikan ilmu kepandaiannya yang
didapat dari perguruan Go-bi-pay !"
"Dan engkau anggap bahwa aku telah berkomplot
dengan golongan Hitam dan kaum pemberontak ?"
"Ya."
"Tidak !" teriak Tong Kui Tik," aku tak pernah keluar ke
dunia persilatan. Aku memang menentang kerajaan Ceng
yang hendak menghancurkan negara kita ini. Itu pendirian
peribadiku. Aku belum menggabungkan kepada apa yang
engkau sebut sebagai kaum pemberontak itu."
"Tetapi bukankah karena engkau memiliki pendirian
begitu engkaupun hendak menggabungkan diri pada kaum
pemberontak ?" Hian Hian tojin.
"Bagi kerajaan Ceng, memang kaum yang menentang
mereka dicap sebagai kaum memberontak. Tetapi apa yang
sebenarnya diberontak itu? Ap akah melawan orang asing;
yang hendak menjajah negara kita pantas disebut sebagai
pemberontak? Memang bagi orang Boan, bisa mengatakan
begitu. Tetapi engkau seorang putera Han, mengapa engkau
juga berkata begitu?"
"Aku ingin menyelamatkan rakyat dari bencana
peperangan yang menghancurkan!" jawab Hian Hian tojin.
"Tojin," seru Tong Kui Tik, "tolong tanya, dalam
kedudukan dan jabatan apakah engkau datang kemari?"
Hian Hian terkesiap. Namun ia tak gentar dan menyahut
dengan tegas, "Aku tianglo dari Go-bi-pay yang hendak
mengadakan pembersihan pada seorang bekas murid yang
masih bertindak salah karena melanggar peraturan
perguruan!"
"Masih kurang lengkap, tojin," seru Tong Kui Tik,
"engkau harus mengatakan pula bahwa engkau adalah
pembesar atau kaki tangan kerajaan Ceng."
"Kalau aku menyangkal, engkau tentu tak percaya. Maka
terserah saja bagaimana engkau hendak menganggap diriku.
Tetapi yang penting aku akan bertindak sebagai seorang
tianglo terhadap seorang bekas murid Go-bi-pay. Engkau
harus mengembalikan ilmu kepandaian yang engkau I
peroleh dari Go-bi-pay!"
"Caranya ?" Tong Kui Tik menegas.
"Hm, masakan engkau masih berlagak pilon," seru *Hian
Hian tojin, "engkau kan sudah tua, tentu mengerti.
Terserah, engkau sendiri yang menghancurkan tulang pipeh-
kutmu atau aku yang harus bertindak !'
Tong Kui Tik tenang2 menjawab," Hian Hian tojm, sejak
aku dikeluarkan dari parguruan Go-bi-pay, memang aku tak
pernah menggunakan ilmu silat dari perguruan lagi. Dan
aku bersumpah, selama aku tak diakui sebagai murid Go bipay,
aku takkan mengaku sebagai murid Go-bi-pay dan
takkan menggunakan llmusilat dari perguruan itu. Adakah
hal itu masih belum memuaskan engkau ?"
Hian Hian tertawa mengejek. "Engkau boleh berkata
begitu tetapi terhadap orang2 tua bangkotan seperti aku
yang tahu akan seluk beluk ilmu.silat, hal itu tentu tak mau
percaya."
Wajah Tong Kui Tik mengernyut tegang,, Serunya,
"Lalu bagaimana kehendakmu ?"
"Tetap akan melaksanakan hukuman seperti yang
tercantum dalam peraturan Go-bi-pay." kata Hian Hian
tojin.
Tiba2 Tong Kui Tik tertawa nyaring. Nadanya seolah
telah menggetarkan atap ruang dan, menyusup keluar.
Hian Hian tojin terkejut. Jelas orang she Tong itu kini
memiliki tenaga-dalam yang hebat. Seingatnya, dewasa itu
dalam perguruan Go-bi- pay tak ada tokoh yang
mempunyai tenaga-dalam sekuat itu. Bahkan ketua Go bipiy
yang sekarang, Hong Hong tojin, juga masih kalah
setingkat dengan Tong Kui Tik.
"Hian Hian tojin." seru Tong Kui Tik setelah berhenti
tertawa, "silakan engkau ambil kembali kepandainku yang
berasal dari Go-bi-pay. Tetapi karena sekarang aku bukan
murid Go-bi-pay, aku terpaksa akan membela diri. Tetapi
jangan kuatir, aku takkan menggurakan ilmusilat dari Gobi-
pay!"
"Ucapan seorang ksatrya ... . "
"Bagi kuda binal yang lari!" sambut jago tua Tong Kui
Tik. Makna ucapan itu tak lain bahwa Hian Hian tojin
hendak memperingatkan Tong Kui Tik supaya tidak ingkar
janji. Artinya Tong Kui Tik tak boleh menggunakan
ilmusilat dari Go bi-pay.
"Oang sbe Tong, bersiaplah.!"
"Silahkan memulai dulu," jawab Tong Kui Tik.
Hian Hian tojin membuka serangan dengan jurus Hunsoh-
ngo-gak atau Awan-menutup-lima-gunung. Tangannya
menampar kepala Teng Kui Tik tetapi jago tua itu loncat
menghindar. Hian Hian menyusuli lagi berturut-turut
sampai tujuh delapan serangan, akan tetapi Tong Kui Tik
tak mau menangkis melainkan hanya menghindar saja.
*'Hai, mengapa engkau hanya main menghindar saja?"
tegur Hian Hian tojin.
'Betapapun aku dulu adali
etapapun aku dulu adalah murid Go-bi- pay. Kata orang
meneguk air harus ingat sumbernya '. Walaupun aku sudah
tak mau menggunakan ilmusilat Go-bi-pay lagi, tetapi
ilmusiiat yang kuciptakan itu tak lain karena berkat
pengetahuan dasar yang telah kuterima dari Go-bi-pay.
Maka terhadap anakmurid Go-bi-pay, aku selalu mengalah.
Kalau memaksa harus bertempur pun aku selalu mengalah
sampai sepuluh jurus tak mau membalas . . . . "
"Orang she Tong, engkau bermulut besar sekali!
Sambutlah seranganku ini!" dengan geram Hian Hian tojin
lancarkan sebuah pukulan yang disebut Mo-thian-ciang
atau pukulan Meraih langit.
Darrrrr.....
-oodwoo-
Jilid: 10
Hian Hian tojin, sute dari Hong Hong tojin ketua
perguruan Go-bi-pay, marah sekali karena tersinggung
dengan ucapan Tong Kui Tik. Dengan mengerahkan
delapan bagian tenaga-sakti dia menghantam Tong Kui Tik
sekuat-kuatnya. Tetapi Tong Kui Tik loncat menghindar.
Dia masih mengingat bahwa Hian Hian itu adalah
anakmurid dari susioknya (paman guru) Biau Ceng tojin.
Dia tak kenal dengan Hian Hian tetapi ia kenal dengan
susioknya Biau Ceng tojin itu. Ketika masih belajar di Gobi-
pay. dia banyak menerima petunjuk dari su-sioknya.
Dia ingin membalas budi kepada paman gurunya maka
dia tak mau melayani Hian Hian dengan sungguh-sungguh.
Tong Thian siansu, ketua Ga-bipay angkatan kelima
mempunyai tiga orang murid yakni Biau Gong, Biau Ceng
dan Biau Hun. Sebenarnya yang layak mengganti
kedudukan sebagai ciang-bun-jin atau ketua adalah Biau
Gong tojin. Tetapi karena peristiwa Tong Kui Tik yang
dituduh membunuh Asita lhama, kepala kuil Mutiara Putih
di Tibet lalu Tong Kui Tik diusir dari perguruan, Biau Gong
tojin sangat menyesal dan menolak jabatan ' ciang-bun-jin.
Dia rela menjadi tiang-lo atau sesepuh perguruan Gobi-pay
saja.
Kedudukan tianglo itu memang sangat dihormati,
hampir menyamai kedudukan penasehat atau dewan
pertimbangan dari perguruan. Tetapi tak punya kekuasaan
dalam urusan perguruan. Kekuasaan tetap berada di tangan
ketua sepenuhnya.
Sebenarnya setelah Biau Gong mengundurkan diri, calon
ketua Go-bi-pay harus jatuh pada murid yang kedua yakni
Biau Ceng tojin. Tetapi Tong Thian siansu mempunyai
pertimbangan lain. Seorang ketua perguruan, selain harus
memiliki kepandaian ilmusilat yang tinggi, juga harus
mempunyai kewibawaan dan keperibadian yang kuat dan
jujur. Dalam hal itu menurut wawasan Tong Thian siansu,
Biau Ceng kurang memiliki. Biau Ceng memang lebih hebat
ilmusilatnya tetapi Biau Hun lebih jujur dan setia
keperibadiannya.
Tong Thian siansu mengumumkan pengangkatan Biau
Hong tojin sebagai ketua Go-bi-pay dalam sebuah rapat
besar perguruan itu. Tetapi seminggu kemudian, Tong
Thian siansu jatuh sakit dan menutup mata.
Beberapa tahun kemudian barulah Biau Ceng tojin
menerima seorang murid yalah Hian Hian itu. Murid itu
amat disayanginya karena baik bakat ilmusilat maupun
perangainya, Hian Hian memang sesuai dengan gurunya.
Setelah Biau Hun mengundurkan diri, ketua Go-bi-pay
dijabat oleh Hong Hong tojin sampai sekarang. Karena
Biau Ceng tojin itu suheng dari Biau Hun tojin, maka
muridnya yakni Hian Hian menurut tingkatan adalahsuheng
dari Hong Hong tojin. Tetapi Hian Hian lebih
senang menyebut dirinya sebagai sute karena umurnya
kalah tua dengan Hong Hong tojin.
Sebenarnya Hong Hong tojin atau ketua Go-bi-pay yang
sekarang sudah mencium bau tentang gerak gerik Hian
Hian tojin yang mengadakan hubungan dengan tokoh2
yang bekerja pada kerajaan Ceng. Tetapi karena selama itu
belum ada bukti yang jelas dan lagi paman gurunya yakni
Biau Ceng siansu yang menjadi guru Hian Hian itu selalu
melindungi muridnya, maka Hong Hong tojin pun agak
sungkan.
Pukulan yang dilancarkan Hian Hian kepada Tong Kui
Tik memang bukan alang kepalang hebatnya. Hian Hian
menggunakan ilmu Pek-lui ciang atau pukulan Seratushalilintar.
Karena.Tong Kui Tik sempat menghindar maka
dinding ruanganlah yang menjadi korban, hancur
berantakan sehingga menimbulkan sebuah lubang besar.
"Hm, Hian Hian benar2 hendak membunuh aku," pikir
Tong Kui Tik sesaat menyaksikan kedahsyatan pukulan
lawan. Diam2 pula ia makin gelisah. Keadaan fihaknya
tidak menguntungkan. Wan-ong Kui dihadang pertapa
yang tentu berkepandaian tinggi. In Hong berhadapan
dengan Ko Cay Seng. Jelas dara itu bukan tandingannya.
Sedang Blo'on yang menuju ke makam ayahnya disusul
Barbak. Dia masih belum percaya kalau putera Kim Thian
Cong itu map bersekutu dengan orang Boan.
"Aku harus cepat2 menyelesaikan pertempuran ini.
Sebenarnya aku tak ingin melukai Hian Hian. Tetapi Hian
Hian ternyata amat bernafsu sekali untuk membunuhnya,
sukar untuk melepaskan diri dari libatannya," pikir Tong
Kui Tik lebih lanjut, yah, apa boleh buat. Terpaksa aku
harus melayani imam ini dulu."
Dia serentak mengeluarkan ilmusilat ciptaannya sendiri.
Ilmusilat itu didasarkan atas perhatiannya terhadap burung
elang yang terbang dan dinamakan Hui-eng-sip-pat-poh
atau Delapan-belas-gerak- elang-terbang.
Dengan menggunakan pukulan itu, barulah Tong Kui
Tik dapat menghindar dan mengimbangi permainan Hian
Hian.
Memang diam2 Hian Hian terkejut melihat permainan
Tong Kui Tik yang berloncatan menyambar-nyambar
seperti burung elang. Dan dia harus mengakui bahwa gaya
permainan lawan yang hebat itu bukanlah ilmu kepandaian
dari perguruar Go-bi-pay.
Sementara itu memang Wan-ong Kui mampu
menghadapi serangan pertapa Suto Kiat sampai berpuluh
jurus. Hal itu disebabkan karena Wan-ong Kui
menggunakan pedang pusaka sehingga memaksa lawan
harus hati2 bergerak. Tetapi bagaimanapun juga, karena
pertapa itu lebih tinggi kepandaiannya maka lama
kelamaan Wan-ong Kui terdesak juga.
"Lepas!" tiba2 Suto Kian membentak.
"Ih. . . .," Wan-ong Kui mendesis kejut ketika
pergeiangan tangannya tertutuk jari lawan dan pedangnya
mencelat ke udara.
Setelah berhasil menutuk pergelangan tangan lawan,
pertapa Suto Kiat terus maju hendak mencengkeram bahu.
Wan-ong Kui tetapi pada saat itu tiba2 ia rasakan ubun2
kepalanya diserang orang. Terpaksa ia harus membuang
diri melesat ke sam ping.
Ternyata pada saat sedang melambung ke udara, Tong
Kui Tik melihat pedang Wan-ong Kui mencelat keatas.
Cepat ia menyambarnya lalu dengan gunakan gerak Huieng-
cok-thau atau Elang-terbang-mematuk-kepala, ia
menukik kebawah dan menghantam ubun-ubun kepala Suto
Kiat. Untung pertapa itu cepat loncat ke samping, kalau
terlambat sedikit saja, tentulah ubun2 kepalanya sudah
bobol.
"Inilah pedangmu," seru Tong Kui Tik seraya
melemparkan pedang pusaka itu kepada Wan- ong Kui.
Habis menyerahkan pedang, Tong Kui Tik cepat
menyongsong Suto Kiat yang sudah maju menerjang.
Tetapi berbareng pada saat itu, Hian Hian tojin juga
memburu datang. Dia hendak menyerang Tong Kui Tik
tetapi dihadang oleh Wan ong Kui. Dengan demikian
terjadilah bertukaran lawan. Sekarang Tong Kui Tik
berhadapan dengan Suto Kiat. Wan-ong Kui melawan Hian
Hian tojin.
Jika waktu melawan Hian Hian, Tong Kui Tik masih
terpancang rasa sungkan kini berhadapan dengan Suto Kiat,
dia tak sungkan lagi. Serentak dia menyerang pertapa itu
dengan gerakl Hui-eng-sip-pat-poh (Delapan-belas-gerakelang
terbang). Pelahan-lahan Suto Kiat mulai terdesak dan
mundur sampai akhirnya keluar dari ruang wisma. Kini
mereka bertempur di halaman.
Rupanya Hian Hian juga mempunyai pikiran seperti
pertapa Suto Kiat. Bertempur menghadapi seorang lawan
yang menggunakan senjata pusaka, dia harus bergerak
dengan lincah. Kalau berada dalam ruang yang penuh
orang, jelas gerakannya kurang leluasa. Maka diapun segera
memancing lawan supaya keluar ke halaman. Tetapi Hian
Hian pun telah menarik pelajaran dari adegan tadi. Agar
jangan sampai Tong Kui Tik sempat menolong Wan-ong
Kui, maka Hian Hian memancing pemuda itu supaya
meninggalkan wisma agak jauh. Setelah berada dibalik
gerumbul pohon yang terpisah seratusan langkah dari
wisma, barulah Hian Hian berhenti dan menghadapi Wanong
Kui.
Kini dalam ruang itu hanya tinggal In Hong yang sedang
menghadapi Ko Cay Seng bersama Han Bi Ing yang berdiri
di sudut ruang.
Saat itu Ko Cay Seng sudah menyerang In Hong. Dia
tahu kalau adu mulut, dia tentu kalah dan bisa muntah
darah karena gemas. Diapun ingin membuktikan apakah
benar In Hong itu mutid dari orang sakti yang dulu pernah
berjumpa dengan ayahnya ( Ko Sam Hiap ).
Ilmupedang Song-ou-tiap (sepasang kupu2 ) yang
dimainkan In Hong memang cukup hebat. Untuk beberapa
waktu, Ko Cay Seng memang dapat ditahan. Tetapi
menghadapi ilmu tutukan jari dari keluarga Ko yang
termasyhur itu, mau tak mau In Hong sibuk bukan
kepalang. Itu saja Ko Cay Seng baru mencapai tataran
keenam yakni baru dapat menutuk enam jalandarah.
Andaikata dia sudah menguasai sampai tataran yang
tertinggi, tentulah In Hong sudah sejak tadi rubuh.
Pada suatu saat yang menegangkan, jari Ko Cay Seng
menyelonong menusuk uluhati In Hong.
''Adik Hong, silangkan pedang ke dada, pedang kiri
julurkan kemuka, tusuk hidungnya!" tiba-tiba terdengar
suara orang berteriak.
Ko Cay Seng terkejut. Ia tertegun. Sesaat ia menjerit
kaget karena ujung pedang In Hong sudah hampir
menyentuh ujung hidungnya. Cepat ia condongkan kepala
ke belakang lalu menggeliat berputar kesamping terus
menutuk lagi.
"Adik Hong, putar badan kesamping dan babat lengan
lawan dengan pedang tangan kiri!" kembali Han Bi Ing
berteriak.
Semula In Hong tadi memang kaget waktu mendengar
petunjuk Han Bi Ing. Ia tahu Han Bi Ing tampaknya seperti
seorang gadis lemah yang tak mengerti ilmusilat. Namun
karena Ko Cay Seng tertegun maka ia lakukan juga perintah
Han Bi Ing itu. Dan karena hasilnya mengejutkan, dapat
mematahkan serangan Ko Cay Seng, maka waktu kedua
kalinya Han Bi Ing memberi petunjuk iru, In Hong tak
ragu2 lagi untuk menurut.
"Setan," gumam Ko Cay Seng dalam hati ketika bukan
saja serangannya gagal, pun ia juga terpaksa harus
menyingkir supaya lengannya jangan sampai terbabat
pedang In Hong.
Demikian peristiwa itu berlangsung terus menerus.
Setiap kali Ko Cay Seng melancarkan serangan maut, Han
Bi Ing terus berteriak memberi petunjuk kepada In Hong.
Dan setelah In Hong melakukannya, memang hasilnya
mengejutkan In Hong sendiri maupun Ko Cay Seng.
Setelah sepuluh jurus berlangsung begitu akhirnya
marahlah Ko Cay Seng. Kalau gadis itu dibiarkan saja
mengoceh memberi petunjuk, tentulah dia takkan dapat
merebut kemenangan. Gadis itu harus kubungkam dulu,
akhirnya Ko Cay Seng mengambil keputusan.
Dia loncat menerjang In Hong dengan sebuah tutukan ke
mata. Dan saat itu Han Bi Ingpun berteriak memberi
petunjuk. Pada waktu In Hong menyurut mundur dan
hendak berkisar ke samping, tiba2 Ko Cay Seng loncat
menerjang Han Bi Ing.
"Cici Ing ....!" In Hong menjerit kaget "sekali. Ia hendak
loncat tetapi sudah terlambat.
Ko Cay Seng sudah rentangkan tangan mendekap tubuh
Han Bi Ing dan tampaknya Han Bi Ing tak berdaya
menghadapi.
"Auhhhhh . . tiba2 Ko Cay Seng menjerit keras dan
loncat mundur ke belakang.
"Adik Houg, lekas serang dia!" teriak Han Bi Ing.
In Hong tak tahu apa yang terjadi namun dia lakukan
juga perintah Han Bi Ing. Cepat ia loncat menerjang. Tetapi
Ko Cay Seng ayunkan tangannya terus lari keluar.
"Awas, jarum beracun!"' teriak Han Bi Ing.
In Hong memang juga menduga begitu. Ia memutar
pedangnya untuk menyapu senjata gelap yang ditaburkan
lawan, terdengar beberapa denting kecil ketika pedangnya
berhasil memukul beberapa batang jarum.
"Aduhhhhh....." In Hong menjerit dan rubuh ke lantai.
"Adik Hong!" Hin Bi Ing berteriak kaget dan lari
menghampiri.
Ternyata sebatang jarum telah mengenai kaki In Hong
sehingga dara itu tak dapat bergerak dan rubuh.
"Cici Ing, kakiku kena jarum," seru In Hong sembari
menunjuk ke arah betis kaki kanannya.
"Ah," Han Bi Ing makin gelisah. Ia mencopot sepatu In
Hong dan menggulung celananya. Tepat diatas mata kaki
dara itu, tertancap sebatang jarum emas. Han Bi Ing cepat
mencabutnya lalu ia mengeluarkan obat Kim-jong-san,
dilumurkan pada bekas luka yang terkena jarum.
"Ah, untung bukan jarum beracun," kata Han Bi Ing
setelah memeriksa jarum emas itu.
"Cici Ing, engkau ternyata mengerti ilmu silat . . . ."
"Sudahlah, adik Hong," Han Bi Ing memberi isyarat
supaya gadis itu jangan bicara, "lekaslah engkau melakukan
pernapasan. Kita masih menghadapi beberapa lawan yang
tangguh."
In Hong menurut.
"Aku hendak keluar menjenguk keadaan Wan ong-ko
dan ayahmu, adik Hong,"' kata Bi Ing seraya melangkah
keluar wisma.
Tiba di halaman dia heran, "Eh, kemanakah orang2 yang
bertempur tadi ? Mana Wan-ong-ko ? Mana Tong lopeh ?"
katanya seorang diri. Dia hendak berteriak tetapi dia kuatir
akan mengganggu In Hong. Kalau dia berteriak, dara itu
tentu lari keluar.
"Tidak, In Hong tak boleh terganggu ketenangan
pikirannya. Biar kucari mereka sendiri," dia terus mencari
ke sekeliling tempat itu tetapi tetap tak menemukan Wanong
Kui, Tong Kui Tik maupun kedua lawan mereka.
"Aneh," pikirnya, "kalau ada yang rubuh, tentu terdapat
tubuh mereka. Kalau terluka, pun tentu ada bekas2 ceceran
darah. Tetapi mengapa sama sekali tak kulihat jejak suatu
apa-apa?"
Akhinya ia terpaksa kembali ke wisma.
Saat itu sudah makin malam. Rembulan menyembul
diantara sela2 gumpalan awan. Tiba2 Han Bi Ing melihat
sesosok tubuh melesat masuk ke dalam ruang. Ia terkejut
sekali dan cepatkan langkah, "Ah, sayang tenagaku masih
belum pulih," gumamnya menyesali langkahnya yang terasa
kurang cepat.
"Hai, siapa engkau !" tiba2 Han Bi Ing mendengar
teriakan ln Hong dan pada lain saat ia mendengar suara
senjata menyambar-nyambar.
Dan ketika ia melangkahkan kaki ke pintu ruang,
kejutnya makin menjadi. In Hong sedang menyerang
seorang lelaki muda yang bertubuh tegap. Pemuda itu
hanya menghindar kian kemari seraya berseru, "Sabar,
nona. Aku bukan orang jahat. Mari kita bicara dulu . . . ."
"Jangan banyak mulut !'' bentak In Hong seraya
menyerang dengan, sepasang pedangnya," aku bukan anak
kecil yang gambang engkau bohongi. Engkau tentu
konconya kawanan kuku garuda itu!"
Kuku garuda adalah istilah untuk menyebut orang yang
menjadi kaki tangan pemerintah yang hendak menjajah
negara Tiong-goan, misalnya kerajaan Goan. kerajaan Kim,
kerajaan Ceng.
Pemuda itu terkejut ketika dirinya dimaki sebagai kuku
garuda.
"Tidak, aku bukan kuku garuda !" serunya.
"Hai, mana pencuri mau mengaku pencuri?" dengus In
Hong seraya makin gencarkan serangannya.
Pemuda itu benar2 kewalahan untuk membeIa diri.
Terpaksa dia hanya berlincahan menghindar kesana kemari.
"Adik Hong," tiba2 Ilan Bi Ing berseru, "siapakah orang
ini ?"
"Siapa lagi kalau bukan konco mereka !" In Hong
melengking. "kalau kita dapat menangkap yang ini, tentu
tahu sarang mereka !"
"Nona," teriak orang itu. "aku bukan konco mereka ?
Aku tak tahu siapakah 'mereka' yang engkau maksudkan itu
?"
"Diam!" bentak Ia Hong, "kau mau menyerah atau tidak.
.Mumpung belum terlanjur aku mengamuk, lebih baik
engkau serahkan diri saja. Asa! engkau mau memberi
keterangan yang jujur, akupun takkan membunuhmu."
Pemuda itu tercengang,
"Apakah salahku ?" serunya sesaat kemudian.
Diam2 Hari Bi Ing yang memperhatian pemuda itu
mendapat kesan baik. Pertama wajah pemuda itu tampan
dan tak mengunjuk sifat2 jahat. Dan selama diserang habishabisan
dia tak mau membalas dan hanya menghindar saja.
Dari gerakan tubuhnya, jelas dia tentu memiliki kepandaian
yang tinggi. Kalau mau, rasanya pemuda itu tentu sudah
dapat mengalahkan In Hong.
"Adik Hong. berhentilah dulu. Rasanya ada....."
“Tidak, cici Ing, kalau sampai lolos sukar untuk
menangkap gerombolan yang tadi," seru In Hong seraya
menyerang makin gencar. Namun tetap ia tak mampu
melukai pemuda itu.
Sekonyong-konyong terdengar derap langkah orang dan
pada lain saat muncullah tiga orang lelaki mengenakan
serangan prajurit. Yang satu seoang lelaki brewok dan yang
dua adalah perwira prajurit Ceng.
"Hai, berhenti kalian !" benta'k lelaki brewok itu dengan
suara menggeledek sehingga In Hong tertegun. Kesempatan
itu digunakan oleh pemuda lawannya untuk menyurut
mundur.
"Jawab, dimana pangeran Barbak ?" teriak lelaki brewok
itu pula. Tetapi tak ada yang menjawab.
"Hai. anak perempuan, apa engkau tuli bentaknya
kepada In Hong.
Namun In Hong tetap diam dan hanya memandang
geram.
"'Gila, apa engkau tuli!" kembali lelaki brewok itu
menuding In Hong, melangkah maju dan terus menampar.
Uh.... tiba2 ia tarik pula tangannya karena disambut dengan
tabasan pedang oleh In Hong.
"Kurang ajar, engkau budak hina !" lelaki brewok itu
deliki mata.
"Siapa yang engkau maki, monyet!" In Hong balas
melengking.
"Budak hina, engkau berani memaki aku monyet!" lelaki
brewok itu hendak memukul tetapi dicegah oleh salah
seorang perwira, "Pa-heng, jangan turun tangan dulu
sebelum kita mendapat keterangan tentang pangeran
Barbak."
"Nona," perwira itu tampil kemuka dan berkata kepada
In Hong, "aku hendak minta keterangan kepadamu."
"Aku ?
"Ya."
"Baik," kata In Hong, "begitu dong kalau mau bertanya
pada orang. Masakan pecicilan main tuding orang, seperti
tuan besar saja lagaknya.''
Lelaki brewok hendak menjawab tetapi didahului
perwira itu, "Harap nona jangan salah faham. Pertama,
memang begitu perangai Pa-heng kawan kami itu. Dan
kedua, kami memang perlu sekali hendak mencari pangeran
Barbak."
'"Siapa Barbak itu?"
"Dia adalah adik dari panglima besar Torgun yang
mengepalai pasukan Ceng."
"'O, si Barbak yang engkau maksudkan?"
"Benar, nona. Apakah engkau tahu beliau berada
dimana?'' perwira itu mulai tegang.
"Si Barbak orang Boan itu to?”
“ Walaupun telinga gatal mendengar berulang kali In
Hong menyebut pangeran Barbak dengan embel2 si yang
berarti memandang rendah, namun karena perlu mendapat
keterangan, terpaksa perwira itu bersabar dan mengiakan.
"Mengapa engkau mencarinya?" masih In Hong tak mau
menyahut tetapi balas bertanya.
"Dia adakah adik dari panglima kami."
"Dan engkau ini perwira dari balatentara kerajaan
Ceng?"
"Ya."
"Apa engkau orang Boan?"
Perwira itu gelengkan kepala.
"Lho kok aneh," teriak In Hong, "kalau bukan orang
Boan mengapa mau menjadi prajurit kerajaan Ceng.
"Tidak semua prajurit pasukan Ceng itu adalah orang
Boan tetapi terdiri dari berbagai suku termasuk suku Han
juga."
"Kerajaan Beng itu adilah negara orang Han, mengapa
engkau membantu orang Boan untuk memerangi orang
Han sendiri?"
"Budak hina, jangan banyak mulut!" bentak lelaki
brewok yang tak sabar melihat tingkah In Hong yang centil
dan bicaranya yang sinis.
"Monyet, engkau bertanya keterangan, sekarang engkau
melarang aku tak boleh banyak mulut, apa maumu?'' In
Hong tak takut dan bahkan mendamprat.
Perwira memberi isyarat agar lelaki brewok bersabar,
kemudian dia bertanya kepada In Hong lagi, "Soal itu
adalah urusanku. Jawablah, apa engkau tahu pangeran
Barbak?"
Perwira itu berpaling kearah pemuda yang menjadi
lawan In Hong tadi dan menegur, "Siapa kah anda ini?"
"Aku . . . aku juga tetamu."
“Bohong!" bentak lelaki brewok, "engkau tentu kawan
dari budak liar itu!"
Sebelum pemuda itu menyahut, In Hong sudah
melengking, "Eh, monyet, jangan pura2 tak tahu. Dia kan
kawanmu sendiri!"
"Apa? Dia kawanku?" teriak si. brewok, ''aku tak kenal . .
. . "
Baru dia berkata begitu, si perwira membisiki beberapa
patah kata dan lelaki brewok itupun mengangguk.
"Mungkin anda juga sedang mengemban tugas seperti
kami," kata perwira itu kepada pemuda gagah, "tetapi entah
dibawah pimpinan jenderal siapakah anda ini tergabung?"
"Aku tak tahu apa yang anda maksudkan," kata pemuda
itu, "aku datang kemari karena hendak mencari Kim Blo'on.
"O, Kim Blo'on putera dari Kim Thian Cong itu?" seru
lelaki brewok dengan nada agak cerah-
"Ya."
"Apakah engkau ketemu?"
Pemuda tegap itu gelengkan kepala.
"Apakah engkau melihat pangeran Barbak?
Pemuda tegap itu kembali menggeleng.
"Dulu mana yang datang kemari, engkau atau budak liar
itu?"
"Dia."
"Hm," dengus lelaki brewok lalu menuding In Hong,
"Budak liar, kalau engkau tak mau memberi keterangan
yang sesungguhnya, terpaksa akan kuhajar!"
"Uh, uh, garang benar engkau, monyet. Datang2 terus
mau menghajar orang," seru In Hong. Baik, aku mau
memberi keterangan. Aku tak tahu kemana orang Boan
yang menjadi tuanmu itu. Pun andaikata tahu, aku juga tak
sudi memberi tahu kepadamu. Malah kalau engkau ketemu,
suruh dia kemari biar kuhajarnya sampai tele2!"
"Budak liar, engkau berani menghina pangeran Barbak!"
lelaki brewok tak dapat mengenidalikan diri lagi dan terus
menyerang In Hong.
In Hong tak gentar. Dia mainkan ilmu pedang Song-outiap
dengan gencar sehingga lelaki brewok itu agak
kewalahan. Sret .... uh, lelaki brewok itu berteriak tertahan
dan loncat mundur selangkah seraya memeriksa lengan
bajunya. Ia kejut karena ujung lengan bajunya telah
terbabat kutung.
Lelaki brewok itu maju lagi. Tetapi karena agak
kewalahan menghadapi permainan pedang In Hong,
akhirnya perwira tadipun maju.
"Jangan menghina anak perempuan !" diluar dugaan
tiba2 pemuda tegap itu menghadang si perwira.
"Ho, engkau hendak membantu budak perempuan liar
itu ?" bentak si perwira.
"Aku muak melihat orang yang menghina anak
perempuan !" seru pemuda itu.
Perwira itu cepat mencabut pedang dan terus menyabat,
uh.....hanya dalam satu gebrak dimana pemuda itu
mengayunkan tangan untuk menyambar pergelangan
tangan si perwira, tahu2 perwira itu sudah menjerit tertahan
karena tangannya sudah dltelikung ke belakang punggung
dan pedangnyapun terlepas jatuh.
"Lepaskan!" teriak perwira yang seorang seraya loncat
menghantam pemuda itu dari belakang, duk,
aduh.....perwira yang kedua itu kesima ketika tinjunya,
yang kuat bukan mcngenai punggung si pemuda, tetapi
menghantam dada perwira kawannya sendiri. Perwira yang
pertama itu menjerit dan terjungkal ke belakang.
Plak .... pemuda itu mengirim sebuah tendangan ke perut
orang dan perwira yang kedua itupun menjerit, tubuhnya
terlempar keluar ke halaman.
Melihat kedua kawannya dalam satu gebrakan saja
sudah, rubuh lelaki brewok yang bernama Pa Kim itu
terkejut bukan kepalang. Dia adalah orang bawahan
pangeran Barbak yang hendak mencari pangeran itu. Waktu
di tengah jalan kebetulan dia berpapasan dengan dua orang
perwira yang diuttus panglima Torgun untuk memanggi
Barbak Mereka bertiga segera menuju ke Lou-hu-san.
Pa Kim cepat dapat melihat gelagat yang tak
menguntungkan. Kalau ia nekad menyerang si dara,
tentulah pemuda tegap itu akan membantu si dara dan
celakalah dia. Dalam 72 cara untuk menghadapi lawan, lari
adalah satu-satunya jalan. yang paling selamat.
Setelah mengirim sebuah tendangan yang memaksa In
Hong harus loncat mundur, Pa Kim ayunkan tangan kearah
si pemuda, "Sambutlah !”
Sebuah benda putih melayang kearah pemuda itu. Cepat
dia menampar, bum .... benda putih i;u meletus dan
seketika berhamburan asap tebal yang bertebaran
memenuhi ruang.
"Tutup pernapasanmu, nona," seru pemuda itu kepada
In Hong, "mari kita keluar."
Tiba di halaman, pemuda itu bertanya. "Bagaimana,
nona kan tidak menderita luka, bukan?”
"Tidak," sahut In Hong yang masih menggandeng tangan
Han Bi Ing, "kemana bangsat itu?"
"Dia lari membawa kedua perwira kawannya," sahut si
pemuda, "ah. untung Pik-lui-tan yang ditaburkan itu tidak
mengandung racun."
"O, apa nama senjata yang ditaburkan itu?"
"Pik-lui-tan atau Peluru-geledek, semacam obat dari
bahan peledak yang dapat meletus dan menghamburkan
asap. Untuk mengaburkan pandang mata orang agar dia
dapat melarikan diri."
"Kongcu, siapakah engkau ini ?" tiba2 Han Bi Ing
bertanya.
"Mari kita bicara didalam rumah," kata pemuda itu.
"Rumah mana ?" In Hong terkejut.
"Ikuilih aku," pemuda itu terus ayunkan langkah menuju
ke belakang wisma. Ternyata disitu terdapat sebuah
bangunan gedung yang cukup besar.
"Hai, rumah siapa ini ?" tanya In Hong pula.
"Dulu disinilah Kim tayhiap menetap sejak beliau
mengasingkan diri ditempat sunyi."
Mereka masuk kedalam dan beristirahat di ruang depan.
Pemuda itu masuk kedalam dan tak lama keluar lagi
dengan membawa hidangan teh.
"Untung masih tersedia the hangat, "katanya.
Mengapa engkau sudah biasa dengan rumah ini?
S'apakah engkau ?"'tanya In Hong keheran-heranan.
Sebelum menjawab pemuda itu mempersilakan kedua
gadis itu untuk minum dulu. Setelah itu dia baru berkata
dengan tertawa, '"Benar, ini memang rumah ayahku."
"Apa ? Ini rumah ayahmu ?" In Hong melonjak dari kursi
karena terkejut.
Pemuda itu tertawa, "Benar, ini memang rumah
ayahku."
"Bukankah ini rumah paman Kim Thian Cong ?” Han Bi
Ing ikut menegas.
Pemuda itu mengangguk. Namun ia agak tertegun ketika
memandang wajah nona itu. Sepasang mata beradu dan
Han Bi Ingpun tersipu sipu merah mukanya.
"Mengapa engkau menyebut Kim tayhiap sebagai ayah ?
Siapakah engkau ini sesungguhnya ?" tegur In Hong.
"Aku puteranya."
"Apa katamu In Hong merentang mata lebar. Sementara
Han Bi Ingpun terbeliak.
'Aku putera dari mendiang Kim Thian Cong."
'"Bohong .'" teriak dara itu pula.
''Bohong?'" pemuda ini terbeliak, "o, engkau anggap
keteranganku tadi itu bohong?”
“Konpcu," melihat pemuda itu agak ngotot, Han Bi Ing
segera menyela, "kami benar2 tak mengerti persoalannya.
Harap kongcu suka memberi tahu, siapakah kongcu ini dan
apakah hubungan kongcu dengan paman Kim Thian Cong
?”
"Aku memang benar puteranya," sahut pemuda itu.
"Tetapi kongcu, tadi . . . tadi kami juga berjumpah
dengan putera paman Kim . . . . “
"O, dimana dia sekarang ?'"
"Tetapi bukankah putera paman Kim itu-hanya seorang ?
Mengapa kongcu juga putera paman Kim ?"
"Jelas dia tentu bohong cici Ing," In Hong menyelutuk.
Pemuda itu terkesiap tetapi pada lain saat dia segera
menyadari apa yang telah terjadi, katanya, "Nona,
benarkah tadi engkau berjumpah dengan putera Kim Thian
Cong ?"
Han Bi Ing mengiakan.
"Siapa namanya ?"
"Entah," Han Bi Ing mengangkat bahu, "tetapi ada
beberapa tamu yang datang dan mengatakan kalau putera
paman Kim itu bernama Kim Blo'on.
"Kim Blo’on ?'' pemuda itu terbeliak.
"Ya, kepalanya gundul tetapi memakai dua batang
kuncir. Mukanya berlumuran bedak tebal dan
menggunakan pedang."
"Aneh !" teriak pemuda itu, ''memang agak mirip tentang
kepalanya yang gundul tetapi pakai dua kuncir. Tetapi dia
seorang anak laki mengapa pakai bedak? Dan. . . dan lagi
dia tak pernah pakai pedang."
"Ah, bohong," In Hong melengking lagi "masakan anak
seorang pendekar besar tak mampu bermain pedang! Itu
yang putera dari Kim tayhiap aseli dan engkaulah yang
mengaku-aku" sebagai putera Kim tayhiap!"
"Eh, nona yang itu," seru pemuda itu, "kalau bukan
puteranya perlu apa aku harus mengaku puteranya?"
kemudian dia berpaling kepada Han Bi Ing, "nona, maukah
engkau menceritakan apa yang engkau alami tadi?"
Han Bi Ing setuju tetapi waktu hendak bercerita, In Hong
sudah menyelutak lagi, "Jangan cici Ing, jangan
menceritakan diri kita kepadanya. Kita kan belum kenal,
siapa tahu dia . . . dia . . . “
"Adik Hong, jangan menuduh orang," sela Han Bi Ing
kemudian berkata kepada pemuda itu, "maaf, kongcu,
memang adikku itu kasar tetapi dia juga hati2. Kita belum
kenal dan karena sejak datang kemari telah mengalami
bermacam-macam peristiwa maka adikku berlaku hati2.
Maukah engkau mengatakan dulu siapa sesungguhnya
dirimu itu?"
Pemuda itu menduga bahwa kedua gadis ini tentu
mengalami peristiwa yang aneh sehingga mereka bingung
dan curiga.
"Baik, nona," katanya setelah menduga-duga apa yang
terjadi pada kedua nona itu, "aku memang putera dari Kim
Thian Gong, namaku Kim Yu Ci."
"Lalu siapakah Kim Blo'on itu?"
"Kim Blo'on adalah adikku."
"Ah," Han Bi Ing menghela napas.
"Tidak!" teriak In Hong, "tidak mungkin engkau ini
kakak dari si Blo'on itu. Jauuuuh . . ."
Pemuda yang mengaku bernama Kim Yu Ci itu
terperangah, "Apanya yang jauh itu sih?"
"Jauh bedanya," kata In Hong, "dia seperti orang blo'on
dan engkau . . . . " sebenarnya dia hendak mengatakan
kalau Kim Yu Ci itu cakap dan gagah tetapi tiba2 ia teringat
dirinya seorang anak dara. Tak lavak kalau seorang gadis
memuji seorang pemuda. Maka dia tak dapat melanjutkan
kata-katanya dan mukanyapun merah.
"Apakah Kim kongcu benar engkoh dari Kim Blo'on
tadi?" Han Bi Ing ikut menegas.
"Percayalah nona." kata Kim Yu Ci, "aku memang
engkoh pemuda yang engkau jumpahi tadi."
"Tetapi mengapa kongcu lain sekali dengan adik kongcu
tadi?"
Km Yu Ci tertawa, "O. ya, aku lupa memberitahu. Aku
dan adikku Kim Blo'on itu tunggal ayah tetapi lain ibu!"
"Oh," Han Bi Ing menghembus napas longgar, "kalau
begitu memang dapat diterima. Dan apakah kongcu tidak
tinggal disini ?"
"Tidak," sahut Kim Yu Gi, "aku tinggal di. gunung
Hong-san dan kali ini aku hendak menjenguk keadaan
adikku, sekalian hendak berziarah ke makam ayah.
Sungguh aku tak mengerti mengapa keadaan di puncak ,
Giok-li-nia sini menjadi begini kacau balau."
Siapa Kim Yu Ci yang menjadi engkoh dan B'o'on yang
lahir dari lain mama. silakan baca PENDEKAR BLO'ON.
"Nona," kata Kim Yu Ci pula," engkau tadi mengatakan
kalau bertemu dengan seorang pemuda yang nyentrik dan
bernama Kim Bio’on. Lalu dimanakah dia sekarang?"
Han Bi Ing menceritakan pengalaman yang di deritanya
ketika tiba di Wisma Damai. Waktu terjadi salah faham
sehingga bertempur dengan Kim Blo'on tiba2 muncul
seorang Boan bersama tiga orang pengikutnya dan terus
menyerang.
"Tiba2 orang Boan itu berteriak, suruh Kim Blo'on
memeriksa makam ayahnya karena kuatir makam itu akan
dibongkar orang. Dan Kim Blo’on terus lari keluar. Tetapi
sampai saat ini dia tak muncul lagi. Begitu juga dengan
orang Boan itu.
"Apakah orang Boan, itu bukan yang disebui pangeran
Barbak?" tanya Kim Ya -Ci:
"Kemungkinan begitu,” kata Han Bi Ing, karena dia
mengenakan pakaian yang mewah.
"Aneh," kata Kim Yu C., "mengapa dia kenal dengan
adikku dan mengapa dia suruh anak itu memeriksa makam
ayah."
"Bio'on jelas bersekutu dengan orang Boan," kembali In
Hong menyelutuk, "karena begitu datang dia terus
membantu Blo'on yang saat itu bertempur dengan Wanong-
ko."
"Tidak mungkin!" bantah Kim Yu Ci, "walaupun blo'on
tetapi adikku takkan sudi berhamba pada kerajaan Ceng."
"Eh, bagaimana engkau begitu yakin?"
'"Tentu saja," sahut Kim Yu Ci, "karena adikku itu dulu
paling gigih menentang kejahatan."'
'Itu belum merupakan bukti kalau dia tak mau bekerja
pada orang Boan. Bukankah hati manusia itu setiap waktu
dapat berobah?"
"Ho, mana engkau tahu?"
'"Tahu apa sih?" In Hong melengking.
"Adikku itu pernah dipungut menantu oleh raja In Lok
dari kerajaan Beng . ..."
"Hai!" In Hong melonjak kaget. Juga Han Bi Ing
terbeliak, "Apa katamu?" teriak In Hong pula.
Kim Yu Ci tertegun. Sesaat ia merasa telah kelepasan
bicara maka buru-buru ia menyimpangkan pembicaraan,
"Ah, itu urusan lain Pokok, adikku tak mungkin mau
bekerja-sama dengan kerajaan Ceng. Dia tentu difitnah oleh
pangeran Barbak itu."'
"Ih, mau mengelabuhi ya ?" In Hong menyengat.
"Mengelabuhi apa ?"
"Engkau tadi menceritakan adikmu diambil menantu
raja, sekarang engkau hendak memutus cerita itu. Apakah
itu bukan mengelabuhi nama nya. Uh, engkau kira aku ini
anak kecil ?"
Kim Yuk Ci gelagapan, Dia btmr2 tobat dengan dara
yang centil itu. Tetapi dia mendapat akal juga.
'"Eh, apa hubungan adikku diambil menantu raja dengan
persoalan ini ? Bukankah sudah kukatakan kalau adikku tak
mungkin mau bekerja sama dengan kerajaan Ceng ?
Apakah engkau mengetahui tentang cerita adikku diambil
menantu raja Beng itu ?"
Merah muka In Hong mendapat tangkisan itu, dia
melengking, "Sudah, sudah, siapa sih kepingin mendengar
cerita tentang adikmu yang blo'on itu !"
Kim Yu Ci tertawa.
"Cici Ing, mari kita cari engkong dan Wan ong-ko,"
teriak In Hong.
" Tetapi adik Hong," kata Han Bi Ing yang gelagapan
dari menungnya," tetapi kemanakah kita harus mencarinya
?"
"Nona," kata Kim Yu Ci, "aku belum selesai bercerita,
Apakah engkau tak mau mendengarkan ceritaku dulu ?"
"Tidak, cici Ing, jangan dengarkan omongannya. Dia
suka mengelabuhi orang,” teriak In Hong.
Kim Yu Ci geleng2 kepala, "Dara ini memang centil
sekali. Mungkin selama ini dia belum ketemu batunya,"
pikirnya.
"Jangan kuatir, dara centil," seru Kim Yu Ci tertawa,
"nanti aku bersedia membantu kalian mencari engkong dan
Wan-ong-ko-mu. Eh, omong2, siapa sih engkohmu Wanong
itu ? Apakah itu engkoh kandungmu atau kawanmu . . .
. "
"Cis, perlu apa tanya segala sampai begitu melitit ? Dia
engkoh kandungku kek kawanku kek, apa hubungannya
dengan pembicaraan kita ?"
Ada ubi ada tales. Ada budi tentu dibalas. Demikian
peraturan yang dianut In Hong. Setiap kali orang
menyentilnya, dalam suatu kesempatan In Hong tentu
kontan membalasnya.
Kim Yu Ci tertawa.
"Kongcu, silakan engkau melanjutkan ceritamu tadi,"
tiba2 Han Bi Ing menyela.
"Baik," kata Kim Yu Ci. "'entah bagaimana, karena
sudah dua tahun tak berjumpa, aku merasa kangen dengan
adikku. Maka akupun berangkat kemari. Tadi waktu tiba di
puncak ini aku melalui tempat makam ayah. Ah, aku harus
memberi hormat dulu, pikirku. Lalu aku biluk dan
bersembahyang didepan makam ayah. Waktu aku sedang
mengheningkan cipta, tiba2 dari arah belakang terdengar
angin berkesiur dan tahu2 bahuku dicengkeram orang, "Ho,
Blo'on. ayo engkau harus ikut aku....."
"Segera kusalurkan tenaga untuk menolak tangan orang
itu. Dia terkejut dan kendorkan cengkeraman. Pada saat itu
kuayunkan tanganku menampar ke belakang. Dia cepat
loncat mundur dan akupun mendapat kesempatan untuk
berputar tubuh menghadapinya."
'O," desuh Han Bi Ing, "siapakah orang itu kongcu?"
"Seorang Boan yang berpakaian indah, masih muda dan
gagah," kata Kim Yu Ci, "dia terkejut ketika melihat aku."
"Hai, siapa engkau!" teriaknya.
"Siapa engkau!" aku balas menghardiknya.
"Apa engkau bukan Kim Blo'on?" dia tetap bertanya.
"Kim Blo'on putera Kim Thian Cong tayhiap itu?" aku
menegas dengan penuh curiga.
"Ya."
"Engkau lihat aku ini Kim Blo'on atau bukan ?"
"Wajahmu agak mirip tetapi jelas engkau bukan dia,"
seru orang Boan "itu, siapa engkau. ?"
"Mengapa engkau hendak mencari Kim Blo’on ? " aku
juga mendesaknya.
"Dia . . . dia hendak kuajak menghadap panglima
Torgun."
'Panglima Torgun ? Siapakah dia ?" aku ber tanya pula,
"Hm, masa engkau tak tahu. Siapa lagi kalau bukan
panglima besar dari pasukan kerajaan Ceng."
"Hah?" aku terkejut; “perlu apa engkau ajak Kim Blo'on
menghadap panglima itu ?"
"Panglima mendengar bahwa Kim Blo'on itu sakti sekali.
Dia sangat menghargai orang yang sakti."
"Hanya menghargai saja ?"
"Kalau Kim Blo'on mau, panglima hendak menerimanya
sebagai pembantunya."
"Ah, tidak mungkin. Kim Blo'on tentu tak mau beketja
sama dengan orang Boan."
"Bagaimana engkau tahu ? Engkau kan bukan dia ?"
"Memang bukan dia tetapi dia sudah mengatakan begitu
kepadaku."
"Hm, anakmuda, jangan sembarangan saja engkau
ngomong dihadapanku, pangeran Barbak adik panglima
kerajaan Ceng!"
"Aku terkejut," Kim Yu Ci melanjutkan cerita, "dia
seorang pangeran Boan yang begitu penting kedudukannya
dalam pasukan kerajaan Ceng, jika aku dapat menawannya
tentulah dapat kugunakan untuk menekan gerakan pasukan
Ceng supaya mundur dari bumi kita."
"Bagus Kim kongcu!" seru Han Bi Ing memuji serempak.
"Jangan terburu memberi pujian dulu, cici Ing. Belum
tentu d a mampu menangkap orang Boan itu," teriak In
Hong.
Agak merah muka Kim Yu Ci tetapi cepat dia tertawa
lagi, "Memang benar. Aku gagal menangkapnya."
"Mengapa Kim kongcu?" tanya Han Bi Ing penuh
perhatian.
"Jelas tentu kalah sakti, cici Ing," seru In Hong pula.
Kim Yu Ci mengangkat bahu, "Terserah kalau mau
dikata begitu."
"Tetapi .cobalah Kim kongcu menceritakan peristiwa itu.
Bukankah Kim kongcu bertempur dengan dia?" tanya Han
Bi Ing.
"Ya," sahut Kim Yu Ci, "dan kebetulan dia memang
memaksa aku. supaya memberitahu dimana adik Blo'on
saat itu. Aku bilang tidak tahu tetapi dia tak percaya, "Tidak
mungkin engkau tak tahu. Aku tahu jelas bahkan akulah
yang menyuruhnya kemari,. Kukira dia yang sedang
sembahyang dimakam ini, tak kira kalau engkau."
"Saat itu aku makin tahu jelas persoalannya. Adikku
tentu kena ditipu si Barbak orang Boan itu agar menengok
makam ayah lalu dia menyusul hendak menangkapnya ..."
"Tetapi dimanakah adik Kim kongcu itu sekarang?"
tanya Han Bi Ing.
"Cici Ing, mengapa engkau menanyakan manusia blo'on
itu? Apakah ….. " In Hong tak berani melanjutkan katakatanya
karena saat itu Han Bi Ing berkisar menghadap
kearahnya dan deliki mata.
Tiba2 Kim Yu Ci tertawa gelak2.
"Hai, apa yang engkau tertawakan?" teriak In Hong. In
Hong tahu bahwa dia harus membatasi diri untuk
menyerang dengan mulut kepada Kim Yu Ci. Karena kalau
tarung dengan ilmusilat, jelas dia kalah unggul.
"Aku tertawa karena geli sendiri."
"Geli apa?"
"Lho, apakah engkau ingin tahu pikiranku?"
"Tentu."
"Kok aneh, anak perempuan," Kim Yu Ci tersenyum,
"masakan geli sendiri tidak boleh dan harus memberitahu
kepadamu."
"Terang dong," sahut dara itu, "kalau tidak engkau tentu
menertawakan aku."
"Tidak, aku tidak menertawakan engkau!
"Kalau begitu engkau tentu sinting ! Karena hanya orang
gila saja yang tertawa sendiri."
"Adik Hong, jangan bicara begitu terhadap Kim
kongcu," seru Han Bi Ing yang merasa sungkan terhadap
Kim Yu Ci.
"Eh, cici Ing ini bagaimana. Aku membela, kepentingan
kita berdua, mengapa cici Ing malah membela dia ?"
"Aku tidak membela dia, adik Hong. Tetapi sebaiknya
kita bicara yang baik terhadap orang,” sahut Han Bi Ing.
“Tak apa nona," kata Kim Yu Ci. Kemudiai dia berkata
kepada In Hong, "sebenarnya aku tertawa karena teringat
suatu peristiwa. Peristiwa itu kubayangkan tentu
berlangsung terus. Andaikata aku menyaksikannya aku
tentu akan tertawa terpingkal pingkal."
"Peristiwa apa ?"
"Peristiwa dikala engkau berhadapan dengan adikku
yang engkau katakan blo'on itu. Kalau berhadapan dengan
aku, engkau memang menang bicara. Tetapi kalau
berhadapan dengan dia, engkau baru ketemu batunya."
"O, adikmu yang blo'on dan banci itu mau mampu
menghadapi aku ?"
"Lho, adikku memang agak blo'on tetapi jelas dia bukan
banci !"
"Anak laki yang pakai bedak begitu tebal seperti badut,
apa namanya kalau bukan banci ?"
Kim Yu Ci kerutkan kening, "Aneh, benar2 aneh.
Mengapa adikku memakai bedak. Pada hal jangan lagi
bedak, sedang rambut saja dibiarkan tumbuh sendiri tak
pernah diurus. Pakaiannya juga sederhana. Dia tak acuh
terhadap segala apa disekelilingnya."
"Segala yang kuomongkan engkau selalu tak percaya
saja. Sekarang silakan tanya cici Ing" ka ta In Hoag.
"Benar, Kim kongcu." kata Han Bi Ing sebelum ditanya,
"memang adik kongcu itu memakai bedak."
"Ah," Kim Yu Ci mendesuh, "aku percaya nona tentu
tak berkata bohong. Tetapi aku juga merasa heran sekali.
Karena sejauh yang kuketahui dia tak senang dandan
apalagi berbedak."
"Engkau memang keras kepala," In Hong melengking,
"masih ada sebuah bukti lagi yang menyatakan bahwa
adikmu itu memang seorang banci."
'"Bagaimana buktinya ?"
'"Waktu bertempur melawan Wan-ong-ko, Wan-ong-ko
menggunakan ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat dan adikmu
melayani dengan ilmupedang Giok-li-kiam- hwat. Nah,
coba katakan, apakah ada seorang anak laki yang
menggunakan ilmu pedang Giok-li-kiam kalau dia bukan
banci?"
"Dia bisa main pedang Giok-li-kiam-hwat ? Aneh, aneh,"
Kim Ya Ci garuk2 kepalanya, "ini benar2 aneh sekali."
"Mengapa ?" tanya In Hong.
"Pada hal dia paling anti kalau disuruh belajar silat. Dia
tak mau belajar silat walau ayahnya seorang pendekar besar
yang termasyhur."
"Aneh, aneh,” tiba2 In Hong menirukan gaya Kim Yu Ci
untuk garuk2 kepalanya.
"'Apa yang aneh ?"
"Tadi engkau bilang kalau adikmu si Blo'on itu sakti,
sehingga si Torgun panglima pasukan Ceng ingin
mengangkatnya sebagai pembantu. Sekarang engkau
mengatakan kalau adikmu itu tidak bisa silat dan tidak mau
belajar silat. Mana yang benar nih."
Kim Yu Ci tertawa, "Memang disitulah letak keanehan
adikku itu. Dia tak mau belajar silat, dia tak mengerti
ilmusilat tetapi dia memang sakti. Kalau engkau
menyerangnya, dia terus dapat menirukan ilmusilatrnu. Tak
peduli betapa tinggi dan betapa cepat permainanmu silat itu
namun dia tetap dapat menirukan."
“Uh, uh, enaknya kalau mengelabuhi orang. Engkau
anggap aku ini anak kecil yang percaya pada dongenganmu
itu ?"
Kim Yu Ci geleng2 kepala dan tertawa, “Memang orang
tentu tak percaya tetapi coba saja kalau engkau besok
ketemu dia."
"Apa taruhannya kalau aku mampu menampar
gundulnya ? Engkau berani bertaruh ?" serentak. In Hong
menantang.
Kim Yu Ci membayangkan bahwa tak mungkin Blo'on
dapat ditampar dara itu. Apalagi kalau tahu kepalanya akan
d'tampar untuk taruhan, Blo'on tentu keluar tanduk dan
tentu akan mempermainkan dara itu.
"Terserah apa yang engkau kehendaki," sahut Kim Yu
Ci.
"Begini," kata In Hong, "kalau aku tak mampu
menampar gundul si Blo'on, pedangku ini kuberikan
kepadamu. Tetapi kalau aku mampu, engkau harus
mengajarkan aku ilmu gerakan yang engkau mainkan ketika
menghadapi seranganku, tadi, setuju ?"
"Adik Hong, jangan," seru Han Bi Ing, "tak usah
bertaruh semacam itu, Masakan kepala orang akan dibuat
taruhan !"
"Eh, cici Ing, engkau membela si Blo'on ? pantas....
aduhhhhh," tiba2 In Hong menjerit keras karena lengannya
dicubit Han Bi Ing.
"Tak apa nona," kata Kim Yu Ci, '"biarlah kita iseng
bertaruh."'
In Hong mau ngomong tetapi Han Bi Ing sudah
mendahului, "Kim kongcu, bagaimana kelanjutan ceritamu
dengan pangeran Boan itu.”
"O, ya. Karena sama2 hendak menangkap dia hendak
menangkap aku supaya aku memberi tahu dimana Kim
Blo'on bersembunyi. Akupun hendak meringkusnya untuk
membantu perjuangan para pendekar gagah yang berjuang
menentang penjajah Ceng. Lalu terjadilah pertempuran.
Hasilnya .. .. "
"Kalah," In Hong nyelutuk.
"Ya," sahut Ktm Cu Ci tenang2, "Walaupun" bermula
aku menang. Aku berhasil menutuk lengannya. Dia sudah
hampir dapat kuringkus atau tiba2 dia taburkan peluru Piklui-
tan yang dapat meledak dan menghamburkan asap tebal.
Kuatir kalau asap itu mengandung racun aku cepat loncat
mundur. Tetapi ketika asap sudah tipis ternyata orang Boan
itu sudah tak tampak lagi."
"Benar," sambut Han Bi Ing," tadi penjahat yang
bertempur dengan adik Hong itu juga menggunakan peluru
Pik-lui-tan untuk meloloskan diri."
"Setelah tak berhasil mencari pangeran Boan itu aku
melanjutkan langkah ke sini dan melihat adik nona ini
sedang bertempur dengan orang tadi," kata Kim Yu Ci
menutup keterangannya, "tetapi apakah kepentingan nona
datang kemari ?"
"Mengantar engkongku yang ingin menjenguk makam
Kim tayhiap karena waktu Kim tuyhiap meninggal,
engkong tak dapat menghadiri upacara pemakamannya,"
tiba' In Hong mendahului berkata sembari melirik kearah
Han Bi Ing.
Bi Ing menunduk. Diam2 dia memuji kecerdikan si dara
yang berusaha untuk menutupi keadaannya. Bukankah
malu kalau mengatakan kepada Kim Yu Ci tentang surat
yang diberikan kepada Blo'on itu. Tentulah Kim Yu Ci
akan bertanya lebih lanjut bagaimana sikap adiknya waktu
menerima surat itu? Ah, tidakkah dia akan malu kalau
menceritakan bahwa Blo'on menolak perjodohan itu?
"Sekarang lebih baik kita beristirahat dulu. Bukankah
nona besok pagi akan mencari Wan-ong Kui dan engkong
dari adik nona itu?" kata Kim Yu Ci.
Malam itu In Hong dan Han Bi Ing tidur disebuah kamar
dan Ki n Yu Ci dilain kamar. Secara kebetulan Kim Yu Ci
tidur di kamar Liok Sian li, sumoay Blo'on. Dia memang
tahu kalau Blo’on itu adalah adiknya dari lain ibu. Diapun
tahu pula bahwa yang mencuri jenasah Kim Thian Cong
adalah Tio Goan Fa, suheng dari Blo'on. Tetapi entah
karena lupa atau karena memang tak acuh, maka dulu
Blo'on tak mengatakan kalau dia mempunyai seorang
sumoay yang bernama Liok Sian Li.
Sudah tentu Kim Yu Ci terkejut ketika melihat kamar itu
terdapat alat-alat perias, seperti bedak, gincu atau liptick
dan minyak wangi.
"Setan, apakah adik benar sudah menjadi banci?"
pikirnya, "Celaka, " ia mengeluh,. "kalau begitu ejekan dara
itu memang benar. Wah, aku tentu rnalu karena membela
adik sampai begitu mati matian tetapi ternyata dia memang
jadi banci . . . Jika begitu, biarlah dia nanti ditampar
gundulnya oleh dara itu."
Malam itu tak terjadi suatu apa. Beberapa jam kemudian
haripun sudah pagi dan setelah cuci muka maka mereka
berkumpul lagi di ruang depan.
"Nona, bagaimana rencana nona sekarang ini?" tanya
Kim Yu Ci.
"Bagaimana adik Hong?" tanya Bi Ing kepada dara centil
itu.
"Aku hendak mencari engkong dan Wan-ong-ko," sahut
In Hong.
"Baik," kata Han Bi Ing, "tetapi kalau sampai tak ketemu
lalu bagaimana?"
"Terserah saja pada enci Ing."
"Engkau mau ikut aku, bukan?"
"Ya," jawab In Hong, "tetapi cici hendak kemana?"
"Aku hendak ke Thay-goan untuk mencari berita
mengenai ayahku."
"Bagus, cici Ing, aku ikut!" teriak In Hong. Han Bi Ing
lalu menyatakan tentang rencana itu kepada Kim Yu Ci.
"Ah, keThay goan," pemuda itu menghela napas.
"Ya, kenapa kongcu menghela napas?"
"Thay-goan saat ini sudah diduduki pasukan Ceng.
Sepanjang utara sungai Tiangkang pun sudah penuh dengan
pemusatan tentara Ceng dan setiap saat mereka tentu akan
bergerak untuk menyerang ke Lam-kia. Apakah hal itu
tidak berbahaya bagi keselamatan nona berdua?"
"Semua pekerjaan tentu mengandung resiko dan bahaya.
Bahkan makan saja juga mengandung bahaya. Orang bisa
ketulangan, bisa sakit perut karena makan. Apalagi
menjenguk seorang yang berada tawanan musuh,
bahayanya tentu besar sekali. Tetapi apakah berbakti
kepada orangtua itu harus diperhitungkan dengan untung
ruginya?"
"Cek, cek, cek,"' desis Kim Yu Ci, "seperti air banjir saja
kalau sudah bicara. Siaoa yang rnengatakan begitu? Aku
hanya mengatakan bahwa keadaan itu penuh bahaya."
"Dan menganjurkan supaya cici Ing membatalkan
rencana ke Thay-goan!" cepat In Hong menanggapi.
"Bukan begitu." jawab.Kim Yu Ci, "hanya supaya kita
berlaku hati2. Syukur kalau kita mengatur rencana
bagaimana supaya dapat tiba dikota tanpa harus
menghadapi bahaya yang tak perlu."
"Benar, kongcu, terima kasih atas peringatanmu. Tetapi
untung di Thay-goan aku kenal dengan beberapa sahabat
ayah. Mereka tentu mau membantu usahaku untuk mencari
berita tentang keadaan ayah."
"Baiklah," akhirnya Kim Yu Ci menyetujui. Karena dia
tadi sudah menyanggupi untuk mengantarkan nona itu
maka diapun harus menepati janjinya.
Mereka tinggalkan Wisma Damai. Setelah menjelajah
beberapa tempat dan hutan tetapi tetap tak dapat
menemukan jejak Tong Kui Tik dan Wan-ong Kui,
akhirnya ketiga anakmuda itu turun gunung dan
melanjutkan perjalanan menuju ke Thay-goan.
Beberapa jam selelah keberangkatan mereka maka
muncullah pemuda nyentrik yang dianggap si Blo'on itu.
Dia langsung masuk ke Wisma.
"Celaka, mengapa tembok ruang ini jebol?" ia terkejut
ketika melihat lubang pada tembok yang disebabkan
lontaran peluru Pik-li-tan dari Pa Kim.
"Hai kemanakah orang? itu?" katanya setelah tak melihat
barang seorangpun dari rombongan orang yang datang ke
wisma itu.
Setelah menuju ke gedung di belakang wisma, ia juga
kaget sekali, ""Lho, kenapa bedak dituang ke lantai, gincu
diremuk dan toilet kaca dihancurkan! Kurang ajar, siapakah
yang mengobrak abrik kamarku ini?"
Ia membayangkan siapakah diantara orang2 itu yang
kemungkinan melakukan pengrusakan itu, "Setan, tentulah
dara liar itu," akhirnya ia menga rahkan dugaannya pada In
Hong.
Setelah membersihkan lantai dan kamar, ia lemparkan
diri diatas tempat tidur. Semalam suntuk dia tidak tidur
maka dalam beberapa kejab saja dia sudah pulas.
Sore baru dia bangun. Setelah mandi dia duduk di ruang
depan, mencari makanan dan minuman, "Celaka, daging
rusa bakar yang kemarin itu sudah lenyap. Juga arak wangi
yang tinggal dua botol itu habis. Kurang ajar, tentulah
mereka yang melalap. Awas, kalau ketemu lagi, budak liar
itu tentu kuhajar."
Lagi2 dia marah kepada In Hong karena menuduh tentu
dara itu yang menghabiskan persediaan makanan.
"Wah, celaka," ia mengeluh, "mengapa suko tak kembali.
Tinggal seorang diri ditempat sesunyi ini, sungguh
menjemukan sekali. Apalagi kalau kedatangan orang2
semacam itu, wah, berabe."
la merenung lebih lanjut. Sejak sukonya, Blo'on, turun
gunung untuk ikut dalam perjamuan. Jenderal Ko Kiat
mengundang tujuh tokoh hitam untuk mengantarkan
barang bingkisan kepada jenderai Ui Tek. Kong.
"Ah, mengapa sampai sekarang suko belum pulang?" ia
merenung lebih jauh, lalu menghela napas, "Ah, apabila
Hui Gong taysu, Ang Bin tojin dan lain2 ketua perguruan
berkunjung kemari bagaimana aku harus menghadapi
mereka? Kalau mengatakan suko pergi, mereka tentu kuatir
dan mencarinya. Namun kalau aku menyaru sebagai suko
seperti yang kulakukan tadi waktu menerima rombongan
orang2 itu, wah, para cianpwe itu tentu tahu."
Kemudian dia teringat akan peristiwa tadi dan timbullah
pertanyaan dalam hatinya, "Mengapa ada orang Boan dan
beberapa anakbuahnya yang ditang kemari? Dan mengapa
mereka membantu aku karena mengira aku ini suko? Aneh,
benar-, aneh. Sejak kapankah suko pernah berhubungan
orang Boan itu?"
Lalu ia membayangkan bagaimana tadi karena kuatir
apa yang dikatakan orang Boan itu bahwa makam suhunya
( Kim Thian Cong ) mungkin akan dibongkar orang, ia lalu
lari menuju ke makam. Dan ternyata di makam itu memang
tampak seorang lelaki berpakaian hitam sedang menggali
makam dengan menggunakan pedang.
"Hai, bangsat, jangan mengganggu makam, ayahku," ia
berteriak dan terus menyerang orang itu.
Orang itu lari dan dikejarnya. Ia teringat bahwa lari
orang itu lak berapa cepat. Asalkan tambah gas lagi,
tentulah dapat ditangkapnya. Tetapi apa yang terjadi?
Betapapun ia berusaha untuk menambah cepat larinya,
tetap saja jarak dengan orang itu tak berobah. Ia tetap tiga
tombak dibelakang orang itu.
Pada waktu ia kendorkan larinya, orang itu pun
lambatkan larinya dan bahkan berpaling kebelakang dan
berteriak mengejek, "Hayo, kejarlah aku kalau mampu."
Saat itu ia panas sekali. Kalau belum dapat menangkap
orang itu tak mau pulang, pikirnya. Tetapi kenyataannya
memang berlainan. Walaupun dia setengah mati
mengejarnya tetap tak dapat mendekati orang itu. Semalam
suntuk dia mengejar orang itu sehingga tak tahu sudah
berapa jauhnya. Akhirnya ia kehabisan napas ketika hari
sudah mulai terang tanah. Terpaksa dia berhenti dan
beristirahat dibawah pohon.
"Hai, celaka!" tiba2 dia tersentak kaget ketika teringat
sesuatu, "jelas aku terkena siasat mereka yang disebut '
memancing harimau tinggalkan sarang’. Aku dipancing
supaya mengejar orang itu dan kawan orang itu akan
mengobrak-abrik rumah . . . . "
Segera ia lari pulang. Tetapi tiba di Wisma Damai sudah
tengah hari. Rombongan Kim Yu Ci dan kedua gadis itu
sudah turun gunung. Dengan demikian dia tak dapat
berjumpa dengan seorangpun juga.
Sebenarnya orang yang mempermainkannya itu tak lain
adalah anakbuah pangeran Barbak. Barbak sudah mengatur
siasat sedemikian rupa. Dia hendak memojokkan Blo'on
sehingga kaum persilatan golongan hiap-gi atau ksatrya
menyangka Blo'on sudah menyeberang dan bekerja pada
kerajaan Ceng.
Pok Tian seorang tokoh hitam yang bergelar Ang-eng-cu
atau si Bayangan merah, memiliki ilmu kepandaian lari
cepat yang luar biasa. Memang ilmusilatnya tak berapa
tinggi tetapi ilmu larinya, jarang terdapat tandingannya
dalarn dunia persilatan. Ang-eng-cu itulah yang dipakai
Barbak untuk mengoda Blo'on. Dipesannya Ang-eng-cu
supaya jangan lari jauh.
"Tunggu setelah aku datang, aku pura2 akan
memukulmu sehingga si Blo'on berterima kasih kepadaku
dan mau bersahabat dengan aku," demikian rencana yang
dikatakan Barbak kepada si Bayangan-merah itu.
Memang si Bayangan Merah melaksanakan perintah
tuannya. l'etapi sampai tigapuluh li jauhnya belum juga
tampak Barbak muncul. "Celaka, pikirnya. Kalau dia
berhenti tentu diserang si Blo'on. Maka terpaksa ia
lanjutkan larinya dan tak terasa telah berlari sejauh
seratusan li.
Demikian juga dengan Barbak. Setelah meninggalkan
wisma, dia hendak menyusul Blo'on Waktu lewat di
makam Kim Thian Cong, dia terkejut melihat seorang
pemuda sedang berlutut didepan makam itu. Mengira kalau
Blo,on yang bersembahyang itu dia terus menghampiri dan
menepuk bahunya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa
yang berlutut itu bukan Blo'on melainkan Kim Yu Ci. Dia
tak kenal siapa Kim Y u Ci apalagi Kim Yu Ci tak mau
membentahu siapa namanya. Akhirnya keduanya
bertempur dan karena terluka. Bahlan lalu menggunakan
peluru berasap untuk melarikan diri.
Sudah tentu kedua peristiwa itu, si Blo'on tak tahu. Dan
dia hanya membayangkan kalau dirinya telah disiasati
lawan yang tak dikenal. Dugaan itu makin diperkuat, ketika
pulang ke rumahnya kamarnya diobrak-abrik orang.
"Wah, kalau begini naga-naganya, aku bisa celaka. Siapa
tahu nanti malam atau besok akan datang lagi rombongan
orang Boan yang hendak menghancurkan tempat ini dan
menangkap aku,” pikirnya makin lanjut.
Akhirnya ia memutuskan, "Ah, kalau begitu lebih baik
aku menyusul suko saja. Sekali dayung dua tepian. Aku
dapat menghindari bahaya ditempat ini dan dapai
membantu suko apabila dia menderita bahaya."
Ia segera membuka pakaian dan menghapus . bedak
pada mukanya lalu mencabut kulit tipis yang membungkus
kepalanya, "Sialan benar jadi Blo'on itu !"
Seketika berobahlah Blo'on itu menjadi seorang gadis
yang cantik. Gadis itu tak lain adalah! Liok Sian Li,
sumoay dari Blo'on. Dia memang yang mengatur rencana.
Setelah menganjurkan Blo’on menuju ke Ci-ciu untuk
merebutkan pekerjaan dari ketujuh tokoh hitam itu, sedang
Sian D sendiri tetap tinggal di gunung. Dan dia larang
keluar." Untung sejak itu tak ada ketua perguruan yang
datang menjenguk ke Giok-li-nia.
Waktu rombongan Tong Kui Tik datang, Sian Li sudah
siap2 menyamar sebagai Blo'on. Agar jangan sampai
ketahuan, maka sengaja wajahnya dilumuri bedak yang
tebal. i
Demikian setelah kembali sebagai seorang gadis lagi, dia
terus turun gunung untuk menyusul Blo'on.
Ketika tiba dilembah yang memisahkan puncak Giok-linia
dengan lain puncak, dia terkejut karena mendengar
suara orang menghela napas. Saat itu suasana amat sunyi
sehingga suara helaan napas yang'terbawa angin itu dapat
didengarnya.
"Ah, siapa ?" fa hentikan langkah dan melongok
kebawah jurang yang curam sekali. Ia tak melihat sesuatu
kecuali sebatang pohon siong yang kebetulan nyangkol
tumbuh di tengah dinding jurang.
' "Hai, siapakah yang menghela ' napas itu ?" ia berteriak
sekeras-kerasnya. Dari bawah jurang terpantul gema
suaranya yang berkumandang keras. Namun tak ada
jawaban.
"Apakah didalam jurang ini terdapat orang2 Jawablah,
jangan takut. Aku akan menolongmu !" kembali dia
berteriak. '
Rupanya kali ini teriakannya berhasil. Sayup2 terdengar
suara orang menyahut, "Siapakah anda ini ?"
"Aku orang desa ini. kebetulan lalu disini mendengar
suara orang menghela napas. Engkau berada dimana ?" seru
Sian Li pula.
Sebagai jawaban, dari belakang batang pohon siong itu
muncul sesosok tubuh. Orang itu rupanya dapat melihat
Sian Li yang berada di tepi jurang sebelah atas, "O, engkau
nona, apakah engkau mau menolong aku ?" teriak orang
itu.
Beda dengan orang, Sian Li yang berada diatas dan
melongok kebawah tidak begitu jelas akan orang itu. Maka
diapun berseru pula, "Siapa engkau dan mengapa jatuh
kedalam jurang ?"
Jawab orang itu, "Tolong usahakan supaya aku dapat
naik keatas dulu. Nanti akan kuterangkan segalanya kepada
nona."
Siang Li memang berhati welas asih. Dia segera mencari
pohon rotan yang banyak tumbuh disekeliling lembah itu.
Setelah dipilin menjadi tali maka diturunkan kebawan,
ujungnya yang diatas diikatkan pada sebatang pohon besar,
"naiklah dengan rotan ini" teriaknya.
Akhirnya orang itupun dapat mencapai tepi atas. "terima
kasih nona," serta merta dia menjurah menghaturkan terima
kasih.
Sian Li terkesiap kaget, "Ah, kiranya orang ini," katanya
dalam hati. Namun karena sudah terlanjur menolong,
diapun tak mau mencelakainya lagi. Pikirnya, dia tentu tak
tahu kalau aku yang menyaru jadi suko Bio'on tadi. Biarlah
kuselidiki jebih lanjut, siapa sesungguhnya dirinya itu.
"Ah, tak apa," sahut Sian Li, "mengapa engkau jatuh
kedalam jurang
"Aku bertempur melawan seorang imam tua dari Go-bipay,
kita sama2 jatuh kedalam jurang. Aku beruntung dapat
meraih pohon siong tetapi imam tua itu teius meluncur ke
dasar jurang.
Entah bagaimana keadaannya, mati atau masih hidup."
Sian-li kerutkan dahi, imam tua dari Go-bi-pay ? Siapa
namanya ?" ia teringat akan Hong Hong tojin ketua Go-bipay
sebagai salah seorang ketua dari tujuh perguruan besar
yang bersahabat dengan mendiang suhunya.
"Dia mengaku bernama Hian Hian tojin, suheng dari
ketua perguruan Go-bi-pay yang sekarang," jawab Wan-ong
Kui. Agar jelas, maka dia pun lalu menuturkan tentang
kedatangannya ke Wisma Damai untuk mencari Blo'on
sehingga sampai terjadi beberapa pertempuran melawan
beberapa musuh yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng.
Hanya satu yang tak dikatakan Wan-ong Kui yalah
tentang tujuannya sendiri untuk mencari Blo'on itu. Sian Li
ingin bertanya tetapi pada lain saat ia teringat. Kalau dia
menanyakan hal itu tentulah Wan-org Kui akan mencurigai
dia mengapa bertanya begitu dan mengapa Sian Li tentang
persoalan itu ? Terpaksa gadis itu tak jadi bertanya.
"Siapakah nona dan mengapa nona sampai ditempat ini ?
"Wan-ong Kui balas bertanya.
"Aku ?" Sian Li tertegun sejenak, "aku diutus ketua
perguruan Kun-lun-pay untuk menjenguk keadaan Kim
Blo'on."
Sian Li sengaja berbohong. Ia tahu maksud, kedatangan
Wan-ong Kui itu hendak membuat perhitungan dengan
Bio’on karena Blo'on tak mau mengakui kalau puteri
baginda Ing Lok dari kerajaan Beng itu calon isterinya.
"Dan apakah nona sudah bertemu dengan Blo'on ?"
tanya Wan-ong Kui pula.
"Tidak," kata Sian Li, "kucari keseluruh penjuru, dia tak
kelihatan. Tetapi aku beruntung mendapat sepucuk surat
dalam laci kamarnya yang mengatakan bahwa dia hendak
menuju ke Cociu untuk menghadap jenderal Ko Kiat."
"O," Wan-ong Kui terkejut. Bahwa Sian Li tak dapat
bertemu dengan Blo’on, memang mungkin karena saat itu
Blo'on terus lari meninggalkan ruang wisma untuk
menjenguk makam ayahnya. Tetapi sejak itu Blo'on
memang tak muncul lagi.
"Mengapa dia hendak ke Cociu ?"
"Entah," jawab Sian Li.
"Lalu apakah nona hendak menyusul ke sana ?"
"Ya."
"Ada urusan yang penting ?"
"Akan menyampaikan pesan suhu."
"Soal apa ?"
"Maaf, pesan ini hanya boleh didengar Bio;on saja. Aku
tak berani melanggar pesan suhu," kata Sian Li.
Wan-ong Kui tersipu-sipu. Ia merasa telah kelepasan
omong. Mana boleh rahasia perguruan diberitahukan
kepada orang luar.
"Maafkan, nona, aku terlalu lancang," katanya
kemudian, "tetapi aku juga ingin menemui Blo'on."
"Lho. apakah engkau belum bertemu ?"
"Sudah," sahut Wan-ong Kui, "tetapi sebelum urusan
kita selesai, keburu kedatangan beberapa orang yang
dibawa oleh pangeran Barbak yang menurut pengakuannya
adik dari panglima Torgun. kepala pasukan Ceng,"
Sian Li tersenyum dalam hati. Ia memang sudah tahu hal
itu, "Hm, rupanya dia masih hendak melanjutkan
pertempuran itu dengan suko," katanya dalam hati.
"Lalu bagaimana maksudmu?" tanyanya kepada Wanong
Kui.
"Jika nona tak keberatan, aku ingin bersama-sama
mencari Blo'on. Nona mempunyai urusan-dengan dia,
akupun juga," kata Wan-ong Kui.
Sian Li tertegun. Apakah ia menerima tawaran itu atau
haruskah ia menolaknya ? Kalau menerima berarti ia
mengajak seorang musuh untuk mencari sukonya. Tetapi
kalau menolak, ia kuatir orang itu akan curiga. Dan
bukankah orang itu juga mempunyai kaki untuk secara
diam2 mengikuti perjalanannya ke Co-ciu.
"Ah, daripada mempunyai musuh gelap, lebih baik
membawa seorang musuh yang terang dan dapat diawasi
gerak geriknya. Kalau sampai suko terancam bahaya, aku
dapat membunuh orang ini lebih dulu." pikirnya.
"Hm, kalau menilik kepandaiannya bertempur dengan
aku tadi, kurasa tak mungkin dia dapat mengalahkan suko,"
pikirnya lebih lanjut. Setelah mengambil keputusan, iapun
menyatakan tak ^ keberatan untuk sama2 menuju ke Co-ciu
bersama Wan-ong Kui. Keduanya segera melanjutkan
langkah menuju ke Co ciu.
Ai, lakon manusia itu memang aneh. Pertama, Wan- ong
Kui bertemu dengan Han Bi Ing. Wan-ong Kui hendak
membunuh Blo'on tetapi sebaliknya Han Bi Ing hendak
menjumpai Blo'on yang menjadi calon suaminya. Dua
orang yang sama tujuan tetapi berlainan maksud sama2
menuju ke puncak Giok-li-nia mencari Blo'on.
Setelah mengalami beberapa peristiwa yang tak terduga,
Wan-ong Kui ditolong oleh seorang gadis yang mengaku
sebagai anakmurid perguruan Kun-lun-bay. Wan-ong Kui
tak tahu kalau gadis yang dihapinya dan menolongnya dari
dalam jurang itu tak lain adalah Blo'on palsu yang malam
tadi bertempur dengan dia. Lebih tak menyangka dia kalau
gadis itu adalah Liok Sian Li, sumoay Blo'on.
Untuk kedua kalinya Wan-ong Kui mengadakan
perjalanan dengan seorang gadis lain. Tetapi lelakonnya
sirna dengan ketika ia bersama Han Bi Ing. Ia hendak
mencari Blo'on karena hendak membunuhnya, tetapi Sian
Li Ji hendak mencari Blo'on untuk membantu sukonya.
Memang lelakon di dunia ini serba aneh dan serba tak
terduga. Hanya ada sedikit perbedaan antara peristiwa yang
ditempuh Wan-ong Kui tadi dengan yang sekarang.
Kalau bersama Han Bi Ing tadi, Han Bi Ing tak tahu
kalau Wan-ong Kui hendak membalas dendam kepada
Blo'on. Tetapi Wan-ong Kui tahu apa tujuan Han Bi Ing
mencari Blo'on.
Sekarang Wan-ong Kui berbalik yang tahu siapa
sesungguhnya Sian Li itu dan apa tujuannya mencari
Blo'on. Sebaliknya Sian Li tahu jelas siapa Wan-ong Kui itu
dan apa maksudnya hendak mencari Blo'on.
Kini diantara orang2 yang mendaki ke puncak Giok-linia
hanya tinggal Tong Kui Tik seorang yang belum
ketahuan bagaimana nasibnya. Memang jago tua bersama
lawannya, pertapa Suto Kiat. belum dapat diketahui
bagaimana keadaannya dan saat itu berada dimana.
Sebenarnya In Hong bingung dan sedih sekali karena tak
dapat menemukan engkongnya. Tetapi karena dihibur Han
Bi Ing demikian pula Kim Yu Ci, hati dara itupun agak
tenang.
''Orang yang baik tentu akan dilindungi Thian," kata Han
Bi lng.
Sekarang marilah k'ta ikuti perjalanan pendekar yangmengangkat
diri sebagai pendekar Huru Hara.
Setelah marah2 dan ngamuk di markas jenderal Ko Kiat
karena jenderal itu menipunya, mengatakan kalau barang
antaran kepada jenderal Ui Tek Hong itu barang yang
berharga, tetapi ternyata hanya peti berisi tanah, pendekar
Huru Hara merasa dipermainkan.
Dia tak sudi menerima upah dari jenderal itu. Bukan
upah yang diharapkan tetapi suatu penghargaan. Masakan
peti berisi tanah disuruh, mengantar kepada seorang
jenderal? Bukankah berbahaya sekali kalau jenderal Ui
sampai membuka isinya. Kalau tidak dihukum potong
leher, paling tidak dia tentu akan menerima hukuman
dicambuk sampai ratusan kali.
"Pantat masih berguna sih, mengapa akan dimakan
cambuk," pendekar Huru Hara, manusia yang nyentrik,
bersungut-sungut.
Itulah sebabnya dia ngamuk pada jenderal Ko Kiat.
Memang lucu dan mengherankan kedengarannya
bagaimana dia yang hanya ditemani oleh seorang kakek
pendek, dapat menggegerkan markas .kediaman seorang
jenderal. Tetapi kenyataan memang begitu. Berpuluh-puluh
prajurit pemanah yang diperintahkan jenderal Ko Kiat
untuk membunuh Huru Hara, ternyata tak mampu
mengapa-apakan pendekar nyentrik itu.
Setelah keluar dari markas kediaman jenderal Ko Kiat,
pendekar Huru Hara dan kakek Cian-li-ji disambut
pengemis sakti Wi sin-kay yang memang menunggu di luar
gedung.
Setelah menceritakan semua yang dialami dalam gedung
kediaman jenderal Ko Kiat, pendekar Huru Hara menutup
ceritanya, "Ah, andaikata tak mengingat bahwa jenderal Ko
Kiat itu seorang panglima pasukan kerajaan Beng yang saat
ini masih dibutuhkan tenaganya untuk menghadapi
serangan pasukan Ceng, dia tentu sudah kugantung."
Wi Sin-kay tertawa, "Hian-tit, engkau ini sepintas
memang tampak aneh dan kadang, maaf, blo'on. Tetapi
engkau mempunyai peribadi yang aneh dan hati yang baik,
pikiran yang bijaksana."
Pendekar Huru Hara menjawab. "Ah, janganlah cianpwe
memuji aku begitu muluk. Apa sih aku ini, hanya seorang
pemuda yang gendeng."
Wi sin-kay tertawa. "Ai, aku justeru senang bersahabat
dengan oiang2 seperti hian-tit dan paman Cian-li-ji. Kata
orang, ksatrya senang pada ksatrya, burung merpati
berkelompok dengan burung merpati. Begitu juga kita ini.
Aku sendiri juga orang sinting, tentu suka kumpul dengan
orang gendeng dan kakek yang tak waras pikirannya,
ha..ha, ha....."
"Wi cianpwe, engkau tentu luas hubunganya dan banyak
pengalaman. Bagaimana ya kira2 jalan yang terbaik untuk
mencari Bu Te sin-kun itu?" tanya pendekar Huru Hara.
"Apakah hian-tit sungguh2 bertekad hendak
menantangnya?" tanya Wi sin-kay.
"Ya."
"Tetapi dia memang seorang tokoh yang misterius dan
luar biasa kepandaiannya. Kata beberapa tokoh yang
pernah berhadapan dengan dia, Bu Te sin-kun itu memiliki
hampir semua ilmu istitnewa dari ketujuh perguruan besar
dalam dunia persilatan. Hal itu memang mengherankan
sekali."
"Biarlah, cianpwe,"' kata pendekar Huru Hara, "yang
penting kita coba saja dulu. Karena kalau kita terlalu
mendengarkan kabar.' orang, be-]um2 kita sudah kalah
sebelum bertanding."
"Benar," teriak kakek pendek Cian-li-ji, "kolesom di
dunia ini banyak yang lezat dan berkhasiat tetapi masih ada
yang lebih unggul lagi yaitu keluaran negen Ko-li-kok.
Demikian pula dengan ilmu kepandaian orang. Yang tinggi
masih ada yang lebih tinggi lagi. Jangan takut, hian-tit,
selama pamanmu Cian-li-ji masih mendampingi engkau, Bu
Te sin-kun tentu dapat kita bekuk."
"Hiantit," kata Wi sin-kay, "apakah engkau tak
mendengar gerak gerik jenderal Ko Kiat ?"
"Tidak," sahut pendekar Huru Hara," gerak geriknya
yang bagaimana ?"
"Menurut beberapa anakbuah Kay-pang yang memberi
laporan, aku mendapat berita bahwa di -samping mengirim
engkau untuk mengantar barang bingkisan kepada jenderal
Ui Tek Kong, jenderal Ko Kiat juga suruh seorang yang
bernama Yap Hou untuk mengantar suatu barang ke Lamkia."
"Yap Hou ? Rasanya aku pernah dengar nama itu ?"
pendekar Huru Hara merenung. Sesaat kemudian da
berseru, "O, tentu dia. Pemuda yang menyerahkan enam
butir kepala dari tokoh-hitam yang menerima undangan
dari jenderal Ko Kiat. Waktu itu kudengar jenderal Ko Kiat
berbisik kepadanya dan Yap Hou yang semula ngotot
dengan aku tentang siapa yang berhak dianggap sebagai
orang yang dapat mengalahkan ketujuh benggolan, tiba2
sikapnya berobah tenang.""
"Apakah hiantit tahu siapakah Yap Hou itu?" tanya
pengemis Wi- sin-kay pula.
Pendekar Huru Hara gelengkan kepala.
"Menurut keterangan dari beberapa tokoh persilatan,
Yap Hou itu adalah murid tak resmi dari Bu Te sin-kun."
"Bagus!" teriak pendekar Huru Hara serentak, "tetapi apa
yang dimaksud dengan murid tak resmi itu?"
"Entah karena apa dan dalam hubungan bagaimana, Bu
Te sin-kun telah memberi pelajaran ilmusilat kepada Yap
Hou. Oleh karena sebelumnya Yap Hou itu juga sudah
memiliki ilmusilat yang tinggi maka agar tidak dicela oleh
gurunya ' yang dulu, antara Bu Te sin-kun itu tidak ada
ikatan guru dengan murid. Tetapi kenyataannya, Bu Te sinkun
memang menurunkan beberapa macam ilmusilat sakti
kepadanya."
"O," desuh pendekar Huru Hara, "biar bagaimana Bu Te
sin-kun tentu akan membela Yap Hou apabila Yap Hou
sampai dicelakai orang."
"Ya, tentu," sahut Wi sin-kay, "dan kebetulan saat ini
Yap Hou sedang dalam perjalanan ke Lam-kia. Jika kita
dapat menyusul dan menangkapnya, tentulah Bu Te sin-kun
akan muncul untuk menolongnya."
"Bagus, Wi cianpwe," sambut pendekar Huru Hara
dengan gembira, "akan kubekuk dulu si Yap Hou itu, agar
Bu Te sinkun muncul tapi bagaimana kalau dia tak muncul
karena mendengar berita itu?"
Wi sin-kay tertawa, "Hal itu serahkan saja kepadaku.
Aku mempunyai anakbuah yang tersebar luas dimanamana.
Akan kuperintahkan mereka supaya menyiar-luaskan
peristiwa itu. Masa kita takut kalau Bu Te sin-kun takkan
mendengar dan takkan segera muncul mencari kita?"
"Terima kasih Wi cianpwe." seru pendekar Huru Hara,
"sebenarnya aku tak berminat hendak adu kesaktian dengan
Bu Te sin-kun. Dia sakti biarkan saja. Tetapi karena dia
telah merampas mustika Giok-say itu, terpaksa aku harus
berusaha merebutnya kembali."
"Benar, hiantit," sambut Wi sin-kay, "apabila berhasil
menemukan Giok-say dan mendapatkan harta karun itu,
wah, sungguh suatu bantuan besar bagi perjuangan para
ksatrya dalam gerak nya menentang penjajah Ceng."
Mereka bertiga segera berangkat.
-oodwoo-
Jilid: 11.
Agar jelas marilah kita kembali lagi pada peristiwa
jenderal Ko Kiat mengirim peti uang yang akan
disumbangkan kepada jenderal Ui Tek Kong sebagai tanda
ikut berdukacita atas kematian ibu jenderal Ui Tek Kong.
Karena perbuatan jenderal Ko Kiat yang telah
menyerang pasukan jenderal Ui Tek Kong ketika hendak
menyambut kedatangan panglima Ui Hui, maka Ui Tek
Kong marah dan hendak menyerang Ko Kiat. Hampir saja
terjadi pertempuran sendiri diantara kedua pasukan Beng
itu. Untunglah Su Go Hwat datang melerai.
Kebetulan mama dari Ui Tek Kong meninggal, maka Su
Go Hwat menganjurkan Ko Kiat untuk mengirim
sumbangan dan pernyataan berduka cita, agar Ui Tek Kong
luluh hatinya.
Untuk melaksanakan pengiriman itu maka Ko Kiat telah
mengundang tujuh benggolan dunia hitam. Maklum
suasana saat itu memang gawat, negara sedang dalam
peperangan.
Ketujuh surat undangan dapat direbut oleh pendekar
Huru Hara yang lalu menghadap Ko Kiat. Tetapi pada saat
itu juga muncul seorang jago muda yang menyebut diri
bernama Yap Hou dengan membawa enam bulir kepala
dari ketujuh benggolan hitam itu. Untuk memustuskan
siapa yang berhak mendapat kepercayaan untuk membawa
barang antaran itu maka diadulah pendekar Huru Hara
dengan Yap Hou. Yap Hou kalah dan pendekar Huru Hara
yang diberi pekerjaan mengantar barang kepada jenderal Ui
Tek Kong itu.
Tetapi dasar Ko Kiat itu seorang jenderal yang licik,
sebenarnya mengantar barang sumbangan kepada Ui Tek
Kong itu hanya suatu formalitas yang bersifat basa-basi
saja. Dia takut kepada mentri pertahanan Su Go Hwat.
Maka diam2 dia menyuruh Yap Hou untuk mengantar
surat dan barang mustika kepada tay-haksu ( penasehat raja)
Ma Su Ing. Barang berharga itu tak lain adalah barang yang
diantar pendekar Huru Hara. Jelasnya, Yap Hou diperintah
untuk merampas barang antaran yang dikawal pendekar
Huru Hara itu.
Sekali tepuk dua lalat, demikian siasat yang
direncanakan Ko Kiat. Dia telah melakukan anjuran mentri
pertahanan Su Go Hwat untuk mengirim sumbangan
kepada Ui Tek Kong. Tetapi diam2 dia suruh orang untuk
merampas barang itu. Sudah tentu dia akan mengatakan
bahwa memang dalam suasana negara sedang kacau,
banyak sekali pengacau dan perampok merajalela. Dia
bersih dari tuduhan.
Kemudian dia suruh Yap Hou mengantar barang
berharga yang dirampas dari pendekar Huru Hara itu
kepada Ma Su Ing.
Memang cerebk dan licin sekali Ko Kiat mengatur
rencana. Tetapi perhitungannya meleset. Secara tak didugaduca,
peti yang berisi emas permata dan uang itu, telah
ditukar oleb Li Li Hoa, seorang wanita cantik yang menjadi
gundik kesayangan Ko Kiat. Li Li Hoa itu sebenarnya
gundik dari Li Thian Ong, seorang hartawan yang
termasyhur dermawan di kota Khay hong.
Mengapa Li Thian Ong mempersembahkan gundik
kesayangannya kepada jenderal Ko Kiat ?
Ternyata Li Thian Ong mendengar bahwa entah dari
mana asalnya, ternyata setelah pasukan kerjaan Beng
mundur dari ibukota Pakkia jenderal Ko Kiat merriliki
sebuah pusaka Gioksay atau Singa-kumala. Dalam mustika
Singa kumala itu tersimpan sebuah peta dari rahasia tempat
penyimpanan harta karun dari Cu Goan Ciang, pendiri
kerajaan Beng.
Setelan dapat memikat hati Ko Kiat maka berhasillah Li
Li Hoa untuk mencuri mustika Giok-say itu. Wanita itu
segera menghubungi Li Thian Ong. Li Thian Ong tahu
kalau dia datang ke tempat jenderal Ko Kiat, tentulah dia
yang akan dituduh apabila jenderal itu tahu bahwa mustika
Giok-saynya hilang.
Kebetulan sekali Li Thian Ong mendengar kabar bahwa
Ko Kiat hendak mengirim barang sumbangan kepada
jenderal Ui Tek Kong. Dia lalu memberi perintah kepada Li
Li Hoa supaya menyelundupkan mustika Giok-say itu
kedalam peti. Nanti dalam perjalanan, Li Thian Ong yang
mencegat dan merampas barang antaran itu.
Li Thian Ong memang berhasil. Tetapi sial sekali. Bu Te
sin-kun muncul dan dapat merebut Giok-say itu dari
tangannya.
Seperti yang direncanakan jenderal Ko Kiat maka Yap
Hou dengan membawa beberapa prajurit memang hendak
merampas peti. Tetapi dia terlambat. Peti itu telah ditukar
oleh pengemis sakti Wi sin-kay dengan tanah dan harta
berharga dalam peti itu telah dikuras Wi sin-kay untuk
dibagi-bagikan kepada rakyat yang terserang bahaya
kelaparan.
Sekarang mari kita ikuti Yap Hou yang menghadap
jenderal Ko Kiat untuk melaporkan peristiwa itu.
Sebenarnya kalau hanya kehilangan harta yang dikirim
kepada jenderal Ui Tek Kong itu, tentulah Ko Kiat tidak
begitu kelabakan. Paling2 dia nanti dapat mencari ganti
pada rakyat yang kaya, Tetapi karena kebetulan dia
mengetahui hilangnya mustika Giok-say maka marahlah
dia kepada Yap Hou.
Memang setiap berapa hari sekali, Ko Kiat tentu
membuka peti tempat penyimpanan Giok-say. Dan
kebetulan hari itu ketika membuka peti, Giok-say itu masih
ada. Hampir saja dia menutup kembali peti itu. Tetapi
entah kenapa saat itu dia seperti merasa ingin sekali untuk
memeiiksa Giok-say itu. Ia mendengar kabar bahwa Gioksay
itu tersimpan rahasia harta karun dari baginda Beng
thaycou (Cu Goan Ciang) tetapi sampai berulang kali
diteliti, belum juga ia dapat menemukan rahasia yang
menunjukkan tulisan atau peta tempat penyimpanan harta
karun.
Maka diperiksanya lagi Giok-say itu dengan teliti.
Alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa Giok-say itu
bukan lagi terbuat daripada kumala melainkan dari gelas
biasa.
Ko Kiat segera meniitahkan pengawalnya untuk
menangkap Li Li Hoa karena hanya gundik itu yang tahu
rahasia tempat ia menyimpan Giok-say. Tetapi walaupun
disiksa, Li Li Hoa tetap tak mau mengaku. Li Li Hoa
dijebloskan dalam tahanan tetapi dia berhasil minggat.
Sebelumnya dia meninggalkan sura.t bahwa Giok say itu
memang dia yang mengambil dan diselundupkan dalam
peti barang antaran kepada jenderal Ui Tek Kong.
Itulah sebabnya maka Ko Kiat marah sekali ketika
mendengar laporan Yap Hou, bahwa peti itu hanya berisi
tanah, tak ada mustika Giok-say.
Yap Hou heran mengapa jenderal itu marah besar
kepadanya sehingga hampir saja dia dibunuh.
"Ciangkun, aku tak tahu apa yang salah padaku,"
katanya kepada Ko Kiat, "memang peti itu hanya berisi
tanah pasir dan tak terdapat lain barang."
"Goblok!" bentak Ko Kiat, "mengapa engkau sampai
terlambat sehngga peti itu sudah dilampas lain orang dan
diganti dengan tanah pasir."
"Ya, karena aku tak menyangka bakal terjadi peristiwa
semacam itu," kata Yap Hou. "kalau ciangkun
menghendaki supaya aku mengganti uang antaran itu, aku
sanggup tetapi aku minta tempo satu bulan."
"Tidak perlu," kata Ko Kiat yang agak tenang, "yang
penting engkau harus menyelidiki siapakah yang telah
mendahului engkau untuk merampas isi peti itu. Kemudian
laporkan kepadaku."
Yap Hou menyanggupi. Sekeluarnya dari gedung
kediaman Ko Kiat, dia berpikir, "Aku harus mencari
pendekar Huru Hara untuk mencari keterangan kepadanya
tentang peti itu. Tentulah dia tahu siapa yang telah datang
lebih dulu dari aku."
Kebetulan dia tak perlu membuang banyak tenaga untuk
mencari pendekar Huru Hara karena pendekar Huru Hara
juga hendak mencarinya. Pertemuan itu terjadi di sebuah
rumah makan. Ketika dia sedang makan di rumah makan
disebuah kota kecil maka masuklah pendekar Huru Hara
bersama Cian-li-ji dan Wi sin-kay.
"Pucuk dicinta ulam tiba2," seru Yap Hou dalam hati
seraya berbangkit menyambut ketiga orang itu.
"Ah, kebetulan sekali engkau datang kemari," katanya
kepada pendekar Huru Hara, "aku memang hendak
mencarimu."
"O," desuh pendekar Huru Hara, "engkau hendak
mencari aku ? Aneh, aku juga hendak mencari engkau !"
Yap Hou tertegun. Sesaat kemudian dia mempersilakan,"
Mari kita duduk dan bicara yang tenang."
Yap Hou minta hidangan lagi berikut arak wangi. Ketika
pesanannya datang, tiba2 timbul pikirannya untuk mencoba
kepandaian pendekar Huru Hara. Kalau dapat kugertak
dengan ilmu kepandaianku, tentu mudah untuk
memaksanya supaya memberi keterangan, pikirnya.
Ia menuang arak kedalam sebuah cawan lalu
dilemparkan kearah pendekar Huru Hara yang duduk
dihadapannya, "Loan tayhiap, silakan minum . . . ."
Cawan arak itu melayang, terbang kearah pendekar Huru
Hara, "Ah. terima kasih, tak perlu sungkan, sahut pendekar
Huru Hara seraya ulurkan tangan menyambuti.
"Ja.....," melihat itu Wi sin-kay hendak mencegah. Ia
tahu bahwa Yap Hou telah menggunakan lwekang tinggi
untuk melontarkan cawan berisi arak itu.
Cawan berisi arak yang dibayangkan kepada orang itu,
mengandung beberapa keanehan. Ada yang apabila
disambuti, cawan terus pecah. Ada yang araknya
mencurah, ada yang cawan itu lolos dan lain2 menurut
kehendak si pelontar. Sudah tentu juga menurut tinggi
rendahnya Iwekang dari pelontarnya.
Oleh karena itu maka Wi sin-kay terkejut ketika melihat
pendekar Huru Hara mengulurkar tangan menyambuti
cawan. Ia kuatlr pendekar Huru hara mendapat malu
karena dipermainkan Yap Hou.
Tetapi sebelum pengemis sakti itu sempat meneruskan
kata-katanya, tangan pendekar Huru Hara sudah
menyambuti cawan.
"Uh, tumpah......" teriak pendekar Huru Hara pada saat
tangannya memegang cawan dan arak itu terus tumpah.
Terdengar suara orang tertawa mengejek tetapi tiba2
tawa itu berhenti, berganti dengan desuh kejut, "Ih....."
Ternyata pendekar Huru Hara telah melepaskan cawan.
Cawan meluncur lebih cepat, keatas meja dan tepat dapat
menampung arak yang tumpah itu. Sernua masuk kedalam
cawan lagi, tak ada setetespun yang tumpang ke meja.
Orang yang tertawa itu tak lain adalah Yap Hou. Ia
mengira pendekar Huru Hara tentu akan meringis malu
tetapi dia sendiri yang terbeliak kaget.
"Ah, arak yang harum sekali," seru pendekar Huru Hara
seraya meneguk cawan arak. Setelah habis, diapun
mengambil poci arak dan dituangkan kedalam sebuah
cawan lalu dilemparkan kearah Yap Hou, "Terimalah ini,
aku juga harap mempersembahkan arah kepadamu . . . ."
Yap Hou, bahkan Cian-li-ji dan pengemis Wi sin-kay
terbeliak ketika melihat layang cawan itu. Cawan itu tidak
melayang seperti cawan yang dilemparkan Yap Hou,
melainkan berputar-putar jungkir balik seperti roda. Namun
tak setetespun arak dalam cawan itu yang menetes keluar.
''Celaka, dia melontar dengan lwekang yang istimewa,"
diam2 Yap Hou mengeluh, "kalau kusambuti mungkin dia
nanti akan menggunakan Iwe-kang sakti untuk
mempermainkan aku. Namun kalau tak kusambuti, aku
pasti akan ditertawakan….."
Daripada ditertawakan, lebih baik dia menyambuti saja.
Dengan mengerahkan segenap tenaga-dalam maka dia
segera menyambut cawan itu.
"Uh," ia mendesuh dalam hati. Mukanya yang
tegangpun berobah menjadi merah. Ternyata waktu
disambuti, cawan itu tak mengandung tenaga-sakti suatu
apa, tetapi seperti cawan biasa saja.
Yap Hou terkejut karena mengetahui bahwa pendekar
Huru Hara telah menguasai ilmu lwe-kang tataran tinggi,
dapat dipancarkan dan ditarik menurut sekehendak hatinya.
Setelah mengetahui kepandaian lwekang lawan, Yap
Hou tak berani malanjutkan permainan mempersembahkan
cawan arak lagi. Tetapi untuk merebut kembali kehilangan
muka itu, dia masih hendak mencoba kepandaian Cian-li-ji.
Ia menuang arak kedalam sebuah cawan dan dilontarkan
kearah kakek pendek itu, "Herap cian pwe suka menerima
persembahan arak ini."
Cian-Ii-ji tertawa. Tanpa mengucap sepanah katapun,
dia terus menyambuti cawan arak itu. Tetapi tidak
menggunakan tangan melainkan langsung dengan mulut.
Dia menyedot arak dalam ca wan itu sampai habis.
Jika Yap Hou terkejut menyaksikan kepandaian kakek
pendek yang sedemikian luar biasa adalah pendekar Haru
Hara gembira sekali, "Bagus, paman," serunya memuji.
"Akupun juga harus menghaturkan arak kepadanya,"
Cian li ji menuang arak kedalam sebuah cawan lalu
dilemparkan kearah Yap Hou.
Waktu Yap Hou menyambuti, tiba2 cawan itu pecah dan
isinya menuang ke baju Yap Hou.
Saat itu Yap Hou benar2 tak berani lagi melanjutkan
permainan itu. Demikian setelah selesai minum maka
berkatalah Yap Hou, "Lian tayhiap, aku hendak mohon
keterangan kepadamu."
"Soal apa?"
"Soal isi dalam peti yang engkau antar itu."
"O, bagian yang mana karena peristiwanya terjadi
berturut- turut."
"Soal mengapa tiba2 isi peti itu berganti dari uang dan
harta berharga, menjadi tanah pasir. Siapakah yang
menukarnya?"
"Aneh," gumam pendekarHuru Hara, "'aku hanya
menerima pekerjaan dari jenderal Ko Kiat untuk mengantar
peti itu kepada jenderal Ui Tek Kong. Tentang apa isinya,
aku tak tahu sama sekali."
"Bukankah isinya hanya tanah pasir saja? tanya Yap
Hou.
"Ya."
"Apa engkau percaya kalau jenderal Ko Kiat akan
mengantar peti berisi tanah kepada jenderal Ui Tek Kong?"
"Soal itu, aku tidak memeriksa lebih dulu apa isinya."
"Ternyata isinya tanah," Yap Hou memberi penegasan.
"Benar," tiba2 Wi sin-kay menyahut, "memang isinya
tanah."
"O, bagaimana lopeh tahu?"
"'Karena aku yang membuka."
Yap Hou terkejut, "Lopeh berani membuka?”
"Ya, karena aku telah mengetahui suatu peristiwa yang
tak kujangka-sangka."
Yap Hou makin tertarik dan mendesak agar pengemis
sakti itu menceritakan apa yang diket,ahuinya. Wi sinkaypun
lalu menuturkan semua peristiwa yang telah
dilihatnya.
Yang mengobrak-abrik peti itu adalah Thian Ong. Dia
mendapatkan sebuah benda tetapi ditengah ja!an dia dicegat
oleh orang dan jang itu berhasil merebut benda itu."
"Apakah nama benda itu?''
"Mereka menyebut Giok-say."
"Giok-say singa kumala?"
"Ya."
"Benda apakah itu?"
"Entah, kemungkinan besar sebuah mustika yang jarang
terdapat dalam dunia. Entah mengandung khasiat yang
ajaib untuk menambahkan tenaga kepandaian. Entah
karena harganya yang tiada taranya. Entah karena
berkhasiat menyembuhkan segala macam racun. Pokoknya,
sebuah mustika yang tiada keduanya dalam dunia ini."
"O, mungkin," diam2 Yap Hou teringat bahwa jenderal
Ko Kiat tak mengatakan benda itu kepadanya.
Kemungkinan karena kuatir dia nanti akan mengambil
barang itu sendiri.
"Lalu siapakah yang mencegat Li Thian Ong," tanyanya
pula.
"Dia mengenakan kain penutup muka sehingga sukar
diketahui. Tetapi Li Thiari Ong sempat menyebut namanya
. . . . "
"Siapa?" teriak Yap Hou karena tegang.
"Bu Te sin-kuu."
"Hai, Bu Te sin-kun!" Yap Hou melonjak dari kursinya.
Wi sin-kay mengiakan. Tampak Yap Hou termenungmenung
sampai beberapa saat. Kemudian dia duduk lagi.
"Apakah engkau kenal dengan Bu Te sin-kun?" tiba2
pendekar Huru Hara bertanya.
"Pernah mendengar namanya tetapi belum kenal
orangnya," sahut Yap Hou.
"Hm," desuh pendekar Huru Hara.
"Kudengar Bu te sinkun pernah mempunyai seorang
murid, apakah engkau tahu?" tiba2 pula pengemis Wi sinkay
bertanya. Diam2 pengemis itu melirik tajam kepada
Yap Hou.
"Tidak," sahut Yap Hou, "Bu Te sin-kun tak punya
murid."
"Setelah mendapat keterangan dari Wi cian-pwe," kata
pendekar Huru Hara, "hendak kemanakah engkau?"
"Mencari Li Thian Ong."
"Mencari Li Thian Ong?" pendekar Huru Hara heran,
"bukankah dia sudah tak menyimpan benda mustika itu lagi
karena sudah direbut Bui Te sin-kun?"
"Aku ingin mendapat keterangan yang jelas tentang
benda itu. Kalau sebuah mustika, lalu musiika apa saja,"
jawab Yap Hou.
"Bagaimana kalau kita menyertaimu ke sana?" tanya
pendekar Huru Hara.
''Ya, kalau Li Thian Ong menyangkal, aku dapat menjadi
saksi," tambah Wi sin-kay.
"Baik," Yap Hou menerima tawaran itu. Setelah selesai
makan dan membayar rekening, mereka lalu berangkat ke
kota Khay-hong.
Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah hutan. Tiba2
pendekar Huru Hara minta berhenti, 'Kita beristirahat dulu
disini."
"Lho, kenapa? Apa engkau lelah? Kita harus cepai2
berjalan agar sebelum matahari terbenam sudah tiba di kota
Ho ling," kata Yap Hou.
"Bukan karena lelah melainkan aku hendak bicara
kepadamu," jawab pendekar Huru Hara.
"Soal apa?" terpaksa Yap Hou berhenti.
"Kalau tak salah, kuperhatikan engkau terkejut gembira
waktu melihat aku masuk kedalam rumah makan tadi,
benar bukan?"
"Hm, lalu?"
"Dengan begitu jelas engkau memang mengharap dapat
bertemu dengan aku atau bahkan memang hendak mencari
aku," kata pendekar Huru Hara.
"Ya," akhirnya Yap Hou mengakui.
"Mengapa?"
"Karena hendak meminta keterangan siapakah yang
lebih dulu datang sebelum Li Thian Ong mengambil benda
mustika itu dari peti yang engkau kawal."
"O," desuh pendekar Haru Hara, "dan bukankah Wi
cianpwe sudah menjelaskan hal itu?"'
Yap Hou mengangguk.
"Ketahuilah, bung,"' kata pendekar Huru Hara pula, "aku
sendiri sebenarnya juga hendak mencari engkau."
"Engkau? Mau apa?'" Yap Hou terkejut.
"Mau meminta keterangan dimanakah aku dapat
menemui Bu Te sin-kun."
Yap Hou terkejut tetapi sesaat kemudian ia tenang
kembali, "Aneh, mengapa bertanya kepadaku? Carilah
sendiri saja."
Pendekar Huru Hara gelengkan kepala, "Sukar. Kecuali
engkau mau memberi petunjuk dimana tempatnya."
"Bung, jangan bergurau."
"Siapa yang bergurau? Aku omong dengan sungguh2."
"Aneh, mengapa engkau bsrtanya kepadaku?"
"Karena engkaulah murid Bu Te sin-kun itu!"
Yap Hou terkejut sekali, "Tidak, aku buka muridnya!"
"Dosa bagi seorang persilatan, pertama kali dia berhianat
kepada perguruannya. Kedua kali menghina gurunya. Dan
engkau ini berdosa karena menghina gurumu."
"Heh, heh, mana aku menghina guruku?
"Apa namanya murid yang tak mau mengakui gurunya
itu kalau bukan menghina?"
Merah muka Yap Hou.
"Kalau aku tetap menyangkal?" tanyanya
"Terpaksa akan kupaksa!"
"Hm, engkau hendak main paksa, ya?"
"Sebenarnya aku tak bermaksud begitu asal engkau mau
memberitahu dengan terus terang."
"Heh, heh, heh" tiba2 Yap Hou tertawa mengejek,
"memang pantas kalau engkau hendak main paksa itu!"
"Apa maksudmu?" pendekar Huru Hara membelalak.
"Bukankah engkau mempunyai dua orang kawan yang
dapat membantumu untuk menangkap aku?"
"Budak she Yap, jangan omong sembarangan saja!" tiba2
Cian-li-ji melengking, "engkau kira keponakanku itu
seorang yang rendah budinya? Hm, aku dan pengemis tua
ini takkan membantunya dan engkau boleh pilih mau
berhadapan dengan siapa?"
"Apa maksudmu?" seketika berkilatlah mata Yap Hou
mendengar kata2 kakek pendek itu.
Pendekar Huru Hara hendak mencegah tetapi kakek
Cian-li-ji sudah mendahului, "Engkau boleh pilih salah satu
dari kami bertiga sebagai lawanmu!"
"Benarkah itu?" Yap Hou serentak berpaling kearah
pendekar Huru Hara.
Pendekar Huru Hara tahu bagaimana perangai kakek
pendek itu. Kalau dia menyangkal, kakek itu tentu marah.
Apa boleh buat, iapun mengiakan saja."
"Baik," kata Yap Hou, "aku senang bermain-rnain
dengan engkau, kakek?"
Bagaimana kepandaian pendekar Huru Hara, Yap Hou
sudah tahu. Ia merasa tak mampu mengalahkan. Diapun
kena! bahwa Kay-pang itu merupakan suatu perguruan
yang terkenal lihay ilmu silatnya. Pangemis tua Wi sin-kay
tentu hebat juga kepandaiannya. Hanya kakek pendek itu
yang tak diketahui asal usulnya, tentulah yang paling lemah
diantara ketiga orang itu. Maka pilihannya jatuh kepada
Cian-li-ji.
Sebaliknya pendekar Huru Hara diam2 menghela napas
longgar. Dia tahu bahwa kakek Cian tentu mampu
menghadapi Yap Hou.
"Budak edan, engkau memilih aku?" seru kakek Cian-liji.
'"Lho, omonganmu tadi sungguh? atau jual gertak saja?"
balas Yap Hou.
"Tentu saja sungguh2," sahut Cian-li ji maju kemuka,
"engkau anggap aku tak berani melawanmu, ya? Hm, kalau
aku tak mampu menampar mukamu sepuluh kaii dan
gundulmu sepuluh kali, lebih baik aku pulang ke desa saja
menjadi petani!"
"Bagus, bagus!" seru Yap Hou, "kalau engkau mampu
melakukan itu, aku akan berlutut dari menyebut ya-ya (
engkong ) kepadamu!"
"Tidak, tidak sudi! Aku tak sudi mempunyai cucu seperti
engkau!'' teriak Cian li-ji
"Habis, engkau minta dipanggil apa ?"
"Panggil lo-ya (tuan besar) kepadaku ! Kalau tidak mau,
akupun tak mau bertempur melawan engkau."
Diam2 Yap Hou gembira. Jelas kakek pendek itu seorang
limbung. Ilmu kepandaiannya tentu tak keruan.
"Baik, aku bersedia menyebut loya kepadamu sampai
100 kali, tetapi kalau aku menang, bukan hanya engkau
tetapi kedua kawanmu itupun harus pergi dari sini dan tak
boleh mengganggu aku lagi!"
"Baik !" sahut Cian li-ji tanpa menghiraukan wajah
pendekar Huru Hara yang terkejut dan pengemis Wi sin-kay
yang melongo.
Yap Hou tak mau membuang waktu. Dia harus
menggunakan kesempatan itu agar jangan terjadi perobahan
lagi difihak kakek Cian-li-jj.
"Kakek pendek, inilah yang disebut Heng-cia-hi-ko atau
Raja-kera-menghaturkan buah. Terima dan makanlah buah
ini . . . ," Yap Hou terus mengirim sebuah pukulan.
"Ah, Kura2 tidak suka buah, lebih baik menyurutkan
kepala," seru Cian-li-ji seraya mengempiskan dada ke
belakang.
Tetapi Yap Hou cepat menebarkan tinju dan berseru,
"Ah, kebetulan kura-kura, aku kepingin makan hatimu . ..."
dia terus mencengkeram uluhati lawan. Jurus itu disebut
Hek-hou-thou-sim atau Macan-hitam- mencengkeram-hati."
“Jangan dong, hati hanya satu, mana boleh engkau
ambil. Lebih baik kura-kura mendekam mau bertelur
saja....." seru Cian-li-ji seraya berjongkok kebawah sehingga
serangan Yap Hou menemui angin.
"Hiu, kura-kura bandel, bagaimana kalau engkau
kutindih dengan lima gunung ?" seru Yap Hou seraya
menghantamkah kedua tangannya ke ubun2 kepala Clan-liji.
Jurus itu disebut Ngo-gak-yak-ting, lima gunung
menindih puncak.
'"Wah, wah, wah .... lebih baik kura-kura masuk liang
saja," kara Cian-li-ji dan tahu-tahu tubuh kakek yang
pendek itu telah menyusup melalui kedua kedua kaki lawan
dan menerobos ke belakangnya.
Yap hou terkejut sekali. Belum pernah selama berpuluh
tahun mengembara di dunia persilatan dia berhadapan
dengan seorang lawan yang memiliki gerak sedemikian
aneh. Masa selakan kaki dimasuki begitu saja.
Pendekar Huru Hara tertawa geli, "Ah, paman, kalau
jadi kura-kura, jangan2 nanti bertelur sungguhan, lho !"
“Benar, memang lama2 boyok (pinggang) bisa patah
nih," seru Cian-li-ji, "habis mau jadi apa ?"
“Kau enakan jadi burung, paman."
"O. benar, keponakanku. Tetapi jadi burung apa ?"
"Burung kuntul."
"Burung kuntul ? Mengapa burung saja pilih burung
kuntul ?"
'"Burung kuntul bisa terbang menutuk gundul dan muka
orang."
"O, ya benar."
"Dan kuntul itu bisa berbaris juga."
"Benar ! Memang kuntul bisa berbaris . . . . "
Saat itu Yap Hou sudah berputar menghadap ke
belakang dan terus menyerang Cian-li-ji. Cian-Ii ji terus lari
memutari lawan.
"Paman. mengapa kuntul kok lari-lari ?" seru pendekar
Huru Hara.
"Ini namanya Holopis-kuntul-baris !"
"Kuntul baris?"
"Ya. Bukankah engkau lihat barisan kuntul itu
mengelilingi budak she Yap ini ?"
Pendekar Huru Hara tertawa. Memang saat itu Cian-li ji
bergerak cepat mengelilingi Yap Hou. Sedemikian cepat
sehingga Yap Hou seperti dikepung oleh belasan Cian-li.
Yap Hou terkejut. Benar2 dia tak menyangka bahwa kakek
pendek itu memiliki ilmu gin-kang yang sedemikian
saktinya.
"Setan ....,' diapun mengamuk, menghantam kalang
kabut pada bayangan Cian-li-ji.
“Plak, plak, plak .... plek, plek, plek . . .” terdengar
berturut-turut telapak tangan menampar kepala dan muka
orang.
Tarnyata setiap kali Yap Hou menghantam, malah dia
yang menderita. Kalau tidak gundulnya ditabok, tentulah
mukanya ditampar.
"Berhenti dulu paman, biarlah aku yang menghitung
berapa ,kali engkau menabok gundulnya dan berapa kali
engkau menampar mukanya." seru pendekar Huru Hara.
"Celaka," teriak Cian-li-ji, "ya benar, aku memang lupa
menghitung. Kalau terus menerus kutabok gundulnya tanpa
hitungan, kasihan, gundulnya itu mumur nanti."
"Mulai, paman, satu . . , dua .. . tiga ... ," pendekar Huru
Hara mulai menghitung dan Cian-li-jipun mulai menambok
dan menampar.
Seumur hidup belum pernah Yap Hou menelan hinaan
semacam itu. Dia seorang jago kelas satu yang cukup
terkenal. Tetapi berhadapan dengan seorang kakek pendek
yang tak terkenal, mengapa dia dapat dipermainkan seperti
anak kecil saja.
Memang ilmu gin-kang atau meringankan tubuh dan
Cian-li-ji itu luar biasa sekali. Dia tlap bergerak secepat
angin puyuh atau seperti bayangan setan.
Habis sudah kepala dan muka Yap Hou ditabok dan
ditampar Cian li-ji. Dia benar2 marah bukan main. Apalagi
pendekar Huru Hara yang menghitung itu tentu mengiring
dengan gelak tawa yang terpingkal-pingkal. Aduh mati aku,
pikir Yap Hou.
Saat itu pendekar Huru Hara sudah menghitung sampai
lima puluh kali untuk tabokan dan lima puluh kali untuk
tamparan. Tiba2 Yap Hou mencabut pedang dan terus
menyerang dengan ilmu-pedang Tat-mo-kiam dari
perguruan Siau-lim-pay yang termasyhur.
Memang hebat sekali perbawa ilmupedang itu. Tetapi
sayang Yap Hou belum tinggi latihannya dan dia tetap
kalah jauh dalam ilmu gin-kang dengan Cian li-ji, maka
serangannya itupun tak berhasil dan dia tetap harus
menderita tabokan dan tamparan.
"Setan pendek, rasakan yang ini," sekonyong-konyong
Yap Hou merobah permainan pedangnya. Kini dia
melancarkan ilmupedang Tui-hong-kiam atau Pedang
pemburu-angin dari perguruan Bu-tong-pay. Pun latihannya
dalam ilmupedang itu baru setengah matang. Tetap kepala
dan mukanya dibuat tabokan dan tamparan oleh Cian-li-ji.
"Keparat engkau, setan kate," teriak Yap Hou lalu
mengganti permainan pedangnya lagi dengan ilmupedang
Thian-san-kiam. Juga kareria latihannya baru setengah jadi,
dia tetap menderita tabokan dan tamparan.
Berturut-turut Yap Hou mengganti permainannya
pedang. Ilmupedang perguruan Siau-lim-pay, Bu-tong-pay,
Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Hoa-san-pay dan terakhir dari
perguruan Kong-tong-pay.
"Ini yang terakhir," serunya seraya mengganti permainan
pedang dengan ilmupedang Kong tong-pay yang disebut
Lian-hoan-toh-beng-kiam-hwat atau Pedang-berantaipencabut-
nyawa.
Keistimewaan dari ilmupedang Lian-hoan- toh-bengkiam-
hwat itu, sekali menyerang dapat menusuk 18 buah
lubang. Tetapi yang mampu dilakukan hal itu rasanya pada
dewasa itu sudah tak ada lagi. Demikian pula dengan
kepandaian Yap Hou. Dia hanya mampu menusuk 4
lubang saja Itupun dia harus belajar mati-matian.
Bermula terkejut juga Cian-li-ji menerima serangan
ilmupedang yang hebat itu. Tetapi setelah beberapa jurus,
dia sudah dapat menyesuaikan diri dan bahkan mampu
melanjutkan tabokan dan tamparannya.
Pendekar Huru Hara sih tak tahu apa nama bermacammacam
ilmupedang yang dimainkan Yap Hou itu. Palingpaling
dia hanya memuji Terapi tidak demikian dengan Wi
sin-kay, tokoh aneh dari himpunan pengemis atau Kaypang
itu. Dia terkejut ketika memperhatikan bagaimana
Yap Hou dapat memainkan ilmupedang dari berbagai
perguruan yang ternama. Hal itu makin menambah
keyakinannya bahwa Yap Hou memang benar murid dari
Bu Te sin-kun.
Kesan yang timbul dalam benak Wi sin-kay
memantulkan gambaran yang menggelisahkan hatinya. Jika
Yap Hou mampu memainkan ilmupedang dari berbagai
perguruan ternama, jelas Bu Te sin-kun tentu juga mampu.
Bahkan bukan hanya mampu, pun tentu jauh lebih hebat
dari muridnya. Ah, mungkinkah pendekar Huru Hara
mampu menghadapi Bu Te sin-kun? Demikian pertanyaan
yang menghantui pikiran pengemis itu.
"Hai, siapa yang berkelahi itu? Hayo, berhenti!"
sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru dan pada
lain saat muncullah seorang pemuda yang tampan dan
berpakaian mewah.
Yap Hou terkejut. Dia hendak menghentikan
serangannya tetapi kakek Cian-li-ji tak peduli. Dia terus
berputar-putar seperti bayangan dan tetap melanjutkan
tabokan dan tamparannya.
"Hai, berhenti, dengar tidak engkau!" teriak pemuda
tampan itu.
"Aku mau berhenti tetapi kakek ini tetap menyerang
aku," teriak Yap Hou. Diam2 dia girang atas kemunculan
pemuda itu. Walaupun dia belum kenal tetapi dia
mempunyai harapan untuk berusaha agar pemuda itu
berfihak kepadanya.
Memang pemuda itu melihat kalau Cian-li ji yang tak
mau mendengar permintaannya. Dia marah, "Hai, kakek
pendek, apa engkau tuli?” teriaknya.
Namun Cian-li-ji tak menghiraukan dan malah
menyahut, "Tunggu kalau sudah 25 kali lagi … plak,
plok....." ia menampar muka dan dan menabok kepala Yap
Hou.
"Apa duapuluh lima kali itu ?" seru pemuda itu dengan
heran.
"Aku berjanji hendak menabok kepalanya dan
menampar mukanya sampai 100 kali. Sekarang baru 75
kali, kurang 25 kali !" sahut kakek Cian-li-ji.
"Berhenti !" teriak pemuda tampan itu seraya ayunkan
tangan menghantam. Dia lepaskan pukulan Biat-gong-ciang
(pukulan membelah angkasa kearah kakek Cian-li-ji.
"Jangan ikut campur !" bentak pendekar Huru Hara
seraya menampar. Darrrr .... pemuda itu terpental mundur
sampai satu meter.
"Hm, siapa engkau !" bentak pemuda itu seraya
menghunus pedang.
"Pendekar Huru Hara !"
"Apa itu pendekar Huru Hara !" tanyanya sesaat
kemud'an.
"Dua tafsiran. Yang mencari huru hara dan yang
memadamkan huru hara."
"Kalau memadamkan huru hara itu memang tugas
seorang pendekar," kata pemuda tampan, "tetapi mengapa
harus mencari huru hara ?"
"Dimana terdapat perbuatan2 yang tidak adil, yang
lalim, yang menyimpang dari kebenaran, disitulah aku
mencari gara-gara. Terutama dalam keadaan dewasa ini
dimana negara sedang menghadapi serangan musuh,
banyak sekali kaum perampok dan pengacau yang
merajalela. Siapa engkau !" tiba2 pendekar Huru Hara
menutup jawabannya dengan membentak.
"Orang ini kurang waras," pikir pemuda tampan namun
ia menjawab juga, "Aku orang she Su nama Hong Liang,
"Siapa Su dan Hong Liang itu?''
"Eh, jangan main2 dengan nama orang. Aku bukan Su
dan Hong Liang tetapi Su Hong Liang,” seru pemuda
tampan itu." dan aku adalah putera dari keponakan dari
menteri pertahanan Su Go Hwat.”
"Mentri pertahanan Su Go Hwat ? Oh ..."
"Ya,'" jawab Su Hong Liang, "apa engkau kenal dengan
pamanku ?"
"Tentu saja, sahut pendekar Huru Hara,"' dia seorang
menteri yang jujur, setia dan tegas. Dia pernah minta aku
supaya bekerja kepadanya tetapi aku belum dapat."
Diam2 Su Hong Liang terkejut mendengar keterangan
itu. Tetapi pada lain saat dia teringat kepada kakek Cian-liji,
"Apakah kakek pendek itu kawanmu?"
'"Pamanku."
"Harap engkau suruh dia berhenti dulu."
Mengingat pemuda Su Hong Liang itu putera keponakan
dari mentri pertahanan Su Hwat yang dikagumi maka
pendekar Huru Hara pun sungkan. Dia segera berseru
meminta kakek Cian-li-ji supaya berhenti.
"Ah, sialan," gerutu kakek itu seraya Ioncat mundur. Dia
berseru kepada Yap Hou, "Hai, engkau, catat baik2.
Engkau masih berhutang sepuluh tabok dan sepuluh
tamparan. Apabila ketemu lagi, engkau harus membayar
hutangmu itu.”
Yap Hou juga mendengar waktu Su Hong Liang
menyebut namanya ketika pendekar Huru Hara tadi. Maka
diapun segera menghampiri kehadapan Su Hong Liang dan
memberi hormat. "Su kongcu, terimalah hormat aku orang
she yang rendah ini."
"Siapa namamu”
''Yap Hou.
"Mengapa engkau bertempur dengan kakek pendek itu?"
'"Dia memaksa aku supaya memberi tahu dimana tempat
tinggal Bu Te sin-kun.'
"Bu Te sin-kun?" Su Hong Liang terkejut. Yap Hou
mengiakan.
"Mengapa engkau dipaksa begitu? Apakah Bu Te sin-kun
itu gurumu?"
"Mereka menuduh begitu. Tetapi aku bu . . . bukan
muridnya."
Su Hong Liang yang cerdik cepat dapat mengetahui
siapa sesungguhnya Yap Hou itu. Sudah lama dia
mendengar kemasyhuran nama Bu Te sin-kun tetapi selama
ini belum pernah ia bertemu. Ia mempunyai rencana sendiri
terhadap tokoh sakti itu. Kini setelah menduga bahwa Yap
Hou tentu murid dari Bu Te sin-kun maka Su Hong Liang
memutuskan untuk melindunginya.
"Hai, kakek, apa engkau tak malu seorang tua menghina
anakmuda?" tegurnya kepada Cian-li ji.
"Mengapa malu? Dia yang menantang aku dan akupun
hanya menabok seratus kali, menampar seratus kali saja."
"Tetapi kalau dia memang tak tahu tempat Bu Te sinkun,
mengapa engkau paksa harus memberi keterangan?"
"Lho, hak apa engkau mengurus aku?" tiba2 Cian-li-ji
melengking.
"Aku adalah putera keponakan dari mentri pertahanan
Su Go Hwat, Jangan engkau kurang ajar !"
"Siapa yang kurang ajar ? Masakan aku seorang tua tak
tahu adat ?" balas Cian-ii-ji.
"Mengapa engkau bertanya tentang hak?”
"Itu kan wajar. Aku berkelahi sendiri dengan budak she
Yap itu mengapa engkau campur tangan ??"
"Aku berhak untuk menjaga keamanan negara ! Barang
siapa melanggar peraturan negara akal kutangkap !"
"Lho, apa pangkatmu ?"
"Apa engkau tuli ? Bukankah sudah kukatakan aku ini
putera keponakan mentri Su Go Hwa yang berkuasa penuh
mengenai pertahanan dan keamanan negara."
“Itu kan mentri Su Go Hwat bukan engkau. Lalu apa
pangkatmu sendiri ?"
"Kakek gila ! Aku adalah keponakannya !” "Keponakan
atau putera atau saudara, hubungan dalam keluarga. Bukan
hubungan dalam pekeijaan dan tak sanggut pautnya dengan
pangkat. Mentri Su Go Hwat dapat memberi perintah
kepada jenderal anu, jenderal anu. Tetapi apakah engkau
dapat memberi perintah? Kalau engkau memaksa memberi
perintah, apakah mereka menurut kepadamu."
"Kakek pendek, engkau terang menghinaku,” seru Su
Hong Liang, terus menghantam. Tapi Cian-li-ji menghindar
ke samping, seraya mendengus, "Hm, engkau kira aku tak
berani kepadamu . . . ."
"Jangan paman !" pendekar Huru Hara memekik seraya
menamparkan tangannya. Jarak ia berdiri dengan Cian-li-ji
terpisah dua lima langkah. Karena melihat Cian-li-ji hendak
menampar muka Su Hong Liang, pendekar Huru Hara
terpaksa mencegah dengan menamparkan tangannya.
Plak.....
Tangan Cian-li-ji yang sudah diangkat ke-atas itu
terdampar oleh hamburan angin tamparan pendekar Huru
Hara Cian-li-ji mencelat semeter ke belakang.
"Hai, mengapa engkau hendak membela orang ini ?"
Cian-li-ji deliki mata.
Pendekar Huru Hara loncat menghampiri, "Paman,
harap engkau meluluskan permintaanku. Jangan berkelahi
dengan Su kongcu ini."
"Mengapa ?"
"Sudahlah, paman, turut saja permintaanku.”
"Tetapi dia menyerang aku lebih dulu !”
"Baik," kata pendekar Huru Hara, "kalau sampai terjadi
sesuatu pada paman, akulah yang menuntut pertanggungan
jawabnya."
Cian-li-ji mengangguk lalu berseru kepada Su Hiong
Liang, "Tuh dengar tidak kata keponakanku. Kalau engkau
berani melukai aku, engkau tentu akan dibalasnya."
"Su kongcu," tiba2 Yap Hou menyelutuk, "memang
begitulah sikap mereka itu. Liar dan tak tahu adat. "
Sebelum Su Hong Liang menyahut maka berkatalah
pendekar Huru Hara dengan bengis, "Orang she Yap,
jangan cari perkara lagi atau aku tak mau menghentikan
pamanku lagi apabila dia menabok kepalamu!"
Merah muka Yap Hou. Namun dihadapan Su Hong
Liang dia tak mau unjuk kelemahan, serunya, "Karena
mengingat dia seorang kakek yang tua renta dan linglung
maka aku tak sampai hati membunuhnya."
Su Hong Liang mempunyai rencana maka dia segera
memutus pembicaraan yang bertele-tele itu, "Sudahlah, tak
perlu urusan ini diperpanjang lagi. Sekarang kemanakah
engkau hendak menuju?" tanyanya kepada pendekar Huru
Hara.
"Tanpa tujuan," sahut pendekar Huru Hara, "kecuali
bermula memang hendak mencari Bu Te sin-kun."
"Mengapa hendak mencarinya?"
"Dia berani mengganggu barang antaran jenderal Ko
Kiat yang dipercayakan kepadaku."
"O, tentu menarik sekali cerita itu. Cobalah engkau
tuturkan," kata Su Hong Liang.
Dengan singkat pendekar Huru Hara menceritakan
tentang peti barang berharga dari jenderal Ko Kiat yang
hendak dikirim kepada jenderal Ui Tek Kong.
"Ah, kurasa," kata Sn Hong Liang dengan gaya seorang
pembesar berkuasa, "soal itu tak penting. Sekarang negara
sedang menghadapi peperangan. Perlu apa harus
memikirkan soal2 begitu? Bukankah lebih penting dan
berarti kalau kita memikirkan soal keselamatan negara?"
Pendekar Huru Hara dan kawan2 terdiam.
"Nah, kalau kalian masih ada urusan lain, silakan,
akupun juga akan melanjutkan perjalanan lagi," kata Su
Hong Liang pula.
"Baik," kata pendekar Huru Hara kemudian berseru
kepada Yap Hou, "orang she Yap, mari kita lanjutkan
perjalanan ke Khay-hong lagi.
Yap Hou terkejut. Untung Su Hong Liang yang tajam
mata dan pikiran cepat berkata. "Saudara Yap Hou hendak
kuajak pulang ke Lam-kia, harap kalian pergi sendiri."
"Tidak bisa!" teriak Cian-li-ji, "dia harus ikut kita."
"Tak apa, kita dapat melanjutkan perjalanan sendiri,"
pengemis tua Wi sin-kay menyelutuk.
Huru Harapun setuju dan mereka bertiga segera
berangkat meninggalkan Su Hong dan Yap Hou.
"Saudara Yap," kata Su Hong Liang setelah rombongan
Huru Hara pergi, "apakah berita pemuda yang mengaku
bernama pendekar Huru Hara itu benar ?"
"Benar, kongcu."
"Apakah engkau tahu apa benda yang disebut mustika
Giok-say itu ?"
"Tidak," Yap Hou gelengkan kepala, "dari Ko
ciangkunpun tak memberitahu kepadaku."
"Dari mana dia memperoleh mustika itu ?" "Ko
Ciangkun juga tak bilang. Dia hanya menitahkan aku
supaya menyelidiki, benda itu berada ditangan siapa."
"Tujuanmu mencari Li Thiang Ong di kota Khay-hong
juga karena hendak menyelidiki hal itu ?"
"Benar."
Su Bong Liang merenung beberapa saat kemudian
berkata, "Menilik jenderal Ko Kiat begitu marah karena
kehilangan benda itu dan menilik pula bahwa Bu Te sin-kun
juga turun tangan untuk merampas benda itu, jelas mustika
itu tentu sangat berharga sekali. Hm, mungkin didalamnya
terkandung suatu rahasia besar . . . ."
"Kemungkinan memang benar begitu, kongcu.”
"Saudara Yap," cepat Su Hong Liang memotong kata2
orang, "marilah kita bicara secara terus terang. Kuminta
engkau mau mempertimbangkan usulku ini dengan
sungguh2,"
"Baik, kungcu, silakan mengatakan," kata Yap Hou.
"Jika engkau mau," kata Su Hong Liang, "aku dapat
mengusulkan kepada paman agar engkau diangkat kedalam
jabatan tentara. Atau jika engkau hendak bekerja, pada
jenderal mana saja, aku dapat mengusulkan kepada jenderal
itu."
"Terima kasih."
"Tetapi engkau tahu," kata Su Hong Liang lebih laniut,
"bahwa orang tentu akan lebih menghargai kedatangan kita
dengan membawa sesuatu yang berharga, daripada hanya
datang dengan tangan kosong."
"Maksud kongcu?"
"Kutahu engkau tentu memiliki ilmu kepandiian silat
yang tinggi. Apabila engkau mau masuk kedalam tentara
Beng, mereka tentu akan menyambut kedatanganmu
dengan hangat. Lebih2 apabila engkau dapat menghaturkan
sesuatu yang amat berharga, engkau tentu akan disambut
dengan sepuluh jari."
Tampaknya Yap Hou masih belum jelas akan k.ata2 Su
Hong Liang.
"Saudara Yap. engkau tak usah curiga atau takut.
Katakanlah yang sebenarnya, bukankah engkau ini murid
dan Bu Te sin-kun ? Sudah lama aku sangat mengagumi
namanya dan ingin sekali berjumpa namun tak berhasil.
Apabila engkau dapat mempertemukan aku kepadanya, aku
sungguh gembira sekali."
Selama mendengarkan omongan Su Hong Liang, hati
Yap Hou berdebar-debar tak keruan. Setelah mengetahui
maksud Su Hong Liang barulah dia tenang kembali dan
berkata, "Su kongcu, memang aku mempunyai hubungan
dengan Bu Te sin-kun. Walaupun tidak dalam ikatan
sebagai guru dan murid tetapi sesungguhnya dia telah
memberi pelajaran ilmu kepandaian kepadaku."
"Bagus, secara resmi engkau bukan muridnya! tetapi
sesungguhnya engkau menjadi muridnya, bukan?"
"Memang perangai paman Bu Te itu aneh sekali.
Mengapa dia berkeras hendak memberi pelajaran silat
kepadaku, aku juga tak tahu. Bahkan ketika aku menolak
karena aku sudah mempunyai ilmusilat dari warisan
keluarga, dia tetap memaksa dan mengatakan bahwa aku
tak terikat sebagal guru dan murid dengan dia."
"Ya," kata Su Hong Liang, "'memang dalam dunia
persilatan tak sedikit jumlah tokoh2 yang berwatak aneh.
Misalnya seperti si pendekar Huru Hara dan kakek pendek
tadi, tampakya mereka juga tokoh berkepandaian tinggi
yang berwatak aneh."
"Ya," Yap Hou mengiakan, "kakek pendek itu memiliki
ilmu gin-kang yang luar biasa. Juga tempo hari aku pernah
bertanding dengan pendekar Huru Hara. Dia dapat
mencomot kancing bajuku tanpa kuketahui sama sekali."
"Hm," desuh Su Hong Liang, "soal mereka sih mudah
saja. Manusia mempunyai akal. Kalau tidak dapat
mengalahkan dengan okol atau tenaga kepandaian, kita
harus menggunakan akal. Berbicara mengenai Bu Te sinkun
lagi, apakah engkau dapat mempertemukan aku dengan
dia?"
"Dapat," kata Yap Hou, "tetapi paman Bu Te itu sukar
diduga tempatnya. Dia tak mempunyai tempat tinggal
tertentu. Datang dan perginya juga tak dapat diduga-duga."
"Baik," kata Su Hong Liang, "kalau begitu, apakah
engkau sanggup apabila bertemu dengan Bu Te sin-kun,
untuk menyampaikan keinginanku kepadanya. Katakan
kepadanya, bahwa aku mempunyai urusan penting sekali
yang perlu kurundingkan dengan dia."
"Baik, kongcu."
"Bagaimana kalau kita menemui Li Thian Ong?" tiba2
Su Hong Liang bertanya.
"Bukankah mereka sudah mengatakan bahwa benda
berharga itu berada di tangan paman Bu Te?"
"Tetapi kita belum tahu jelas apa sesungguhnya benda
itu. Apabila sudah tahu dari keterangan Li Thian Ong
barulah kita pikirkan langkah selanjutnya. Apakah kita
perlu mencari pamanmu Bu Te sin-kun untuk meminta
benda itu ataukah cukup kita biarkan saja."
Yap Hou menyetujui, "Benar, kongcu. Marilah kita
segera ke sana agar tidak didahului oleh iombongan orang2
gila tadi."
Keduanya segera melanjutkan langkah menuju ke Khayhong.
Sementara rombongan pendekar Huru Hara sebelum
mencapai Khay-hong, harus mengalami suatu peristiwa
lagi. Saat itu mereka terkejut ketika tiba diluar kota Samkwan,
rakyat berbondong-bondong mengungsi keluar kota.
"Hai, berhenti paman sekalian," pendekar Huru Hara
menghadang di tengah jaian, "mau kemana saja paman
sekalian ini .
"Ah, hohan, ampunilah kami. "'rakyat yang mengungsi
itu serentak berlutut minta ampun, “kami hanya membawa
bekal pakaian dan sedikit uang untuk hidup. Harap jangan
membunuh kami."
“Tidak, parnan sekalian," seru pendekar Huru Hara,
“aku bukan perampok. Aku mau bertanya mengapa paman
sekalian berbondong-bondong keluar kota ini ?"
"Ah, kota telah dibakar prijurit Ceng, mereka merampok
harta benda rakyat dan mengganggu wanita2. Terpaksa
kami lari mengungsi ke lain tempat."
"Bagaimana dengan pembesar di kota itu ? Apakah
mereka tidak memberi perlawanan kepada pasukan Ceng ?"
tanya Huru Hara.
"Ah, hohan," kata salah seorang lalaki tua yang rupanya
menjadi jurubicara mereka, "mereka bukan melawan tetapi
malah menyambut kedatangan tentara Ceng itu dengan
gembira."
"Hai !" teriak Huru Hara, "mereka malah menyambut
musuh ?"
"Ya."
"Siapakah nama pembesar itu ?"
"Kho ti-hu (residen Kho)."
"Apakah dia masih tinggal dalam kota ?"
"Ya. Gedung ti-hu diberikan sebagai tempat markas
tentara Ceng. Lho ti-hu juga tinggal di-situ.".
"Baik, paman sekalian, akan kami antar paman ke
gunung yang aman dari gangguan perampok-perampok
itu," kata Huru Hara. Dia segera mengajak rombongan
rakyat itu menuju ke sebuah gunung.
"Celaka !" tiba2 Cian-li-ji berseru.
"Kenapa ?" tanya Huru Hara.
"Ada rombongan pasukan berkuda yang menuju kemari,
jangan2 mereka pasukan musuh yang hendak mengejar
rombongan penduduk ini."
"Bagus!" teriak Huru Hara dengan bergelora, "kita
memang hendak mencari mereka. Kalau mereka sudah
datang sendiri, itu kan lebih baik bagi kita!"
"Wi cianpwe," kata Huru Hara kepada pengemis Wi sinkay,
"tolong cianpwe membawa rombongan penduduk ini
ke gunung disebelah depan itu. Biarlah aku dan paman
Cian-li-ji yang menghadapi musuh."
Entah bagaimana terhadap Huru Hara, sin-kay merasa
suka dan menurut saja apa yang dikatakan. Dia segera
membawa rombongan penduduk itu menuju ke gunung.
Tak berapa lama memang benar muncul rombongan
pasukan berkuda. Tak kurang dari limapuluh prajurit
berkuda sedang mencongklangkan kudanya menuju ke
tempat Huru Hara.
"Ah, prajurit2 Ceng," kata Huru Hara ketika pasukan
berkuda itu makin dekat.
"Biar saja, kita sikat mereka semua," seru Cian-li-ji
sambil menggosok-gosok tinjunya.
"Paman Cian," kata Huru Hara, "kita hanya berdua dan
mereka berjumlah puluhan orang. Mereka naik kuda dan
bersenjata lengkap. Kita harus hati2', paman."
"Jangan kuatir, hiantit. Pamanmu tentu takkan
mengecewakan harapanmu," kata Cian-Ii-ji dengan
busungkan dadanya yang penuh bulu.
Pasukan berkuda itu cepat tiba dan terus berputar
memencar diri membentuk sebuah lingkaran untuk
mengepung Huru Hara dan Ci»n-li ji. Kemudian salah
seorang perwira yang rupanya menjadi pimpinan pasukan,
melantang, "Hai, siapa kalian berdua ini!"
"Aku manusia seperti engkau!" seru Cian-li-ji.
Melihat perwujudan kedua orang itu, seorang kakek
pendek yang rambutnya masih hitam dan seorang pemuda
yang dandanannya seperti seorang pendekar nyentrik
karena kepalanya tumbuh dua kuncir, perwira itu geli. Dia
tertawa gelak2 ketika mendengar jawaban yang lucu dari
kakek pendek itu.
"Ya, benar, engkau memang manusia. Tetapi mengapa
manusia kok seperti kura2?" tanya si per wira pula.
Rupanya perwira itu juga suka humor.
"Memang kemungkinan aku dulu keturunan kura2,"
sahut kakek Cian-li-ji, "tetapi kalau engkau dulu
kemungkinan berasal dari kera."
Kini anak pasukan yang tertawa sedang perwira itu
merah padam mukanya karena dikatakan dari keturunan
kera.
"Kakek kate, jangan kurang ajar!" bentaknya dengan
mata melotot.
"Eh, marah," gumam Cian-Ji-ji, "enak saja kalau
ngomong. Manusia masakan dikata berasal dari kura2,
sekarang kalau orang mengatakan engkau sebagai
keturunan kera, engkau marah. Huhl mau cari menang
sendiri, ya ?"
Perwira pasukan Ceng itu terbeliak. Biasanya orang
kalau dikerumuni prajurit apalagi prajurit berkuda, tentu
sudah gemetar tak dapat bicara. Tetapi mengapa kakek
pendek ini malah berani menyemprot pimpinan pasukan
yang mengepung nya?”
"Kakek edan barangkali orang ini" pikir perwira,
"Siapa namamu !" bentak perwira itu.
"Untuk apa engkau tanya namaku itu ?"
Perwira itu tertegun. Anakbuahnya tertawa sehingga dia
malu, "Kakek, aku adalah seorang perwira pimpinan
pasukan berkuda ini . . .”
"Terserah saja !" tukas Cian-li-ji.
"Engkau jawab pertanyaanku yang jujur seru perwira itu
pula, "kemanakah larinya rombongan penduduk yang
mengungsi dari kota San kwan tadi ?"
Tiba2 kakek Cian-li-ji tertawa keras. Tertawanya bukan
seperti tawa orang tetapi menyerupai kuda meringkik.
"Engkau pimpinan pasukan berkuda dan aku hanya
rakyat kecil. Kalau engkau tak tahu mengapa
mengharuskan aku tahu ? Silakan cari sendiri. Bukankah
engkau mendapat gajih dari kerajaan Ceng ? Masakan
hanya mau terima gajihnya tak mau bakerja . ., ."
"Kakek edan, tutup mulutmu !" bentak perwira itu
dengan murka," jika engkau berani menghina aku, perwira
kerajaan Ceng, tentu akan kutangkap!” 'kemudian cepat
perwira itu beralih kepada pendekar Huru Hara,"' Hai,
bung, apa engkau tahu rombongan rakyat yang mengungsi
keluar dari kota tadi ?"
"Pendekar kesiangan !"
"Bukan, pendekar nyentrik !"
"Ha, ha, ha, ha......."
Terdengar ejek dan tawa dari pasukan berkuda yang
mengepung Huru Hara serta Cian-li-ji.
"Perwira, engkau tahu aturan atau tidak ?" bentak Huru
Hara.
"Apa maksudmu ?" perwira Ceng terkesiap.
"Kalau engkau mau bertanya, bukan begitu caranya.
Masakan engkau biarkan saja anakbuahmu mengejek dan
menertawakan aku. Apa engkau seorang perwira yang tak
becus mengurus anakbuah ?"
Perwira itu mengacungkan tangan memberi isyarat
supaya anakbuahnya diam.
"Hayo, lekas jawab, kemana rombongan rakyait itu?"
seru si perwira pula.
'"Sebelum kujawab, sukalah engkau mengatakan, perlu
apa engkau mencari mereka?"
"Mereka berani menentang pada kerajaan Ceng?" sahut
perwira.
"Menentang ? Apakah mereka melawan ?"
"Meninggalkan rumah, membakar semua miliknya,
merusak sawah dan ladang sehingga kehidupan dalam kota
menjadi sepi seperti kota mati lalu melarikan diri. Apa itu
bukan melawan kerajaan Ceng namanya?"
"Aku juga seorang rakyat kecil" kata Huru Hara, tak
mungkin rakyat akan lari apabila diperintah oleh penguasa
yang bijaksana. Kebanyakan setelah menang, perajurit2
tentu mengganas harta benda penduduk dan mengganggu
kaum wanitanya."
"Bangsat engkau juga berani menghina pemerintah
Ceng!” teriak perwira itu terus memberi isyarat kepada
anakbuahnya untuk bergerak, "tangkap kedua pemberontak
ini !"
Cian-li-ji justeru hendak bergerak tetapi dicegah Huru
Hara, "Jangan, aku mempunyai siasat lain. Biar kita
ditangkap saja," bisiknya.
Memang aneh kelihatannya tetapi nyata, kakek Cian-li-ji
itu, kalau terhadap lain orang tentu membantah dan
mendebat, tetapi kalau terhadap Huru Hara dia selalu
menurut.
"Ha, ha, tak perlu kalian harus ngotot mengeluarkan
tenaga. Kalau kami berdua mau melawan, apa kalian
mampu menahan amukan kami berdua ? Tetapi aku tak
mau berbuat begitu, kami mau menyerahkan diri saja!” seru
Huru Hara.
"Wah, sombongnya," tiba2 seorang prajurit Ceng yang
bertubuh tinggi besar berseru,
"Kalau tak percaya, boleh coba l" sahut Huru Hara yang
tiba2 timbul pikirannya untuk memberi bajaran kepada
prajurit itu.
Sebenarnya si perwira sudah mau menerima penyerahan
diri Huru Hara tetapi ketika mendengar kata2 prajurit
anakbuahnya dan kemudian tantangan Huru Hara, diapun
ingin tahu sampai dimana kesaktian pendekar Huru Hara
itu. Dia berpaling kearah prajurit itu dan memberi
anggukan kepala.
Prajurit itu ajukan kudanya dan terus mengemplangkan
tombaknya kepada Huru Hara. Huru Hara menghindar dan
menyambar ujung tombak lalu ditariknya, huh.....prajurit
Ceng yang bertubuh tinggi besar itupun terpelanting jatuh
dari kudanya.
"Nih tombakmu," seru Huru Hara seraya lemparkan
tombak yang direbutnya kepada prajurit itu.
Malu prajurit itu bukan alang kepalang. Dalam satu
gebrak saja dia sudah rubuh. Maka setelah menyambuti
tombak, dia hendak menebus kekalahannya. Serentak ia
menyerang Huru Hara dengan buas.
Uh .... prajurit itu menjerit kaget ketika tiba2 Huru Hara
menghilang dari hadapannya dan auhhhhh .... ia menjerit
kesakitan ketika telinganya dijiwir sekeras-kerasnya.
"Bangsat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!”
prajurit itu berputar dan terus menusuk tetapi sasarannya
menghilang pula dan kalau tadi telinga kiri sekarang telinga
kanannya yang dipelintir sekeras-kerasnya. Karena tahu
siapa yang memelintir, prajurit itupun berusaha untuk
menahan sakit dan tak mau menjerit. Hanya wajahnya yang
menyeringai seperti harimau tertawa.
Bukan kapok karena mendapat kopi pahit itu,
kebalikannya prajurit itu malah makin kalap. Dia
menyerang Huru Hara dengan kalap.
Rupanya Huru Hara jengkel juga. Setelelah menyelinap
ke belakang orang, dia terus menerkam prajurit itu,
diangkatnya dan terus dilemparkan kearah kawannya,
“Terima kawanmu yang bandel ini!" seru Huru Hara.
Untung tubuh prajurit itu dapat disambut oleh seorang
prajurit berkuda lainnya.
Melihat kesaktian pendekar yang dandanannya nyentrik
itu, terlongonglah rombongan pasukan berkuda Ceng itu.
"Engkau menyerah atau tidak!” bentak perwira mereka.
"Siapa bilang tak mau menyerah;"' Huru Hara balas
membentak.
"Ikat kedua pemberontak ini!" seru perwira itu pula
kepada anakbuahnya.
"Hai. prajurit Ceng, jangan keliwat menghina," teriak
Huru Hara, "aku rela menyerahkan diri, mengapa masih
hendak kalian borgol. Tidak, kalau kalian mau memborgol,
aku takkan serahkan diri. Bawalah kami ke hadapan
jenderalmu!"
Rupanya perwira itu menyadari bahwa Huru Hara dan
Cian-li-ji memang sakti. Kalau di-siksa akan diborgol,
mereka tentu akan mengamuk. Memang mungkin pasukan
berkuda yang berjumlah limapuluh orang itu dapat
membunuh mereka, tetapi ia yakin anakbuahnya tentu juga
banyak yarg korban jiwa. Daripada harus mengorbankan
jiwa anakbuahnya, lebih baik kedua orang ini dihadapkan
saja kepada panglima mereka supaya dijatuhi hukuman,
pikir perwira itu.
"Baik, tetapi kalau engkau coba hendak melarikan diri,
aku tak dapat menjamin keselamatan jiwamu lagi," seru
perwira itu.
Begitulah dengan diiring. oleh pasukan berkuda yang
bersenjata lengkap, Huru Hara dan Cian-li-ji dibawa masuk
kedalam kota Sam-kwan. Kemudian langsung dibawa ke
markas tentara Ceng yang menempati gedung residen tihu
kota itu.
Sepanjang jalan Huru Hara sempat memperhatikan
bagaimana sepi jalan2 dalam kota sehingga kota itu mirip
sebuah kota mati.
Dengan diantar oleh perwira itu sendiri maka Huru Hara
dan Cian-li-ji dibawa masuk menghadap pimpinan pasukan
pendudukan kota Sam kwan. Dia seorang Boan yang
bertubuh kekar, berpangkat Sangkau atau kolonel, namanya
Totay.
"Lapor, ketika mengejar rakyat yang melarikan diri, kami
berjumpa dengan kedua orang Han ini. Mereka tahu
kemana rombongan rakyat itu tetapi tak mau memberitahu
kepada kami. Bahkan malah menantang berkelahi pada
salah seorang anakbuah kami," seru perwira itu sambil
memberi hormat.
Kolonel Totay heran melihat perwujudan kedua tawanan
yang dibawa kehadapannya itu. Yang satu seorang kakek
pendek dan yang satu seorang pemuda yang memakai kain
kepala tetapi dua buah kuncirnya mencuat keluar seperti
sepasang tanduk.
"Hai, siapa engkau!" tegur Totay.
"Huru Hara."
"Huru Hara? Apa itu?"
"Loan Thian Te."
"Loan Thian Te?" ulang Totay pula. Melihat itu Kho tihu
yang menyerahkan kota Sim kwan kepada tentara Ceng
dan saat itu duduk samping Totay segera memberi
penjelasan hal Loan Thian Te nama pendekar aneh itu
artinya adalah Huru Hara.
"Dan engkau kakek pendek?" tegur Totay.
“Cian-li-ji."
"Cian-li-ji? Apa itu?" kembali Totay heran. Kho ti-hu
segera menerangkan bahwa Cian-li-ji itu berarti Telingaseribu-
Ii.
"Apa engkau dapat mendengar sampai sejauh seribu li?"
Totay makin heran.
"Jangankan seribu li, bahkan detak jantungmupun aku
dapat mendengar."
"Hm, akan kucoba," kata Totay, "coba engkau katakan
apa yang sedang kuucapkan dalam hati."
"Mudah sekali," sahut Cian-li-ji, "tetapi aku tak mau
mengatakan."
"Mengapa?"
"Perlu apa mengatakan kalau tanpa imbalan suatu apa?"
"Edan barangkali kakek ini. Tawanan masakan
menuntut imbalan," pikir Totay. Tetapi karena yakin kakek
itu tentu tak mampu menebak isi hatinya maka dia
menyetujui, "Baik, kuberi kelonggaran engkau mau minta
apa saja?"
"Nah, begitu baru cara yang layak," gumam Cian-li-ji,
"aku minta supaya diadakan perjamuan besar untuk
merayakan kemenangan tentara Ceng yang berhasil
menduduki kota ini. Nanti kita adu minum arak. Siapa
yang paling banyak minum, dia yang menang dan dapat
imbalan lagi."
Karena sejak menduduki kota itu Totay belum sempat
mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan dan
menghibur para prajurit maka permintaan Cian-li ji itupun
disetujuinya.
"Ya, baik," katanya, "sekarang lekaslah engkau katakan!"
"Apa yang engkau ucapkan dalam hati," kata Cian-li-ji
dengan nada seperti seorang pujangga "tak lain adalah
begini : ‘tak mungkin kakek itu tahu batinku.”
Totay terkesiap. Memang begitulah yang dikandung
dalam hatinya. Dia tak percaya kalau Cian-li-ji tahu isi
hatinya.
Totay seorang jujur. Kebetulan dia suka dengan orang
yang pandai, terutama apabila orang itu memiliki ilmusilat
tinggi. Dengan sportief, dia membenarkan tebakan Cian-liji.
"Kapan pesta itu akan diadakan?" tanya Cian-li-ji."
"Nanti malam."
Mendengar itu beberapa perwira Ceng yang hadir dalam
ruangan itu bersorak gembira. Diam2 mereka berterima
kasih kepada kakek Cian-li-ji.
Kemudian Totay beralih kepada Huru Hara tanyanya,
"Engkau memakai nama Huru Hara, tentu ada maksudnya,
bukan?"
"Ya."
"Katakan apa maksudnya?'"
"Loan Thian Te artinya ' mengacau dunia ' atau ' dunia
kacau ' . Sesuatu yang kacau tentu timbul huru hara. Nah,
akulah seorang pemburu dan pencipta huru hara.
Kegemaranku memang menikmati huru hara."
"Hm, garang juga," desus Totay, "tetapi berdasarkan
modal apa engkau berani mengangkat diri sebagai pemburu
dan pencipta huru hara itu?"
"Modalku hanya satu : Kebenaran!"
"Kebenaran?" Totay mendecak mulut, "pada hal
kebenaran itu sukar ditentukan. Masing2 mengaku benar."
"Tidak," seru Hara, "memang kebenaran itu banyak
jumlahnya, tetapi kebenaran yang semu. Sedang Kebenaran
yang sejati hanyalah satu."
"Lho, seperti pujangga sajalah engkau mengeluarkan
kata2," seru Totay, "coba katakan bagaimana kebenaran
yang sejati itu?"
"Mudah," sahut Huru Hara, "semudah orang
membalikkan telapak tangannya. Tetapi orang memang
gemar mempersukar, gemar merangkai falsafah yang
muluk? sehingga mengaburkan pengertian yang
sesungguhnya dari apa yang hendak diterangkan."
"Ah, rupanya engkau ahli falsafah."
"Sebenarnya falsafah itu sudah ada pada saat Thian
mencipta Bumi dan Langit. Setua kehidupan itu sendiri
karena falsafah itu tak lain adalah cara dan pandangan
hidup."
"Hm, tak nyana seorang nyentrik dapat menguraikan
tentang falsafah," diam2 Totay membatin.
"Kalau begitu, setiap manusia itu mengerti falsafah?"
tanyanya.
"Soal mengerti atau tidak, itu tergantung pada masing2
orang. Tetapi yang jelas, setiap manusia, sejak lahir sudah
mempunyai falsafah
"Sejak lahir? Apa buktinya?"
"Waktu dilahirkan, bayi tentu menangis, sudah
merupakan falsafah hidupnya bahwa tentu akan
menghadapi berbagai derita dalam hidup ini. Pernahkah
engkau melihat bayi lahir tak menangis tetapi tertawa?"
"Pernah!" tiba2 kakek Cian-li-ji berteriak Huru Hara dan
Totay terkejut dan memandang kakek pendek itu, "Siapa
bayi itu?" tanya Totay heran.
"Aku sendiri," kata Cian-li-ji.
"Lho, bagaimana engkau tahu?"
"Ibu bapaku yang kasih tahu."'
"Mengapa engkau tertawa?"
"Katanya, waktu aku lahir, aku kalung usus. Tetapi
selain melilit leher, ujung usus itu menyusup kedalam
ketiakku sehingga karena geli aku terus tertawa-tawa saja . .
. . "
"Celaka," Totay mengeluh dalam hati,” edan ini dia atau
aku? Sudah jelas dia seorang kakek limbung mengapa aku
mengajukan pertanyaan kepadanya . . . . "
"Loan Thian Te, coba engkau terangkan bagaimana
Kebenaran yang sejati itu?" ia cepat beralih kepada Huru
Hara lagi.
"Jika engkau berbuat sesuatu engkau merasa jengah,
malu dan tak enak dalam hati, itu tandanya perbuatanmu
itu tak benar. Kebalikannya kalau engkau merasa bahagia
dan damai dalam hati, itu tandanya perbuatanmu itu
benar," kata Huru Hara.
"Tetapi banyak orang yang mengaku bahwa yang
dilakukannya itu benar," kata Totay.
"Ah, itu hanya soal gengsi atau kepentingan. Tetapi
cobalah suruh dia tanya pada hati nuraninya, tentulah lain
jawabannya. Misalnya tentara kerajaan Ceng yang
menyerang negara kerajaan Beng ini. Dengan segala dalih
alasan, orang Ceng tentu mengatakan benar. Tetapi cobalah
heningkan pikiran menyelam kedalam lubuk hati
nuraninya. Apakah bahagia dan enak hati kalau merampas
tanah orang itu?"
"Kerajaan Beng sudah lapuk. Mentii2 korup dan
jenderal2 tak becus saling cakar-cakaran berebut daerah.
Tidakkah sesuatu yang sudah busuk itu harus diganti
dengan yang baru?" Totay melontarkan pertanyaan tajam.
"Itu dalih bangsamu tetapi bagi bangsa Han tentu lain
rasanya. Kalau memang sudah sedemikian bobrok
pemerintahan Beng, seharusnyalah kalau diganti, yang
mengganti dan memperbaiki adalah rakyat Han sendiri."
"Nyatanya tak seorangpun dari bangsamu yang berani
bergerak untuk menumbangkan pemerintahan raja Beng
oleh karena itu terpaksa kami, bangsa Boan, bertindak."
"Jika tak ada orang maka aku yang akan tampil untuk
merombak pemerintahan kerajaan Beng itu, asal pasukan
Ceng segera angkat kaki dari negara ini."
"Engkau?"
"Ya. Buktikan sendiri, kalau kalian sudah pergi dari
bumi ini, aku tentu akan mengajak kaum pendekar yang
cinta tanah-air untuk bergerak menangkap kaurn mentri
dorna dan jenderal bebodoran itu. Kalau aku tak menetapi
janjiku ini potonglah leherku!"
Totay terkesiap. Dia seorang jago yang berani, gagah dan
menjunjung kesetiaan terhadap negara. Dia senang melihat
seorang yang mempunyai sikap dan pambek seperti dia,
walaupun orang seorang musuh.
Sebaliknya Kho tihu merah mukanya. Serentak dia
berseru, “To ciangkun, Iebih baik tak usah meladeni orang
semacam dia. Dia jelas seorang pemberontak yang hendak
menentang kekuasaan kerajaan Ceng. Lebih baik hukum
mati saja !"
'Hi, ha, ha," Huru Hara tenawa gelak2, "aneh; aneh,
sungguh aneh."
"Kenapa ?" tegur Totay. - "Baru kali ini aku tahu," seru
Huru Hara,' "bahwa seorang budak berani memberi
perintah kepada majikannya."
Bukan main marah Kho tihu dimaki sebagai budak.
Serentak dia berbangkit dan menuding Huru Hara,
"Bangsat, engkau berani menghina seorang pembesar!"
"Pembesar ?" ejek Huru Hara, "di mata rakyat Han,
engkau bukan pembesar tetapi seorang penghianat. Dalam
anggapan orang Ceng, engkau juga bukan pembesar tetapi
seorang budak. Salahkah kalau aku mengatakan begitu ?"
"Jahanam, kupotong lehermu!" Kho Tihu serentak
mencabut pedang hendak maju menghampiri Huru Hara.
Tetapi dibentak Totay, "Jangan bergerak, duduklah !"
Kho tihu tertegun. Ia hendak membantah tetapi Totay
sudah berkata kepada Huru Hara, "Engkau seorang jantan
yang berani. Bangsa Ceng menghargai seorang yang gagah
berani. Untuk melengkapi penghargaanku, engkau akan
kucoba !"
Totay bertepuk tangan dan tampillah seorang lelaki
tinggi besar, tangan dan dadanya penuh bulu yang lebat.
'Loan Thian Te, cobalah engkau ciptakan gara2 dengan
pengawalku Kolok ini," seru Totay.
Kakek Gan-li-ji hendak maju tetapi dicegah Huru Hara,
"Biar aku yang menghadapinya," bisik Huru Hara.
Huru Hara tak tahu si tinggi besar Kolok hendak
mengajaknya berkelahi dengan cara apa. Tahu2 tangan
Kolok yang besar sudah mencengkeram tengkuk dan tahu2
pula dia sudah diangkat keatas, diputar-putar lalu dilempar
oleh Kolok.
“Uhhhhh.....” Huru Hara bergeliatan dan berusaha agar
jangan sampai jatuh terbanting ke lantai. Walaupun agak
terhuyung-huyung namun dia berhasil menginjakkan
kakinya ke lantai waktu melayang turun.
Terdengar sorak tertawa dari Kho tihu dan beberapa
perwira yang berada dalam ruangan itu. Hanya Totay yang
kerutkan kening. Diam2 ia kejut melihat kepandaian Huru
Hara. Ia tahu bagaimana kekuatan Kolok. Kolok dapat
seekor kerbau dan melemparkan sampai beberapa tombak
jauhnya. Manusia bertubuh kecil seperti Huru Hara, tentu
akan lebih jauh lagi jaraknya dan tentu akan terbanting,
kalau tidak remuk tulangnya paling tidak tentu pingsan.
Huru Hara maju menghampiri ke muka Kolok lagi dan
menantang, "Hayo, lemparkan lagi, raksasa !'
Kolok deliki mata karena disebut raksasa itu.
.Melangkah maju dan segera merentang, kedua lengan
hendak mengangkat tetapi tiba2 dia meraung dan menyurut
mundur, "Aduhhhhh !"
Sekalian orang terkejut dan memandang apa yang terjadi
pada raksasa itu, Kolok menunduk dan mengusap-usap
dadanya. Astaga... ternyata dada Kolok yang penuh bulu
itu sekarang sudah bersih dan berwarna merah karena
berlumur bintik2 darah
Kini orang tahu apa yang terjadi. Bulu dada Kolok telah
dicabut habis oleh Huru Hara. Orang hanya tertawa geli
tetapi tidak demikian dengan Totay. Selain geli juga diam2
dia terkejut akan kepandaian Huru Hara yang dalam waktu
sekejap dapat mencabut habis bulu dada Kolok.
Kolok marah. Dia terus lari menghampiri Huru Hara,
menyambar tubuhnya dan lalu diangkat dan diputar putar
untuk dilemparkan.
Orang2, terutama Kho tihu sudah siap bersorak untuk
menyambut adegan Huru Hara terbanting di lantai. Tetapi
mereka terbelalak karena sampai beberapa waktu Kolok
tidak juga melemparkan Huru Hara, melainkan masih tetap
diputar putar saja.
"Lempar saja ! Lempar -saja !" terdengar suara orang
berteriak-teriak menganjurkan. Tetapi entah bagaimana
Kolok tetap memutar-mutar saja. Wajahnya mengerut
seperti orang yang tengah mengangkat gunung.
Rupanya Totay memperhatikan hal itu. Dia heran juga.
Apa yang menyebabkan Kolok tak dapat melemparkan
tubuh Huru Hara yang sedang diputarnya itu ?
"Hian-tit, awas !" teiiak Cian-li-ji yang kuatir.
"Tak apa, paman."
"Bagaimana engkau rasakan ?"
“Seperti terbang melayang-layang di angkasa paman."
''Wah, enak kalau begitu ?"
"Lumayaaannnnn."
"Hian-tit, mengapa dada si raksasa menjadi gundul ?"
teriak Cian-li ji pula.
"Pindah tempat."
"Eh, bulu dada bisa pindah tempat?"
"Ya."
"Pindah kemana ?"
"Ke mukanya....." sahut Huru Hara.
Dan ketika Cian-li-ji memandang Kolok, dia terus
tertawa keras, "Benar, benar, aha, sekarang dia berobah
menjadi kera raksasa."
Sekalian orangpun segera memandang kearah Kolok.
Mereka terkejut ketika melihat wajah Kolok penuh
bertumbuh bulu rambut. Apa yang dikatakan Cian-li-ji
memang tepat. Kolok tampak seperti seekor kera raksasa.
Lebih terkejut pula ketika mereka melihat kaki Kolok
mulai melekuk dan tubuhnya makin lama makin turun ke
bawah sampai akhirnya berjongkok. Dia sudah tidak dapat
memutar-mutar tubuh Huru Hara lagi melainkan hanya
mengangkat diatas kepalanya.
"Huakkkkk," pada lain kejab raksasa Kolok menggembor
dan muntahkan segumpal darah. Tangannya lunglai dan
Huru Harapun melenting berdiri.
"Paman, kasih minum anggurmu!" seru Huru Hara
ketika melihat keadaan Kolok.
Cian-li-ji lari menghampiri. Saat itu Kolok berjongkok
diam. Tanpa ditanya lagi, Cian-li-ji terus mencengkam
mulut Kolok sehingga ternganga lalu dituang dengan arak
dalam guci yang diambil dari dalam bajunya.
"Sudah, jangan engkau habiskan. Enak saja engkau,"
gerutu Cian-li-ji seraya lepaskan cengkeraman mulut Kolok,
"kalau bukan keponakanku yang menyuruh, sekalipun
engkau berlutut dihadapanku, tak nanti kuberimu minum
arakku yang istimewa ini."
Beberapa saat kemudian Kolok dapat berdiri. Dia
memang kasar tetapi jujur. Dia menghampiri Huru Hara,
"Terima kasih atas kebaikan hohan yang memberi arak
obat."
*Salah," seru Huru Hara, "bukan aku tetapi pamanku itu
yang punya arak."
"Terima kasih, kakek," kata Kolok-
"Kakek? Kapan aku menikah dengan nenekmu?"
lengking Cian-li-ji.
Mendengar itu Kolok terlongong tetapi semua orang
tertawa.
"Kolok," tiba2 Totay berseru, "apa yang terjadi
padamu?"
"Entah bagaimana tiba2 kurasakan tanganku melekat
pada tubuh pemuda itu. Berulang kali hendak kulemparkan
tetapi tak dapat. Dan celakanya makin lama tubuhnya
makin berat sehingga aku tak kuat bertahan lagi," kata si
raksasa yang jujur.
Totay geleng2 kepala, "Ini suatu pelajaran agar apabila
menghadapi lawan, jangan mengabaikan kekuatan lawan.
Dan kalau berkelahi, jangan hanya pakai kekuatan tenaga
tetapi juga harus memakai otak, mengerti?"
Kolok mengiakan. Dan Totay suruh dia mundur
kemudian berkata kepada Huru Hara, "Engkau memang
hebat sekali, Loan Thian Te. Sekarang engkau boleh
beristirahat dulu bersama pamanmu.”
"Eh, apakah engkau tak mau membebaskan kami?" Cianli-
ji melengking lagi.
"Apa engkau sudah lupa, kakek linglung?” balas Totay.
'"Lupa apa?' Cian- li-ji melongo.
"Bukankah engkau minta dipestakan?-—Nah, nanti
malam engkau boleh hadir dalam pesta yang akan
kuadakan."
"Bagus, bagus," teriak Cian-li-ji, "pesta selain dapat
menambah gairah, pun dapat menjadi jembatan
persahabatan. Coba saja, kalau engkau mengadakan pesta
setiap malam, bukankah engkau akan mendapatkan banyak
sahabat?"
"Benar," sambut Totay, "memang aku akan mendapat
banyak sahabat tetapi aku kehilangan seorang sahabat yang
paling baik di dunia."
"Siapa?"
"Sahabatku yang bernama si fulus."
"Aduh mati aku," setu Cian-li-ji, "itulah jahatnya fulus.
Dia akan menjadikan setiap orang, entah bangsa apa saja,
menjadi budaknya. Tetapi ingat, jangan engkau mau
menjadi budak uang tetapi jadilah tuannya."
"Bagaimana maksudmu?"
"Jika terlalu menyembah uang, memuja si fulus, kita
tentu menjadi budaknya. Tetapi kalau kita dapat
mempergunakan menurut kehendak hati ini, kita menjadi
tuannya. Seperti aku, inilah contohnya. Coba kalian
geledah badanku, aku tentu tidak punya uang, Mengapa?
Karena aku tak mau jadi budak uang."
"Lho, lalu bagaimana engkau akan hidup?"
"Tentu saja hidup," sahut Cian-li-ji, "aku bisa makan di
rumahmakan, minum arak dan mendapatkan apa yang
kukehendaki walaupun aku tak punya uang."
"Mencuri atau merampok?"
"Tidak!" teriak Cian-li-ji, "mereka senang memberikan
kepadaku. Kalau perlu aku jual tenagaku kepada mereka."
"Sudahlah, silakan kalian beristirahat," kata Totay lalu
menyuruh seorang prajurit untuk mengantarkan pendekar
Huru Hara dan kakek Cian-li-j ji ke ruang yang disediakan
untuk tetamu."
"Paman," kata Huru Hara setelah berada berdua dengan
Cian-li-ji, "kita harus hati2 dalam perjamuan nanti."
"Hati2 bagaimana?"
"Jangan sembarangan makan dan minum sebelum yakin
makanan atau minuman itu tak mengandung racun atau
bius."
"O .... “
-oodwoo-
Jilid 12
Kakek Cian-li-ji agak terkejut mendengar pesan Huru
Hara, "Engkau curiga mereka akan meracuni kita ?"
"Mereka adalah orang Ceng, kita tak boleh terlalu
percaya," jawab Huru Hara.
"Tetapi bukankah mereka sendiri yang mengundang kita
menghadiri pesta ?"
"Ya, tetapi bukankah mudah saja untuk mencampuri
obat racun atau bius dalam hidangan dan minuman kita ?"
"Apakah mereka hendak menangkap kita ? Perlu apa?"
"Mereka tentu sudah mendapat kesan bahwa kita ini
rakyat Han yang tak senang pada kerajaang Ceng".
"Senang tak senang, terserah kepada mereka karena kita
memang tak perlu harus menyenangkan hati mereka."
"Ya," sahut Huru Hara, "oleh karena itu maka perlulah
kita berhati-hati dalam pesta itu."
"Lalu bagaimana cara kita mengetahui makanan atau
minuman ttu mengandung racun atau tidak ?"
"Rasanya tentu berbeda. Aku dapat mengenyam dengan
lidahku."
"Kalau begitu engkau harus memberitahu kepadaku
setiap engkau tahu makanan atau minuman itu baracun."
"Baik," Huru Hara berhenti sejenak," tetapi kurang
leluasa kalau kukatakan didepan orang. Mereka tentu
mendengar."
"Ya, benar, lalu bagaimana caranya ?"
"Begini saja." kata Huru Hara, "kalau aku mengetahui
makanan atau minuman itu beracun, aku akan berbatukbatuk.
Tetapi kalau aku diam saja berarti minuman dan
makanan itu tidak mengandung suatu apa."
"Benar," seru Cian-li-ji gembira," aku juga akan memberi
isyarat batuk2 apabila kurasakan makanan atau minuman
itu mengandung racun.”
Demikian setelah menetapkan cara mereka mengadakan
hubungan, pada malam itu mereka pun diundang oleh
seorang prajurit supaya menghadiri perjamuan yang
diadakan di ruang besar. To tay, perwira2 Ceng. Kho tihu
dan pembesar2 kota Sam Kwan hadir dalam meja
perjamuan. Sedang di ruang luar pun disiapkan berpuluh
meja hidangan untuk .para prajurit.
Melihat kehadiran Huru Hara bersama kakek Cian- li- ji,
diam2 para prajurit itu heran mengapa pimpinan mereka,
kolonel Totay, begitu menaruh perhargaan teihadap kedua
orang itu. Bahkan perwira yang memimpin pasukan
berkuda siang tadi, tak habis herannya. Bukankah Huru
Hara dan kakek itu jelas berskap menentang kepada tentara
Ceng ? Mengapa Totay masih memperlakukannya sebagai
tetamu terhormat.?
Namun bagi kakek Cian-li-ji, mata para hadirin yang
memandangnya dengan keheranan itu, tak diacuhkan sama
sekali. Dia tampak gembira sekali seperti menghadapi
perjamuan biasa.
Kho tihu bertindak sebagai tuanrumah. Dia sibuk
menuangkan arak ke cawan para pembesar Ceng, “Silahkan
anda menikmati arak simpanan kami yang istimewa," kata
tihu itu kepada Huru Hara dan Cian-li-ji.
Huru Hara dan Cian-li-ji segera menepuk cawannya,
"Ah, arak begini engkau bilang rstimewa. Kurang keras, aku
minta yang lebih keras lagi dari ini," kata Cian li ji
seenakrya sendiri seperti orang pesan minuman di rumahmakan.
Setelah berulang kali membasahi kerongkongan dengan
arak maka hidanganpun mulai mengalir.
"Tuan2 sekalian, untuk merayakan kemenangan
balatentara Ceng maka malam ini sengaja kudatangkan
rombongan penyanyi cantik dari So-ciu," kata Kho tihu.
Maka beberapa nona cantik segera berhamburan keluar
dan berpencaran ke beberapa ruangan. Yang berada di
ruang besar tempat perjamuan para pembesar, adalah
seorang nona cantik berpakaian kuning muda. Dia
membawa sebuah harpa.
Nona itu memperkenalkan diri dengan nama Lan Lan
dan mengatakan bahwa tak begitu pandai menyanyi maka
apabila terdapat kekurangan harap para tetamu suka
memberi maaf.
Apa yang diduga sekalian orang bahwa nona cantik itu
hanya mengucapkan kata2 merendah, memang benar.
Ternyata suaranya amat merdu dan permainan harpanya
pun tinggi sehingga mempesonakan sekalian hadirin.
Perjamuan berjalan dengan meriah. Silih berganti
hidangan keluar. Terutama arak, tak pernah berhenti.
Takeran minum kakek Cian-li ji memang hebat. Dia
menantang adu minum arak tetapi tak ada seorangpun yang
berani menyambuti.
Beberapa waktu kemudian, Huru Hara yang tajam
hidungnya segera mencium bau yang berlainan pada arak
yang dituangkan Kho tihu. Ia hendak memberi isyarat
tetapi Cian-Ii ji malah tak menghiraukan lagi. Kakek itu
tengah melekatkan pandang matanya kepada si penyanyi
cantik. Rupanya dia terpesona melihat kecantikan nona itu.
Sambil memandang sambil tangannya mengangkat cawan
arak dan diminumnya,
"Ah, mengapa baru sekarang bertemu. Kalau empat
limapuluh tahun yang lalu, engkau tentu menjadi milikku,"
Cian li-ji mengoceh seorang diri.
"Tuan2 sekalian," seru Kho tihu, "ada suatu acara yang
menarik. Nona Lan Lan suka bersenandung membuat
gurindam. Dia akan mengutipkan sebaris kata, barang siapa
yang dapat membuat rangkaian kata untuk mengimbangi
kata-katanya itu, dia akan menghaturkan arak dari So-ciu
kepada tuan."
Permainan itu sebenarnya disebut tui-Iian atau memberi
pasangan dari kata2 yang diucapkan si penari. Misalnya
dalam bahasa Indonesia terdapat sebuah peribahasa
berbunyi ..."dalam laut dapat diduga ....... " — lalu diberi
pasangan yang memberi ulasan arti pada kata2 itu yakni ...
"hati manusia siapa yang tahu ..."
Pengumuman Kho tihu itu segera disambut riuh rendah
oleh hadirin.
"Ah, jangan melulu menghaturkan arak saja,” tiba2
kakek Cian-li-ji mengeluh.
"Habis, suruh apa lagi ?"
"Hi, hi, hi........" kakek itu tertawa mengikik.
"Mengapa tertawa ?"
"Malu ah kalau mengatakan... “
"Kenapa malu ? Bilanglah !"
"Kasih sun ......."
"Sun ? Apa itu sun ?"
"Cipok...."
"Apa cipok itu ?" tanya Kho tihu.
''Engkau memang tihu goblok !" teriak kakek Cian-li-ji,"
masakan sun tidak tahu, ci:pok juga tak mengerti. Apa perlu
kukatakan dengan tlerus terang ?"
"Ya, bilanglah kakek pendek !" teriak beberapa perwira
yang geli melihat tingkah kakek itu.,
Cian-li-ji deliki mata kearah perwira2 Ceng itu lalu
berseru, "Sun atau cipok artinya yalah cium, goblok!"
Gelak tertawa segera memenuhi ruang perjamuan.
Sedang Kho tihu merah mukanya.
"Baik," akhirnya dia kerkata, "tetapi untuk menjaga
jangan sampai terjadi ugal-ugalan seperti tingkah kakek
pendek ini, maka kutetapkan begini. Yang dapat memberi
pasangan kata dengan tepat, boleh mencium. Tetapi kalau
salah diapun akan dihukum. Ditampar muka, atau ditabok
kepalanya, terserah pada nona Lan Lan".
"Setuju ! Akur ! " teriak hadirian.
"Tunggu !". Cian-li-ji melengking, "aku ada usul. Supaya
adil, harus dua kali. Pertama, nona cantik itu yang
mengeluarkan bait kata pertama lalu penantangnya
mengimbangi pasangan bait kedua. Setelah itu dibalik.
Penantangnya yang mengeluarkan bait kedua pasangannya.
Kalau dua kali kalah, baru dihukum. Tetapi kalau duakali
menang, baru diberi ganjaran. Itu baru adil!"
"Benar, benar !" Setuju sekali! "teriak hadirin. Dan Kho
Tihu terpaksa menyetujui.
Lan Lan segera tampil ke tengah ruang, Tuan2, aku yang
bodoh ini memang gemar bermain gurindam seloka.
Silakan tuan2 memberi petunjuk," serunya dengan nada
yang berirama merdu.
Cian-li-ji terus berbangkit tetapi kalah dulu dengan
seorang perwira muda. Perwira itu berwajah tampan.
Rupanya dia bangsa Han.
"Tuankah yang hendak menemani aku bergurindam ?"
tanya Lan Lan dengan lirik mata yang menikam.
“Mati aku," Cian-li-ji menggeram dan bergeliatan di
kursi seperti cacing kepanasan.
"Ah, harap nona jangan mengeluarkan bait yang sukar,"
perwira muda itu tersenyum.
"Curang !" tiba2 Cian-li-ji menuding perwira muda itu,
"dia curang, main kayu. Masakan minta si cantik supaya
mengeluarkan bait yang gampang ? Mana boleh !"
Sekalian orang tertawa. Mereka makin mendapat
gambaran kalau Cian-li-ji itu seorang kakek linglung.
Bukankah perwira muda itu hanya mengucapkan kata2
merendah diri ? Mengapa dituduh hendak main kayu ?
"Maaf, tuan, aku segera mulai," kata si cantik pula. Dan
mulailah ia bersenandung :
Lok hoa yu ih
Bunga gugur mempunyai arti
Maka menyahutlah perwira muda itu :
Lang sim sui ti
Hati manusia siapa yang tahu.
"Bagus, tuan," puji Lan Lan, "sekarang silahkan tuan
yang mengajukan bait pertama.
Ceng jin gan li jut Se-si
Dimata sang pecinta, kekasihnya itu seperti Se-si
tampaknya.
Se Si adalah nama seorang wanita yang masyhur paling
cantik dalam jamannya karena apabila melukiskan
kecantikan seorang wanita lalu dikatakan seperti Se Si.
"Ih, tuan bermain api, "Lan Lan tertawa merayu.
Kemudian dia menyahut :
Hong mo ah thau sip pat pian
Gadis liar selalu berobah hatinya sampai delapan belas kali.
"Bagus nona," seru perwira bangsa Han itu, Maka
bersenandunglah Lan Lan pula ;
Sian jin ho ki
Orang baik mudah dilihat
Dan perwira itu lalu menyambuti :
Sian ma nan ki
Kuda baik sukar dinaiki
Lan Lan tertawa, "Silakan tuan yang mulai." Dan
perwira muda itapun bersenandung:
Jing cui kian te
Air bening tampak dasarnya
Lan Lan tak lekas menyahut melainkan memenung
diam. Sampai beberapa jenak baru dia berkata, "Maaf, tuan
aku tak dapat mengatakan dan pasangannya. Aku
menyerah ......"
Suara tepuk tangan bergema dalam ruang itu Lan Lan
lalu menghaturkan secawan arak wangi kehadapan si
perwira, "Lan Lan mempersembahkan arak wangi kepada
perwira yang gagah dan tampan ......"
"Aduh mak......" Cian-li-ji makin geram.
Tiba2 dia berbangkit dan berteriak, "hayo, lekas mundur,
giliran lain orang !"
Kembali terdengar suara gelak tertawa melihat tingkah
laku kakek pendek itu. Perwira muda, itupun kembali ke
tempat duduknya lagi. Dan kuatir kalau didahului orang
lagi, Cian-li-ji teru lari ke muka Lan Lan,
"Nona manis," katanya, "dekat dengan engkau, aku
merasa muda kembali. Dulu aku gemar juga merangkai
syair, menggubah gurindam. Silahkan nona mengeluarkan
kepandaian nona tetapi jangan yang sukar lho......."
"Curang ! Curang !" teriak beberapa perwira" Mereka
hendak membalaskan kawannya si perwira muda tadi
karena dituduh curang oleh Cian-li-ji. "Hai, kakek pendek,
engkau menuduh perwira tadi curang, sekarang engkau
sendiri juga curang, sekarang engkau sendiri juga curang !"
teriak mereka.
''Betul, kalian betul!" sahut Cian-li-ji lalu berpaling
kearah Lan Lan, '"maaf, nona, aku tak bermaksud hendak
meminta nona mengeluarkan bait yang gampang. Tidak,
silakan saja nona hendak mengeluarkan bait apa saja !"
Lan Lan tertawa geli melihat ulah kakek itu.
Jin lo bu leng
Orang yang tua tidak mampu apa-apa lagi
"Ai, jangan menghina dong, manis," seru kakek Cian-li-ji
karena terkejut begitu membuka mulut, Lan Lan terus
menyerangnya.
"Ah, tidak," Lan Lan tertawa, "itu kan hanya bait syair.
Silakan mengatakan pasangannya."
"Baik," sahut Cian-li-ji lalu berkata:
Jin lo sim put lo
Orangnya tua, tetapi hatinya tidak ikut tua.
Gelak tawa segera menggemuruh dalam ruang. Bahkan
ada yang berseru, "Ya, itu namanya, tua-tua keladi, makin
tua makin menjadi-jadi.
"Orang tua keranjingan namanya!" seru yang lain pula.
"Maaf," tiba2 Lan Lan tertawa, "bukan begitu pasangan
bait itu."
"Hah? Tetapi bukankah nona melukiskan tentang
keadaan orang tua?" tanya Cian-li-ji
"Ya, tetapi jangan dijawab menurut kehendak tuan
sendiri. Karena setiap syair itu sudah mempunyai pasangan
tertentu."
"Mati aku," Cian-li-ji mengeluh, "lalu bagaimana
pasangannya yang benar?"
"Begini seharusnya : Jiu lo bu leng. Artinya pohon yang
tua sudah tak punya sari”.
"Ah, belum tentu," bantah G.an-Ji-ji, "apakah semua
pohon kalau sudah tua tentu lapuk? Buktinya, keladi itu
makin tua kan makin menjadi-jadi suburnya."
"Ya, itu kan keladi. Tetapi ini syair yang di dasarkan
pada umumnya, bukan hanya satu jenis seperti keladi," kata
Lin Lan.
"Kalau begitu, aku dianggap kalah nih?"
"Kalau engkau mau mengakui, engkau seorang lelaki
jantan. Tetapi kalau tidak, berarti engkau banci!"
"Tidak, tidak! Aku tak suka jadi orang banci!" seru Cianli
j i, "ya, baiklah, aku mengaku kalah. Sekarang giliranku
yang mengeluarkan bait pertama :
Jin lay thoh jin
Orang datang mencari jodoh.
Merah muka Lan Lan, serunya, "Ah, ngawur. Masakan
ada syair begitu!"
"Ada saja," lengking Cian-li-ji, kaiau tak ada, masakan
aku mengada-ada. Bagaimana, engkau menyerah tidak?"
Setelah beberapa saat memikir belum juga menemukan
pasangannya akhirnya Lan Lan menyatakan menyerah.
"Ah, mudah saja," kata C an-li-ji dengan bangga,
"begini…..
Niau lay tho'i lim
Burung datang masuk ke hutan.
'"Ya," kata Lan Lan, "sekarang aku akan mengucapkan
bait pertama lagi :
Lo put ki lee
Sudah tua tak kenal aturan
"Lho, mengapa engkau terus menerus menyerang
orangtua saja?" teriak Cian-li-ji, "apa kalau orang sudah tua
itu tentu jelek? Ingat nona manis, engkau sendiri kelak juga
akan tua seperti aku, lho ....... "
"Hi, hi, hi," Lan Lan tertawa mengikik, "bukan aku
hendak menyerang tuan. Tetapi syair macam begitu
memang ada. Silakan saja tuan membuat pasangannya."
"Ah, mudah saja, dengarlah :
Ping put ki thi
Penyakit tak pandang orang.
"Salah! Salah!" tiba2 terdengar perwira muda yang maju
pertama kali tadi berseru.
"Lho, apanya yang salah?" Cian-li-ji merentang mata
lebar2.
"Salah caranya!"
"Salah caranya apa?"
“Tadi setelah aku dapat mengucapkan pasangan bait
pertama dari nona itu maka dalam babak kedua, aku yang
mengucapkan bait pertama dan nona itu yang memberi
pasangannya. Tetapi mengapa dalam babak kedua, tetap
nona itu yang mengucapkan bait pertama? Salah!"
"Apakah benar begitu, nona?" tanya Cian-li-ji/
Lan Lan mengangguk.
"Matiiiik," Cian-li-ji menampar, mukanya, *'jadi yang
kedua tadi batal kalau begitu?"
"Ya, karena tidak menurut peraturan."
Cian-li-ji menghunjamkan kakinya ke lantai berulangulang,
"sialan ....... "
"Sekarang silakan tuan mengeluarkan bait pertama itu,"
kata Lan Lan.
"Bait syairku ini merupakan suatu pertanyaan. Mungkin
dalam kamus syair-pasangan tidak ada tetapi di kalangan
masyarakat hal itu ada Dengarkanlah :
Dari mana datangnya lintah?
"Ah, apa itu? Itu kan bukan syair, mana aku tahu?" seru
Lan Lan.
"Kampungan! Kampungan!" teriak beberapa orang.
"Bukan syair, asal dapat memberi pasangannya, ya
boleh. Kalau tak dapat, ya harus kalah jawab Cian-li-ji lalu
berpaling seraya mengacungkan tinju kearah orang2 yang
berteriak tadi, "Kampungan atau bukan, pokoknya menang!
Iri, ya?”
Hadirin menjawab dengan gelak tawa.
"Bagaimana nona?" kata Cian-li-ji, "dapat memberi
pasangannya atau tidak?''
Setelah merenung beberapa jenak, Lan Lan mengangguk,
"Baiklah, aku menyerah. Tetapi karena syair yang engkau
katakan itu memang tidak termasuk kumpulan syair yang
umum, maka aku-pun hanya menghadiahkan arak wangi
saja kepadamu."
"Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji, "peraturan dari Kho tihu
tadi sudah menyebut bahwa yang menang boleh
mengajukan permintaan apa saja kepadamu. Sekarang aku
menghendaki hadiah yang kedua."
"Apa itu ?" tanya Lan Lan.
"Hadiah kesatu adalah hidangan arak. Dan hadiah kedua
yalah .... ih, malu ......."
"Kakek tak tahu diri, masakan mau minta cium kepada
nona yang cantik !" teriak beberapa orang.
Merah muka Lan Lan mendengar seruan itu. Namun dia
tertawa, '"Begini sajalah. Pertama, akan kuhidangkan arak
wangi. Setelah itu aku akan memperdengarkan sebuah
nyanyian untukmu dan yung ketiga baru meluluskan
permintaanmu yang kedua tadi, bagaimana ?"
"Setuju !" seru Cian li-ji.
Lan Lan terus menuang arak kedalam sebuah cawan dan
dengan kedua tangan dihaturkan ke hadapan Cian-li-ji,
"Tuan, kupersembahkan arak wangi kepadamu. Semoga
engkau dapat melayang2 ke alam impian yang indah....."
Tanpa banyak bicara, Cian-li-ji menyambuti dan terus
meminumnya habis, "Apa hanya secawan saja ?"
"Oh, apa tuan menghendaki lagi?" Lan Lan pun
menuang secawan lagi. Berturut-turut Cian-j li-ji telah
minum sampai lima cawan.
Kemudian Lan Lanpun mendendangkan sebuah lagu
yang merdu. Lagu yang kuasa mencengkam hati sekalian
orang.
Belum nyanyian itu selesai tiba2 Cian-li-ji rubuh. Lan
Lan menjerit kaget dan Huru Hara pun segera lari
menghampiri. "Paman, kenapa engkau ?" serunya seraya
mengangkat tubuh kakek itu.
"Auh .... tidak apa2, aku ngantuk sekali ingin tidur ..... ,"
Cian-li-ji menguap.
Huru Hara heran. Pada hal jelas dilihatnya bagaimana
beberapa jenak yang lalu kakek itu masih bergairah sekali
adu syair dengan penyanji Lan Lan. Sekarang mengapa dia
begitu lemas dan ingin tidur?
"Hai penyanyi, bawa kemari poci arak itu bentaknya
kepada Lan Lan.
Lan Lan gemetar. Dia memberikan poci arak kepada
Hulu Hara. Huru Hara mencium sisa arak yang masih
terdapat dalam dipoci itu tetapi dia tidak merasakan suatu
bau yang mencurigakan.
"Engkau apakan pamanku ini ?" bentaknya kepada Lan
Lan.
"Tidak apa2, tuan," kata Lan Lan ketakutan, "aku hanya
menghidangkan arak wangi, kemungkinan paman tuan itu
mabuk."
Karena tak mendapatkan sesuatu gejala yang
membahayakan jiwa Cian-li-ji, Huru Hara menganggap
kata2 Lan Lan itu benar. Huru Hara segera membawa
Cian-li-ji beristirahat kedalam kamarnya. Setelah itu dia
kembali ke ruang perjamuan lagi.
Perjamuan dilanjutkan sampai jauh malam. Para perwira
banyak yang mabuk. Juga prajurit prajurit yang berada di
luar ruang, banyak yang mabuk dan menggeletak. Mereka
makan dan minum sepuas-puasnya bahkan melebihi
takeran sehingga tertidur di ruang perjamuan.
Sekonyong-konyong terdengar suara ribut2 di ruang
belakang. Seorang pelayan bergegas menghadap Kho tihu,
"Tihu, di bagian belakang gedung timbul kebakaran !"
"Siapa yang menyebabkan kebakaran itu ?" Kho tihu
terkejut.
"Entah, tihu," jawab pelayan itu, "kami semua sudah
tertidur tahu2 gudang dan kandang kuda terbakar, Rupanya
ada orang yang membakar!"
Belum sempat Kho tihu memberi perintah, prajurit
penjaga pintu kota masuk menghadap, “Lapor ciangkun,"
kata mereka kepada Totay, “pintu kota telah bobol diserang
pasukan musuh!"
'"Celaka!" Totay melonjak bangun, "lekas siapkan
pasukan untuk menggempur mereka. Tetapi para perwira
dan prajurit2 yang berada dalam ruang perjamuan itu sama
tidur melentuk.
"Arak apa yang engkau hidangkan, tihu ?"
"Arak wangi biasa, ciangkun," Kho tihu gemetar,
"mungkin mereka minum kelewat batas hingga sampai
mabuk."
"Lekas suruh orang ambil air dingin dan guyurkan pada
perwira dan prajurit2 yang tertidur itu," perintah Totay.
Perwira2 dan prajurit2 itu gelagapan waktu disiram
dengan air dingin. Rasa mabuk mereka memang sudah
berkurang tetapi masih belum hilang sama sekali.
"Lekas bersiap menyambut serangan musuh!” teriak
Totay.
Dengan masih agak pening perwira dan prajurit2 itu
bergegas keluar tetapi mereka segera disambut oleh suara
sorak sorai yang dahsyat.
"Ciangkun, gedung tihu sudah dikepung musuh," salah
seorang perwira segera menghadap' Totay.
"Apakah pasukan Beng ?" tanya Totay.
"Bukan," sahut perwira itu," mereka tidak mengenakan
seragam prajurit tetapi pakaian biasa.”
"Pertahankan gedung ini, aku akan keluar," kata Totay
terus mengambil tombak dan melangkah ke luar.
"Hayo, menyerah atau tidak?" teriak seorang Ielaki
setengah tua yang mencekal pedang. Rupanya dia adalah
pimpinan pasukan yang menyerbu gedung tihu.
"Bakar! Bakar saja!" teriak anakbuahnya.
Dengan tenang Totay berteriak dari muka pintu, "Hai,
kalian ini pasukan dari mana?"
"Pasukan rakyat Han!" teriak orang? itu.
"Hm, pasukan pemberontak," pikir Totay, "kemungkinan
tentu pasukan yang dibentuk tokoh2 persilatan."
"Hai, hohan yang memimpin pasukan. Aku mau
menyerah kalau engkau dapat mengalahkan aku," Totay
menantang.
"Jangan meladeni dia Nyo tayhiap," seru beberapa
anakbuah.
"Hm, orang Ceng itu mengira kalau kita tak mampu
mengalahkan dia," dengus lelaki gagah yang dipanggil Nyo
tayhiap itu.
"Dia sudah ibarat ikan dalam jaring. Tak perlu meladeni
kata-katanya," kata seorang lelaki yang berada
disampingnya.
"Bagaimana kawan2 kita yang lain?" bisik orang she
Nyo.
"Gedung ini sudah kita kepung rapat. Ki tayhiap
menyerang dari bagian belakang gedung," sahut lelaki
pendampingnya.
"Ki hiante, aku kepingin menjajal kepandaian jenderal
Ceng itu. Pokoknya, mereka kan tak dapat lolos, biar aku
bermain-main dengannya. Syukur bisa menangkapnya,"
kata orang she Nyo yang lengkapnya bernama Nyo Beng.
"Baik, aku akan menghadapimu," serunya seraya
melangkah maju.
"Bagus," Totay juga melangkah maju, "kita bertempur
dengan tangan kosong atau senjata?"
"Terserah saja," sahut Nyo Beng, "tetapi ingat, aku tak
punya banyak waktu untuk meladeni engkau."
"Kalau begitu kita pakai senjata saja," seru Totay.
"Baik," jawab Nyo Beng.
Keduanya segera bersiap. Totay menggunakan pedang
dan Nyo Beng dengan tombak. Nyo Beng terkejut ketika
menyaksikan permainan pedang Totay yang sedahsyat
halilintar menyambar. Tetapi Totaypun tak kalah kejutnya
ketika mengalami tekanan dari ilmu permainan tombak
Nyo Beng yang dirasakan bagai naga menari-nari di lautan.
"Hm, orang Ceng ini tentu pernah mendapat pelajaran
ilmusilat dari perguruan ternama,” pikir Nyo Beng.
"Hm, pemimpin barisan pemberontak ini tentu seorang
tokoh silat yang hebat," demikian Totay juga menimangnimang.
Dalam sekejap mata, keduanya sudah melangsungkan
pertempuran sampai seratus jurus. Kedahsyatan
pertempuran itu sampai mengaburkan mata sekalian orang
yang menyaksikan.
Tiba2 dengan bermandi darah seorang perwira prajurit
Ceng lari keluar dan berseru, "Ciang-kun, gedung tihu
dibakar dan musuh menyerang dari belakang. Lekas
ciangkun meloloskan diri .....” dan sambil berkata perwira
itu terus menyerang Nyo Beng.
Totay loncat mundur dan lari kedalam. Tiba diambang
pintu ia terkejut mendengar jeritan yang ngeri. Ketika
berpaling ternyata perwira anakbuahnya tadi telah tertusuk
ujung tombak Nyo Beng.
"Ah, jasamu takkan kulupakan. Kelak aku tentu
membalaskan kematianmu, Cola," kata Totay dalam hati
terus melangkah masuk.
Didalam dia disambut oleh Kho tihu dan Huru Hara,
"Ciangkun, mari kita lolos dari sini," kata Kho tihu.
Mereka hendak menerobos keluar pintu samping. Tetapi
dari arah ruang belakang, bermunculan beberapa lasykar
rakyat yang terus menyerang mereka, "Tangkap tihu
penghianat! Cincang pembesar anjing itu!" teriak mereka
seraya menyerbu.
"Silakan ciangkun lolos, aku yang menahan mereka,"
tiba2 Huru Hara loncat menahan serbuan orang2 itu.
Huru Hara menyadari bahwa lasykar rakyat itu bukan
bangsa perampok maka iapun tak mau melukai mereka.
Setelah berhasil mengundurkan mereka dia terus mencari
Cian-li-ji.
"Hai, kemanakah paman Cian?" teriaknya terkejut ketika
mendapatkan kamar tempat istirahatnya, kosong
melompong. Cian-Ii ji yang berbaring ditempat tidurpun tak
tampak lagi.
Dia tak dapat merangkai suatu dugaan tentang hilangnya
kakek itu karena saat itu api semakin berkobar. Dia terpaksa
keluar dan lari menerobos dari samping.
Disitu dia melihat suatu adegan yang menegangkan.
Totay sedang menghadapi keroyokan beberapa lasykar
rakyat. Belum sempat Huru Hara menghampiri dilihatnya
Totay menjerit dan terhuyung-huyung mendekap bahu
kirinya. Ternyata panglima Ceng itu terkena sebatang
anakpanah di bahunya. Sementara Kho tihupun sudah
diringkus oleh lasykar rakyat.
Tanpa banyak pikir, Huru Hara menerjang orang2 yang
hendak menyerang Totay. Dan secepat kilat dia
menyambar tubuh Totay lalu membawa lari. Kebetulan dia
melihat seekor kuda tengah lari kebingungan karena
kandang kuda bakar. Ia segera menangkap kuda itu,
mengangkat Totay ke punggung kuda dan dia terus
mencelaknya dan melarikan kuda itu menerjang ke utara.
“Tangkap ! Tangkap jenderal Ceng ! Jangan biarkan dia
lolos!" terdengar teriak gemuruh dari lasykar rakyat yang
berusaha untuk menghalangi dan mergejar. Bahkan ada
juga yang melepaskan anakpanah. Tetapi kesemuanya itu
dapat ditangkis oleh Huru Hara. Gemparlah suasana medan
pertempuran ketika menyaksikan seorang pendekar nyentrik
tengah menyelamatkan jenderal Ceng menerobos dari
kepungan lasykar rakyat.
Tak tahu Huru Hara tiba dimana. Dia hanya
membiarkan dirinya dibawa lari kuda itu. Untung malam
itu rembulan menyembul sedikit sehingga cuaca tidak gelap.
Entah berapa jam lamanya ketika tiba disebuah
pegunungan dan melihat sebuah cekung karang yang
menyerupai gua, Huru Hara pun berhenti dan menurunkan
Totay lalu dibawa kedalam gua karang itu.
Ternyata Totay telah pingsan. Anakpanah masih
menancap pada bahunya, darah mengalir membasahi
pakaiannya. Ia bingung. Kalau dicabut, lukanya tentu akan
mengalirkan banyak darah lagi. Namun kalau tak dicabut,
jiwa orang Ceng itu akan terancam maut.
Akhirnya ia mencari rumput. Ah, kebetulan di
pegunungan itu banyak tumbuh tanaman nia atau legundi.
Ketika masih kecil, ia ingat sering disuruh ayahnya mencari
daun nia itu.. Kata ayahnya, daun itu berkhasiat tinggi
untuk obat. Sekarang ia hendak mencobanya. Setelah
meremas-remasnya sampai halus, barulah ia berani
mencabut anakpanah dari bahu Totay dan terus dilumuri
dengan remasan daun itu.
Kemudian dia mencari air dan diminumkan. Menjelang
pagi, Totay tersadar. DiIihatnya Huru Hara duduk
bersemedhi dipintu gua. Totay bergeliat bangun.
“Loan-heng, terima kasih atas pertolonganmu," serunya
dengan pelahan.
Namun Huru Hara diam saja. Dan Totay juga tak berani
mengganggunya. Setelah fajar menyingsing barulah Huru
Hara tampak berbangkit, Totay mengulangi ucapan terima
kasihnya.
"Ah, hanya soal kecil, tak perlu berterimakasih,'" sahut
Huru Hara.
"Loan-heng," kata Toiay pula, "mengapa engkau
menolong aku ?"
"Kalau engkau seorang Boan dapat berlaku secara
ksatrya, mengapa aku seorang Han tidak bisa ??'' balas Huru
Hara.
"Bagaimana maksudmu ?"
"Engkau mengatakan bahwa seorang ksatria akan
menghargai seorang ksatrya. Pendirian kami orang Han,
juga memilikinya. Engkau telah menerima dan menjamu
aku, walaupun kau tahu aku menentang pasukan Ceng.
Engkau menghormat aku sebagai seorang kesatria yang
setia negara. Panglima pasukan Ceng, ketahuilah, bahwa
bangsa Han juga tahu menghargai seorang ksatria walaupun
dia itu seorang musuh"
"O, apakah engkau hendak membalas budi?" tanya
Totay.
"Panglima Ceng," kata Huru Hara, "jika apa yang
engkau lakukan kepadaku engkau anggap sebagai
pemberian budi, maka apa yang kulakukan ini anggaplah
sebagai balas budi. Tetapi pendirianku sesungguhnya
hanyalah menetapi sifat seorang ksatrya yang menghargai
ksatrya lain. Karena hanya seorang ksatrya sejati yang
dapat menghargai ksatrya yang lain."
Totay terkesiap. Tak nyana bahwa dalam diri seorang
muda yang mengenakan dandanan seperti pahlawan
kesiangan, ternyata bersemayam jiwa ksatrya yang luhur.
Dalam perjalanan hidup selama ini baru pertama kali itu ia
bertemu dengan seorang yang berjiwa ksatrya.
“Bagaimana keadaan lukamu ?" tiba2 Huru Hara beralih
pertanyaan.
"Sudah tak berdarah. Kurasa tentu cepat sembuh," jawab
Totay.
"Baik," kata Huru Hara, "tempat ini kurang baik bagimu.
Masih berbahaya. Engkau tentu harus lekas2 kembali
kedalam pasukanmu, bukan?"
Totay mengangguk.
"Silakan engkau berangkat. Kuda itu pakailah."
Totay terkesiap.
"Panglima Ceng," kata Haru Hara, "sekali lagi
kutandaskan bahwa apa yang kulakukan tadi adalah sesuai
dengan apa yang engkau pernah lakukan kepadaku
semalam. Namun sesungguhnya kita terpisah oleh dua garis
perjalanan yang berbeda. Engkau seorang panglima Ceng
yang ditugaskan oleh rajamu untuk memerangi kerajaan
Beng. Engkau berjuang sebagai seorang ksatrya yang
mengabdi kepada nagara. Tetapi akupun seorang rakyat
Han. Aku juga berjuang mengabdi kepada negaraku.
Walaupun kita berdiri dfihak yang berlawanan, tentu kita
masing2 menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya. Oleh
karena itu, setelah kita nanti berpisah, maka kita harus
kembali kedalam perjuangan masing2. Mungkin kelak kita
akan berjumpa di medan pertempuran atau di tempat2
umum kita akan saling berhadapan sebagai lawan. Dalam
keadaan begitu, kita harus menjalankan kewajiban masing2,
Engkau boleh membunuh aku dan akupun boleh
membunuh engkau. Kematian begitu tak boleh disesalkan
karena merupakan kematian ksatrya."
Totay masin terkesiap mendengarkan.
"Aku menentang tindakan kerajaan Ceng yang hendak
menjajah tanah-airku. Dan engkau hanya melakukan
tugasmu sebagai seorang panglima. Maka apabila kita
bertemu lagi, tak perlu kita mengingat peristiwa hari ini
tetapi harus sebagai musuh yang saling berhadapan."
Totay, kolonel pasukan Ceng yang sudah banyak jasanya
selama dalam peperangan melawan tentara kerajaan,
terpesona dan melayang-layang pikirannya seperti orang
mabuk arak. Dia tidak maibuk arak tetapi mabuk
mendengar untaian kata2 dari seorang pendekar nyentrik
yang menamakan diri sebagai Huru Hara. Seumur hidup
baru saat itu dia menyadari akan makna dari jiwa seorang
ksatrya yang luhur. Biasanya orang tentu akan gembira
karena dapat menangkap seorang musuh. Karena hal itu
berarti suatu pahala besar yang akan memberikan dia
kenaikan pangkat.
Tetapi seorang pendekar rakyat yang pakaiannya tak
keruan, ternyata tidak silau akan segala jasa dan hadiah.
Dia tetap menetapi laku seorang ksatrya utama. Dapat
menarik garis tajam antara sifat ksatrya dengan sifat
angkara, sifat temaha dengan sifat perwira, budi dengan
permusuhan.
"Loan tayhiap, engkau benar2 seorang ksatria yang
hebat," tak ada lain kata2 yang diucapkan mulut Totay
kecuali seuntai persembahan kata pujian.
“Panglima Ceng," seru Huru Hara, "matahari sudah
semakin terang, silakan lekas berangkat."!
Totay mengiakan. Dia terus menghampiri kuda dan
mencemplaknya, "Betapapun, aku akan selalu mengingat
budimu, sampai jumpa!"
"Tunggu!" tiba2 Huru Hara berseru dan Totaypun
hentikan kudanya.
"Jika engkau benar2 hendak membalas budi maka
kuminta begini. Apabila engkau menduduki sebuah kota
atau tempat, janganlah mengganggu rakyat. Laranglah
prajurit2mu supaya jangan menganiaya rakyat, merampas
harta benda dan kaum wanita mereka. Jika engkau dapat
melakukan hal itu berarti engkau sudah membalas budi
kepadaku."
"Baik, akan kulaksanakan," kata Totay lalu melambaikan
tangan dan terus mencongklangkan kudanya.
Secara tak disadarinya, Huru Hara telah berjasa besar
dalam peperangan antara pasukan Ceng dengan pasukan
Beng. Totay telah melaksanakan permintaan Huru Hara
sehingga rakyat di kota maupun di desa2 yang diduduki
pasukan Totay selalu aman dan tak diganggu. Tetapi
peristiwa itu terjadi di kelak kemudian hari. Sekarang
marilah kita tetap mengikuti perjalanan Huru Hara dulu.
Dia duduk termenung-menung memikirkan apa yang
telah terjadi, "Ah ....," ia menghela napas, "hidup itu
memang aneh. Banyak sekali peristiwa yang muncul secara
tak terduga-duga …….”
Ia hendak mencari Li Thian Ong ke kota Khay-hong,
tahu2 harus mengalami peristiwa di kota Sam-kwan. Ia
benci kepada orang Ceng yang hendak menduduki tanahairnya
tetapi ia berkenalan dengan seorang panglima Ceng
dan bahkan menyelamatkan jiwa panglima itu dari
kepungan lasykar rakyat yang hendak merebut kembali kota
Sam-kwan.
“Tindakanku itu tentu menimbulkan kesan mereka
bahwa aku membantu orang Ceng. Tetapi mereka tak tahu
bahwa aku berjuang untuk membela keluhuran jiwa orang
Han. Kita orang Han tak boleh kalah berbudi dan berjiwa
besar dengan orang Ceng ....... "
'Celaka!" tiba2 ia terhenyak, "sekarang aku kejepit
diantara dua kekuatan yang saling beradu, lasykar rakyat
Han menuduh aku sebagai penghianat karena membantu
panglima Ceng. Tetapi kerajaan Ceng juga memandang aku
seorang pernberontak yang menentang mereka."
"Tetapi biarlah. Seorang lelaki harus berani bertindak
melaksanakan pendiriannya. Kelak apabila mendapat
kesempatan, akan kujelaskan kepada orang2 lasykar rakyat
itu bagaimana pendirianku. Terserah mereka mau
menerima atau tidak, akupun tetap akan melanjutkan
perjuanganku menentang kerajaan Ceng."
Baru ia menenangkan perasaannya tiba2 teringat sesuatu,
"Hai, kemanakah paman Cian-li-ji? Mengapa dia hilang
dari kamarnya?"
Setelah mengingat akan keadaan Cian-li-ji pada saat itu,
bagaimana lemas tak bertenaga dan ingin tidur, tak
mungkin dalam waktu sirgkat paman Cian-li-ji itu akan
bangun dan melarikan diri. Lalu siapakah yang
membawanya lari?
"Hai," tiba2 ia bertemu pada suatu gambaran, "tentulah
diculik oleh lasykar rakyat yang menyerang kedalam
gedung tihu itu. Ya, benar, tentu begitu!"
Setelah merangkai dugaan maka timbullah keputusan
pada Huru Hara, "Aku harus mencari paman Cian-li-ji.
Akan kuminta dari tangan lasykar rakyat itu. Ya, benar, aku
harus lekas2 kesana agar paman Cian-li-ji jangan sampai
dibunuh karena dianggap menjadi kaki tangan orang Ceng!"
Serentak dia ayunkan langkah.
==oo0oo==
Nenek penangis
Tiba di kota Sam-kwan, Huru Hara terkejut. Kota itu
sunyi senyap seperti kota mati. Pasukan rakyat yang
menyetbu gedung tihu ternyata tidak terus menduduki kota
itu tetapi mengundurkan diri masuk kedalam hutan lagi.
Rupanya memang begitulah siasat mereka. Tahu kalau
kalah kekuatan, mereka tak mau langsung mengadakan
pertempuran secara terbuka dengan pasukan Ceng. Tetapi
mereka lebih senang menggunakan siasat gerilya. Tengah
malam mereka menyerbu musuh, menghancurkan dan
membakar markas musuh lalu menghilang pula kedalam
hutan.
Huru Hara berusaha meniti mayat2 yang masih
bergelimpangan di mana2. Mayat2 prajurit Ceng dan
anakbuah laskar rakyat. Dia hendak mencari kemungkinan
mayat paman Cian-li-ji terdapat diantara mayat2 itu. Tetapi
ternyata tak ada.
Ketika ia mengangkat muka, ia terkejut ketika beberapa
langkah di mukanya berdiri seorang, nenek tua yang
mencekal tongkat. Nenek itu penuh keriput dahinya,
rambutnya pun sudah putih semua tetapi sepasang matanya
masih berkiiat-kilat tajam menikam.
"Nenek, engkau mencari siapa ?" tegur Huru Hara.
Nenek itu maju menghampiri dan tiba2 ayunkan
tongkatnya menggebuk Huru Hara, "Ah Hok, ternyata
engkau minggat kemari !"
"Aduhhhh," Huru Hara menjerit ketika kepalanya
terkemplang ujung tongkat. Ia tak menyangka akan digebuk
si nenek. Pada saat si nenek ayunkan tongkat ia terkejut dan
hendak menghindar tetapi tongkat nenek itu luar biasa
cepatnya.
"Hayo, mau pulang tidak !" nenek itu ayunkan
tongkatnya menggebuk punggung Huru Hara, bluk, bluk ....
"Nenek, engkau keliru ! Aku tak kenal engkau....." baru
Huru Hara hendak memberi keterangan nenek itu sudah
menggebuk punggungn lagi, "Apa engkau bilang ? Engkau
tak kenal pada nenekmu ? Kurang ajar benar, engkau ini,
budak liar!"
"Aduh ..... aduh .,..," Huru Hara melonjak kesakitan.
Tetapi diam2 ia merasa heran. Sebenarnya ia sudah
berusaha hendak menghindar tapi tak mampu.
Dan ada suatu keanehan lain yang dirasakan Huru Hara.
Biasanya asal ia menghendaki, maka ada sejenis tenagadalam
yang terkandung dalam tubuhnya dapat memancar
keluar. Orang mengatakan bahwa dia memiliki apa yang
disebut Ji-ih-sin-kang atau tenaga-sakti-menurut-kemauanhatinya.
Misalnya ia dipukul, ia menangkis dan orang yang
memukul itu tentu terpental. Andaikata ia tak keburu
menangkis, asal ia ingin untuk menahan pukulan itu maka
pukulan itupun tak mempan dan si pemukul akan
menderita kesakitan sendiri, bahkan dapat terpental ke
belakang.
Tetapi ketika digebuk si nenek, walaupun sudah
mengerahkan Ji-ih-sin-kang. tetap ia merasa kesakitan.
"Tetapi aku memang tak kenal engkau!" teriak Huru
Hara.
Krak.... nenek itu ayunkan tongkat hendak ngernplang
kepalanya tetapi Huru Hara menangkis. Tongkat itu tetap
menimbulkan rasa sakit pada tangan Huru Hara.
"Hayo, pulang," tiba2 nenek itu mencekal pergelangan
tangan Huru Hara dan terus diseret pergi.
Menghadapi seorang nenek yang aneh dan tak waras
pikirannya itu terpaksa Huru Hara membiarkan saja dirinya
dibawa. Ternyata nenek itu menuju kesebuah hutan diluar
kota.
Menyusup kedalam hutan mereka tiba disebuah lembah
hutan siong. Ia heran mengapa nenek itu berjalan secara
aneh, sebentar mendorongnya ke kanan, sebentar ke kiri,
lalu mengajak meloncat, kemudian berputar dua tiga kali
pada gerumbul pohon siong yang ditengahnya terdapal
segunduk batu marmar putih,
"Apa-apaan nenek ini ? Masakan jalan kok begini aneh ?
Edan barangkali, eh ..... loncat?” teriak Huru Hara ketika
lengannya diseret oleh nenek itu. Walaupun tak sakit tetapi
ia tak dapat melepaskan diri. Ia berusaha hendak meronta
tetapi tenaganya serasa habis sehingga ia terus menuruti
saja kehendak si nenek. Kalau memang harus melompati
sebuah liang atau gerumbul berduri, itu sih tak apa. Tetapi
ternyata yang dilompati itu hanya sebuah batu marmar kecil
berbentuk segi-delapan. Dan batu marmar itu menggeletak
di tanah yang datar.
Akhirnya setelah didoyong kian kemari dengan cara
berjalan yang aneh, tibalah mereka sebuah pondok yang
terbuat dari kayu.
"Hayo masuk," seru nenek itu seraya menyeret Huru
Hara kedalam pondok.
Pondok itu amat sederhana. Alat2 perabotan hanya dua
buah kursi dan sebuah meja batu yang beibentuk segidelapan.
"Ah Hok, kemana saja engkau beberapa hari ini?" tegur
nenek itu pula.
"Nenek edan," gerutu Huru Hara dalam hati, "aku tak
kenal dia tetapi dia tetap berkeras mengatakan aku ini, eh
..... apanya ya, aku juga belum tahu."
"Nenek ini .menganggap aku ini siapa?" akhirnya dia
bertanya.
"Bocah edan," damprat nenek itu, "masakan engkau tak
tahu dirimu itu apaku? Bukankah engkau ini cucuku si Ah
Hok yang nakal itu?"
"Ah Hok? Ha, ha, ha," tiba2 Huru Hara tertawa gelak.
"Bocah edan? Masakan engkau lupa dirimu itu siapa?"
bentak nenek aneh itu. Tetapi tidak marah melainkan
tersenyum karena melihat Huru Hara tertawa.
"Tetapi aku bukan Ah Hok. Aku Huru Hara," seru Huru
Hara.
"Edan engkau," teriak si nenek, "punya nama baik2
mengapa diganti dengan Huru Hara? apakah engkau
hendak cari gara2?"
"Itu memang namaku, nenek."
“Sudahlah, diam saja!" bentak si nenek, "kamu
keluyuran kemana-mana engkau tentu kemasukan setan
sehingga namamu sendiri sampai lupa.”
Huru Hara menyeringai, "Aku tidak kemasukan setan.
Aku waras."
"Memang orang gila tentu menganggap dirinya waras
dan mengatakan orang yang waras itu gila. Engkaupun
demikian juga. Engkau sudah tak waras lagi karena
kemasukan setan lalu engkau menganggap aku nenekmu ini
tidak waras. O kasihan benar engkau, cucuku Ah Hok..... ,"
tiba2 nenek itu menangis.
Entah bagaimana tiba2 hati Huru Hara ikut iba, "Ah,
nenek, jangan menangis....."
Tiba2 nenek itu berhenti menangis dan tertawa, "Ah,
cucuku, ternyata sekarang engkau sudah ingat kepadaku
lagi."
Huru Hara geleng2 kepala. Kalau dia menyangkal dia
kuatir nenek itu akan menangis lagi. Namun kalau
mengakui, tentu dia akan dianggap sebagai cucu si nenek
itu yang bernama si Ah-Hok.
"Sekarang beristirahatlah di kamarmu sendiri, Hok," kata
nenek itu.
Huru Hara melongo. Dimanakah kamar itu.
"Bagaimana, apa engkau mau makan dulu?” tanya si
nenek ketika melihat Huru Hara terbengong.
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala.
"Kalau begitu, beristirahatlah di kamarmu.
"Tetapi aku tak tahu di mana kamarku itu.
"Apa engkau suruh aku menangis lagi?” tanya si nenek.
“Perlu apa harus menangis ?'" bantah Huru Hara, “tetapi
aku memang tak tahu kamarku itu."
"Ah Liong….! Ah Liong.....!" tiba2 nenek itu berteriak
keras2.
"Apa nek ? Aku sedang cari sayur," seru sebuah suara
anak kecil.
"Kemarilah! Engkohmu si Ah Hok sudah pulang !"
"O, benarkah itu ? Tunggu nenek aku segera datang."
Tak berapa lama muncul seorang anak laki laki berkepala
gundul. Umurnya disekitar 8 tahun, wajahnya terang, mata
bundar, alis tebal, bibirnya menah.
"Mana engkoh An Hok, nek ?" teriak anak lelaki kecil
itu.
"Itu !" si nenek menuding kearah Huru Hara. Bocah laki
itu tertegun ia merentang mata, “Lho, apa itu engkoh Ah
Hok, nek ?"
"Eh, engkau juga kemasukan setan ini, Masakan
engkohmu si Ah Hok engkau tak mengenalnya lagi."
"Ya, perawakanrya memang sama, wajahnya hampir
mirip setapi engkoh Ah Hok tak memiliki dua kuncir begitu
macam, apalagi kanan kiri."
'"Soal kuncir kan mudah. Ambil gunting dan potong saja
kuncir itu, nanti kan sama dengan engkohmu si Ah Hok."
Ah Liong, bocah lelaki itu, mengiakan. Dia masuk
kedalam kamar dan keluar lagi dengan membawa gunting.
Dia langsung menghampiri Huru Hara, "Engkoh Ah Hok,
nenek suruh aku memotong kedua kuncirmu itu."
Huru Hara mengkal. Tetapi dia ingin tahu sampai
dimana tingkah laku bocah kecil dengan nenek tua itu.
“!Ya, silakan saja," katanya.
Bocah kecil yang bernama Ah Hok itu suruh Huru Hara
duduk lalu dia mulai menggunting kuncir sebelah kiri dari
kepala Huru Hara, "Uh, uh ..... mengapa tak mempan?"
Huru Hara diam saja.
"Setelah berulang kali mencoba memotong kuncir Huru
Hara dengan gunting tetapi tak mampu akhirnya Ah Hok
bertanya, "Engkoh Ah Hok, dari bahan apakah kucirmu ini
engkau buat?"
"Bocah edan," damprat Huru Hara, "masakan kuncir
terbuat dari bahan apa. Itu kan rambut kepala yang tumbuh
sendiri."
"Tetapi mengapa gunting tak mempan.?"
"Mungkin guntingmu sudah tak tajam. Cari saja pisau
yang tajam."
"Benar," seru Ah Liong terus lari masuk dan keluar lagi
membawa pisau yang tajam. Dijambaknya kuncir Huru
Hara lalu dipotong dengan pisau, "Uh, uh ....... " kembali
mulut bocah itu tak henti-hentinya mendesuh-desuh karena
tak mampu memotong kuncir Huru Hara.
Saking mengkalnya, Ah Liong terus menarik kuncir
Huru Hara sekuat-kuatnya. Kalau tak dapat dipotong, lebih
baik dicabut saja, pikirnya.
Tetapi dia. menjerit kaget ketika kuncir itu memancarkan
arus tenaga yang kuat sekali sehingga dia terlempar
beberapa langkah ke belakang, uh ......”
"Ah Liong, jangan kurang ajar, masakan rambut
engkohmu engkau tarik2," seru nenek aneh itu.
"Aku tidak....."
"Ai, sudahlah. Kalau tidak dapat dicukur, biarlah.
Tentulah engkohmu senang memakai hiasan kuncir, jangan
diganggu," kata nenek itu.
Ah Liong mengomel panjang pendek tetapi tak
dihiraukan si nenek, "Ah Liong, bawalah engkohmu ke
kamarnya. Suruh dia mandi dan ganti pakaian. Dan
buatkan bubur ayam yang enak. Baik2lah engkau
melayaninya kalau tidak dia tentu akan minggat lagi."
“Engkoh Ah Hok, mari kuantar ke kamarmu," kata Ah
Liong seraya menarik tangan Huru Hara dan Huru Hara
menurut saja.
Kamar dari Ah Hok itu ternyata terletak di luar pondok.
Walaupun tak ada alat perabot lain2 kecuali balai2 dan
meja, tetapi keadaan kamar itu cukup bersih.
"Disini ?" tanya Huru Hara.
"Eh, mengapa engkau lupa?" Ah Liong kerutkan dahi,
lalu bertanya, "apa engkoh tidak mandi dulu?"
"Mandi? Dimana?"
"Lho, aneh," seru Ah Liong pula, "bukankah engkoh
paling gemar mandi di telaga?"
Karena beberapa hari tak mandi, tubuh dan pakaian
Huru Hara memang kotor. Dia memang hendak
mengetahui siapa sesungguhnya nenek aneh itu.
"Baik, aku mau mandi," katanya. Dia bersama Ah Liong
segera menuju kesebuah tempat di ujung lembah. Disitu
terdapat sebuah telaga kecil.
"Wah, jernih sekali airnya. Apakah nama telaga ini?"
seru Huru Hara.
"Telaga Kia-ti."
"Kia-ti telaga kac..?"
"Ya," kata Ah Liong, "airnya bening seperti kaca sehinga
dasar telagapun kelihatan."
Ah, betapa sejuk air yang merendam tubuhnya ketika
Huru Hara membenam diri dalam telaga itu. Segala
ketegangan dan keletihan hilang sama sekali. Dia merasa
semangatnya segar, pikirannya terang.
Sambil merendam diri, pikirannyapun me-layang2
merenungkan diri nenek aneh itu. Jelas bahwa nenek itu
telah keliru menganggap dia sebagai cucunya yang bernama
Ah Hok. Dan bocah gundul Ah Liong itu tentulah adik Ah
Hok.
"Kemanakah gerangan si Ah Hok itu:'" Ialu timbul
pertanyaan dalam hati Huru Hara, "ah, menurut omongan
si nenek tadi, sudah beberapa waktu Ah Hok pergi dari
rumah."
Kemudian ia merenung lebih lanjut, mengapa nenek itu
tinggal bersama kedua cucunya dihutan yang sepi. Lalu
siapakah orangtua kedua anak itu.
Tiba2 ia terkejut ketika merasa kakinya bergetar, jarijarinya
seperti melekat dan kejang. Cepat dia kerahkan
tenaga untuk menolak. Tetapi beberapa saat kemudian,
kembali dia merasa kejang lagi.
"Aneh," pikirnya, "rasanya kakiku seperti disedot arus
air. Hm, kali ini biarlah. Coba saja akan kubiarkan kakiku
disedot sampai kemana."
Karena dia mengosongkan diri dari tenaga melawan,
pelahan-Iahan dia ditarik ke bawah dan makin ke bawah
sehingga akhirnya kakinya seperti menginjak dasar telaga.
Ia rasakan kakinya seperti melekat pada dasar telaga yang
merupakan benda yang keras, mungkin batu cadas.
Huru Hara mendapat pikiran. Dia segera kerahkan
seluruh tenaga ke kaki untuk menginjak kebawah. Dalam
ilmu silat penggunaan tenaga untuk membuat tubuh berat
atau menginjak dengan kaki, disebut ilmu Cian-kin-tui atau
Tindihan-seribu-kati. Tetapi Huru Hara tak tahu, pokoknya
dia mengerahkan tenaga untuk menginjak sekuat-kuatnya.
Hasilnya memang hebat. Ia rasakan tanah keras yang
dipijaknya itu makin lama terasa pecah! dan makin
berantakan. Tetapi kakinyapun makin terbenam kebawah.
Ketika hampir mencapai lutut barulah tenaga sedot itu
berhenti tetapi sebagal gantinya sekarang telapak kakinya
melekat pada sebuah benda keras.
Huru Hara terkejut. Ia duga benda itulah yang
memancarkan kakinya dari benda itu. Serentak ia kerahkan
tenaga sakti Ji-ih-sin-kang dai berontak meluncur keatas.
Memang tak terdengar suatu letupan apa2 tetapi jelas dia
dapat merasakan bahwa benda2 yang membenam kakinya
itu berhamburan terbuka sehingga dia dapat melambung
keatas.
Tiba2 ia mendapat pikiran untuk melihat benda apakah
yang telah menyedot kakinya begitu keras itu ?
Serentak ia mengayun tubuh berjumpalitan menukik
kedalam dasar telaga lagi. Karena bening sekali dapatlah
dia melihat benda itu.
"Ah, sebatang pedang," serunya seraya menyelam dan
menyambar pedang itu, terus meluncur kepermukaan
telaga.....
"Engkoh Hok, engkau masih ingat tidak bagaimana
keadaan telaga ini pada malam hari?" seru Ah Liong.
"Tidak," Huru Hara terus berenang ke tepi. Ia
menyelipkan pedang pandak itu dalam bajunya dan tak
mengatakan apa2 kepada Ah Liong.
"Ya, memang engkau lupa segala apa tentang rumah dan
tempat ini. Mengapa bisa begitu?" tanya Ah Liong.
"Ah Liong," seru Huru Hara, "engkau mengatakan apa
tadi? Apakah terdapat hal2 yang aneh pada telaga ini kalau
pada malam hari?"
"Ya," sahut Ah Liong, "coba saja kita nanti menjenguk
kemari. Tentu engkau akan tahu sendiri."
"Cobalah engkau kasih tahu sekarang Ah Liong," pinta
Huru Hara, "kalau tiada yang luar biasa, perlu apa malam2
aku harus melihat kemari?"
"Kalau pada malam nari," permukaan telaga ini amat
terang."
"Ah, tentu saja," kata Huru Hara, "karena tertimpa sinar
rembulan, permukaan telaga kelihatan terang."
“Tidak begitu, engkoh," bantah Ah Liong, "sekalipun
pada malam gelap, permukaan telaga ini tampak terang
bahkan lebih terang daripada kalau malam ada
rembulannya."
"Benarkah begitu ?"
"Ah, masakan aku membohongi engkau," gerutu Ah
Liong, "tetapi ah, sukar engkoh Hok."
"Mengapa ?" Huru Hara heran.
"Kalau tahu kita kemari pada malam hari nenek tentu
marah."
"Marah ? Kenapa marah ?"
"Hm, engkau ini pelupa sekali. Bukankah dahulu kita
berdua pernah kemari pada tenga malam, tiba2 nenek
muncul dan kita berdua lalu diikat pada pohon dan
digebuki. Satu hari kita tidak diberi makan, "Mengapa
engkau berdua berani melanggar pantangan itu tak boleh
datang ke telaga Kia-ti pada malam hari ?" begitulah nenek
memarahi kita."
"O, apakah nenek pernah memberi larangan begitu ?"
Huru Hara terkejut.
Ah Liong geleng2 kepala, "Hm, apa2 lupa apa2 lupa.
Memang nenek pernah melarang begitu."
"Apa sebabnya ?"
"Entahlah."
"Tetapi mengapa engkau tahu kalau pada malam hari
permukaan telaga ini bersinar terang?”
"Ya, karena pada malam itu kita kemari dan dipergoki
nenek."
Huru Hara mengangguk. Tiba2 dia bertanya, "Eh, Ah
Liong, aku memang pelupa sekali. Aku tak ingat apa2 lagi.
Siapakah nama nenek kita itu ?"
"Entah, aku juga tak tahu."
"Engkau gila Ah Liong," seru Huru Hara, "masakan
punya nenek tak tahu namanya. Habis bagaimana kalau
engkau memanggilnya ?"
"Ya cukup nenek begitu saja," tiba2 Ah Liong berhenti di
sebuah sungai kecil, "tunggu sebentar engkoh Hok, aku
hendak menangkap ikan untuk hidanganmu nanti."
"Kenapa tidak cari di telaga saja ?"
"Telaga Kaca itu memang aneh sekali, engkoh Hok,"
kata Ah Liong, "jangankan ikan, bahkan tumbuhan
pakispun tidak ada karena tidak dapat hidup disitu. Pernah
kucoba, kusebari dengan ikan kecil tetapi besok pagi ikan2
kecil itu sudah terapung-apung mati."
Huru Hara mengikuti Ah Liong ke sungai kecil. Ah
Liong berjongkok di tepi sungai dan tiba2 tangannya
disorongkan kedalam air lalu diangkat, "ih, kurang besar.
Kurang ajar tuh si merah, dia hendak menghindar,"
tangannya dicelupkan dalam air lagi dan begitu diangkat,
dia sudah mencekal seekor ikan besar merah.
Heran juga Huru Hara melihat cara Ah Liong
menangkap ikan, "Ah Liong, mengapa begitu pandai sekali
engkau menangkap ikan?"
"Bukankah engkau juga diajari nenek menangkap ikan?"
"Aku? Uh, entahlah, sudah lupa."
"Ya, tetapi dalam hal menangkap ikan dan menyumpit
nyamuk, engkau memang kalah tangkas dengan aku,
engkoh Hok," Ah Liong tertawa bangga.
"O, engkau juga mahir menyumpit nyamuk?”
"Tentu," kata Ah Liong, "setiap malam sebelum tidur,
nenek tentu suruh aku memakai sumpit untuk menangkap
sepuluh ekor nyamuk. Kata nenek, kelak kalau aku sudah
mampu menangkap duapuluh lima ekor nyamuk, baru
boleh berhenti dan harus ganti menyumpit lalat."
"Buat apa cari lalat?"
'"Kata nenek itu adalah suatu ilmu yang hebat. Kalau
aku sudah mahir menyumpit nyamuk dan lalat, aku tentu
mampu menyumpit senjata musuh apabila aku harus
bertempur."
"Mengapa engkau tak pakai supit untuk nangkap ikan
tadi?"
"Nenek tidak boleh. Menangkap ikan pakai tangan
menurut katanya, juga suatu ilmu yang hebat. Kalau
dipukul orang aku dapat menyambar tangan orang itu."
"Dulu waktu baru pertama kali, memang susah sekali.
Beberapa hari aku tak dapat memperoleh ikan. Nenek
marah dan menghadiahi gebukan. Lama kelamaan karena
takut digebuk nenek, aku berlatih sungguh2 dan akhirnya
aku berhasil, mulai dari seekor hingga dua ekor dan
sekarang sudah dapat sekali mencangkum memperoleh
sepuluh ekor ikan."
"Apakah dalam latihan menyupit nyamuk dan lalat, juga
begitu?"
"Engkau tahu kan, bagaimana watak nenek? Kalau dia
perintah, tentu harus dilakukan sampai berhasil. Nih, lihat,
gundulku sampai tak dapat tumbuh rambutnya karena
sudah ratusan kali dikemplang tongkat nenek."
"Tetapi sekarang engkau kan sudah mampu menyupit
nyamuk dan lalat itu, bukan?"
Ah Liong mengangguk. Dia segera mengajak Huru Hara
pulang. Di tengah jalan diapun bercerita lagi, "Selain itu,
tiap pagi dulu aku pernah disuruh menggendong si Bule."
"Lho, siapa si Bule itu?" tanya Huru Hara. Bule artinya
putih.
"Kerbau."
"Kerbau? Lalu untuk apa engkau disuruh menggendong
kerbau bule itu?"
"Nenek membeli seekor anak kerbau yang berbulu putih.
Suruh aku tiap hari memandikan ke telaga tetapi kalau ke
telaga harus digendong. Bermula memang setengah mati.
Itu waktu aku baru berumur lima tahun. Sudah tentu aku
kalah kuat dengan si Bule. Lalu tiap malam nenek suruh
aku minum segelas obat. Dan sebulan kemudian tenagaku
bertambah kuat sekali sehingga dapat memanggul si Bule."
"Apakah sampai sekarang masih?" tanya Huru Hara.
"Kata nenek aku harus memanggul si Bule tiap pagi."
"Sampai kapan?"
"Sampai tua."
"Ah," desuh Huru Hara, "berapa umurmu sekarang?"
"Hampir sembilan."
"Kalau begitu sudah hampir empat tahun tiap pagi
engkau memanggul si Bule?"
"Benar."
"Berapa besar si Bule sekarang?"
"Wah. dia sudah besar sekali dan gagah perkasa. Untung
kalau kupanggul, dia masih menurut saja. Kalau tidak, wah,
repot."
"Mana si Bule sekarang?"
"Setelah kumandikan, dia terus kulepas dan sepanjang
hari dia keluyuran kemana-mana cari makan sendiri."
"Tenagamu sekarang tentu kuat sekali."
"Temu saja."
"Apakah engkau kuat mengangkat aku, tiba-tiba timbul
pikiran Huru Hara untuk menguji tenaga bocah gundul itu.
"Ho, ho, " Ah Liong tertawa, "Bule yang beratnya
seratusan kali saja aku dapat mengangkat masakan
engkau…….”
"Cobalah," seru Huru Hara.
Dasar bocah, ditantang begitu timbullah nafsu mencari
menang. Ia menerima baik, "Baik, silakan berdiri tegak,"
katanya.
Huru Hara berdiri tegak dan mulailah Ah Liong
mengangkat tubuhnya, hekkkk.....Ah Liong menguak,
"Mati aku ....", cepat2 ia lepaskan tangannya dan terus
mendekap celananya yang meluncur kebawah.
"Ha, ha, ha, ha ....... , " Huru Hara tertawa terbahakbahak
ketika melihat celana anak gundul itu melorot
kebawah.
Ternyata karena menggunakan segenap kekuatannya
untuk mengangkat tubuh Huru Hara tetapi tak mampu, tali
kolor celana Ah Liong putus dan meluncurlah celananya ke
bawah. Sudah tentu dia tak mampu mengangkat Huru Hara
karena Huru Hara mengerahkan tenaga Ji-ih-sin-kang untuk
membuat tubuhnya berat.
"CabuI ihh!" teriak Ah Liong setelah menarik celana
keatas lagi, "idih, malunya ....... "
"Mengapa malu?" Huru Hara masih tertawa.
"Terang dong," Ah Liong khe-ki sekali, "waktu celanaku
melorot turun, engkau tentu melihat……..”
"Ya, tetapi bukan salahku. Siapa suruh celanamu
melorot kebawah?"
"Siapa suruh? Sudah tentu tak ada yang suruh. Masakan
aku mau menyuruh celanaku supaya melorot turun? Uh,
jangan bicara seenakmu sendiri saja!" Ah Long makin
uring-uringan.
"Ah Liong, Ah Liong," kata Huru Hara "kelihatan itumu
saja mengapa engkau marah2 tak keruan? Bukankah kita
sama 2 anak laki? Mengapa harus malu?"
"Tentu saja malu," Ah Liong mcnyeringai "masakan
barang itu harus diperlihatkan kepada orang?"
"Si Bule itu jantan atau betina?" tiba2 Huru Hara
bertanya,
"Jantan. Kenapa?"
"Bukankah si Bule juga membiarkan itu kelihatan dan
tak malu? Mengapa engkau kalah dengan si Bule?"'
"Lho, mengapa kalah? Bule kan seekor kerbau dan aku
kan anak manusia. Kalau tidak mengapa pakai celana
untuk menutupi? Coba kau sendiri engkoh Hok, bukalah
celanamu."
"Wah, jangan," kata Huru Hara.
"Kenapa jangan? Bukankah engkau juga kalah dengan si
Bule?"
"Bukan begitu," kata Huru Hara, "engkau masih anak
kecil dan aku sudah besar, aku tak pakai celana, orang tentu
lari nanti melihat.”
“Kenapa lari? Aku tidak lari bahkan ingin melihat
itumu.”
“Mereka tentu mengira aku orang gila!” kata Huru Hara,
“sebaliknya kalau engkau, walaupun tidak pakai celana,
orang kan tidak apa-apa. Paling2 mereka menganggap
engkau seorang anak desa.”
"Ah, tetapi susah nih."
"Mengapa susah ?"
"Aku malu."
"Kenapa ?"
"Karena engkau telah melihat punyaku."
"Habis bagaimana, kan sudah terlanjur. Apa lagi aku tak
sengaja. Yang salah kan tali kolor celanamu mengapa putus
?"
"Engkau yang salah !" tiba2 Ah Liong menuding Huru
Hira, "bukankah engkau suruh aku mengangkat tubuhmu ?"
"Ya."
"Nah, itulah yang menjadi gara-gara tali celanaku sampai
putus.”
"Jangan begitu, Ah Liong,” bantah Huru Hara, aku kan
hanya suruh engkau mengangkat aku tetapi aku tak suruh
engkau harus putus tali celanamu.”
Setelah berdiam sejenak, Ah Liong mengoceh sendiri,
“Ya memang benar. Engkoh Hok tidak suruh aku harus
memutuskan tali celanaku. Lalu siapa yang suruh tali
celana itu putus ?
"Engkau sendiri Ah Liong," kata Huru Hara.
"Ya, benar, benar, memang aku. Tetapi aku pun
melakukan perintahmu untuk mengangkat engkau. Jadi....
engkau, ya, engkau engkoh Hok, biangkeladi yang menjadi
gara2 tali celanaku putus !"
"Ah, hal itu sudah terlanjur. Dan itu pun hanya urusan
kecil, tak perlu engkau marah atau malu ……"
"Tidak, tidak! Aku tetap malu, hu, hu, hu ...., . ," tiba 2
Ah Liong menangis.
Huru Hara geleng2 kepala, "Apakah dunia ini memang
berisi orang gila ? Aku sendiri, menurut kata orang, juga
sinting. Paman Cian-li-ji juga tak waras. Tetapi dia sudah
tua. Dan mengapa si gundul Ah Liong ini juga blo'on ....."
"Sudahlah Ah Liong," terpaksa dia menghiburnya, "aku
berjanji takkan mengatakan hal itu kepada siapapun juga !"
"Benarkah itu, engkoh Hok ?"
"Ya, aku berjanji dengan sumpah, tetapi…."
"Tetapi bagaimana ?"
"Kalau engkau tak mau mendengar kataku terpaksa akan
kuceritakan hal itu kepada orang biar engkau malu."
"Baik, engkoh Hok. Akupun berjanji akan menurut pada
engkau.
Sampai di pondok, Ah Liong menggoreng ikan dan
menyiapkan hidangan malam untuk Huru Hara. Keduanya
makan bersama.
"Apakah nenek tidak makan ?" tanya Huru Hara.
"Dia memang orang aneh," kata Ah Liong," dia tak
pernah makan nasi dan ikan.
"Lalu apa makannanya ?"
"Sayur-sayuran mentah dan buah2an."
"O, aneh juga."
Setelah selesai makan, mereka melanjutkan mengobrol
lagi. Dalam kesempatan itu Huru Hara bertanya, "Ah
Liong, apakah engkau .percaya aku ini si Ah Hok ?"
"Nenek mengatakan begitu, aku harus menurut."
"Tetapi kalau engkau 'sendiri, apakah juga menganggap
begitu ?"
"Engkau memang agak mirip. Tetapi bagiku bukan soal
engkau ini engkoh Hok yang tulen atau palsu."
"Lalu apa ?"
"Engkau baik kepadaku. Tidak seperti engkoh Hok yang
selalu menindas aku."
"Lho, menindas bagaimana ?"
"Kalau pagi, aku harus menyediakan hidangan teh. Lalu
mengantar dia ke telaga untuk mandi. Disuruh cuci
pakaiannya, menyapu pondok, halaman, membersihkan
tempat pembaringan Bahkan tiap malam sebelum tidur aku
harus memijati kakinya. Kalau tak mau, dia tentu marah
dan menempeleng aku."
"Lho apa nenek tak tahu ?"
"Tidak."
"Apa engkau tak memberitahu kepadanya ?"
"Buat apa ? Toh percuma saja. Dia malah marah2 dan
membela engkoh Hok."
"Lho, bukankah engkau ini sama2 cucunya ?"
Ah Liong gelengkan kepala, "Bukan. Engkoh Hok
memang cucu nenek tetapi aku bukan. Aku seorang anak
yatim pintu yang ditemukan nenek dan dipelihara, dianggap
sebagai cucunya."
"Eh, bagaimana engkau tahu ?"
"Engkoh Ah Hok yang menceritakan," kata ' Ah Liong
dengan berkaca-kaca.
Mendengar itu terharu juga hati Huru Hara Diam2 dia
kasihan dan suka kepada anak itu.
"Ah Liong," katanya, "sebenarnya aku ini bukan Ah Hok
tetapi entah karena rupaku mirip dengan Ah Hok, nenek itu
menganggap aku Ah Hok dan memaksa membawa aku
kemari."
"O, lalu siapakah engkoh ini ?"
"Aku Loan Thian Te, juga sudah sebatangkara seperti
engkau, Ah Liong."
"Kalau begitu kita ini senasib, engkoh …. eh, aku harus
memanggil bagaimana ?"
"Tetap panggil saja engkoh Hok, agar nenek itu tidak
marah."
"Baik," kata Ah Liong, "tetapi bagaimana nanti kalau
yang punya nama pulang ?"
"Kita nanti bicara lagi," kata Huru Hara. Demikian
setelah puas bicara mereka segera masuk tidur. Tetapi
sebelumnya, Ah Liong bilang "Silakan tidur lebih dulu, aku
mau berlatih dulu."
"Lho, berlatih apa
“Silat."
"O," desuh Huru Hara, "boleh aku melihat?"
"Boleh saja."
Mereka keluar ke halaman. Disitu Ah Liong mulai
berlatih silat, makin lama makin cepat gerakannya sehingga
tubuhnya tampak seperti bayangan.
"Ah Liong, ilmusilat apa itu ?" tanya Huru Hara setelah
Ah Liong berhenti.
"Entah, nenek tak bilang apa2 kecuali suruh aku berlatih.
Dengan ilmusilat itu, kata nenek, aku tentu dapat
mengalahkan sepuluh orang jago silat."
"Uh," Huru Hara hanya mendengus. Kemudian
keduanyapun masuk kedalam pondok dan tidur.
Satu-satunya kegemaran Huru Hara yalah ia semedhi
dulu sebelum tidur. Kadang2 sampai berjam-jam dia
bersemedhi melakukan pernapasan dan penyaluran darah.
Dia merasa bahwa dengan bersemedhi itu pikirannya
bertambah terang, semangat segar, badan sehat.
Pada saat mencapai tingkat yang tertentu, ia rasakan
pancainderanya tajam sekali. Telinganya dapat
mendengarkan suara yang betapapun lembutnya. Ia dapat
mendengarkan suara semut berjalan, cicak merayap dan
daun kering yang berhamburan jatuh di halaman. Dan tak
berapa lama kemudian ia meningkat pula pada puncak
alam tertinggi dari semedhinya. Ia merasa, pikiran
perasaan, pendengaran, penciuman, pernapasan dan
bahkan dirinya telah 'lenyap' semua. Lenyap dalam
kehampaan yang kosong. Hal itu berlangsung sampai pada
keesokan harinya baru dia bangun.
Sejak melakukan ilmu semedhi, dia tak pernah tidur.
Kalau tidur ya duduk bersemedhi itu. Keesokan harinya
apabila bangun, ia rasakan semangatnya segar, lebih segar
dari tidur.
Entah berapa jam dia sedang duduk bersemedhi itu tetapi
yang jelas saat itu sudah lewat tengah malam di kala dia
mendengar suara orang berjalan. Bermula masih jauh tetapi
tak berapa lama sudah dekat dan jelas menuju ke pondok
tempat kediaman nenek.
Huru Hara terkejut. Mengapa pada tengah malam buta,
ada orang yang datang ke pondok nenek aneh itu? Dengan
jelas ia menangkap suara langkah mereka dan dapatkan
bahwa yang datang itu terdiri dari dua orang. Langkah
mereka sedemikian lembut sehingga hampir seperti daun
gugur. Suatu pertanda bahwa kedua pendatang tentu bangsa
jago silat yang memiliki kepandaian tinggi.
Keduanya berhenti di halaman, "Benarkah Gok pohpoh
ilu tinggal disini?" tanya salah seorang yang mengenakan
pakaian seperti seorang pertapa.
"Ah, saudara Pat Hong apa tak percaya kepadaku?"
jawab kawan yang ditanya itu, "apa gelar Coan-ti-jin
(manusia serba tahu) yang diberikan kaum persilatan
kepadaku itu hanya gelar kosong saja?"
"Harap saudara Coan-ti-jin jangan salah faham," sahut
pertapa yang disebut Pat Hong (delapan-penjuru-angin),
"aku sih hanya menginginkan kepastiannya saja. Karena
kalau kita berhasil mendapatkan pusaka itu, panglima
Torgun dari kerajaan Ceng sudah menjanjikan hendak
mengangkat aku sebagai Kun-su (penasihat perang)"
"Hm….," Coan-ti-jin mendengus.
"Jangan kuatir, saudara Coan-ti-jin,” buru2 pertapa itu
menyusuli kata2 , “kalau aku menjadi Kun-su, engkau tentu
juga akan kumintakan pangkat kepada panglima Torgun.”
“Beberapa hari yang lalu aku berhasil menangkap
seorang pemuda. Dia mengaku bernama Ah Hok, cucu dari
nenek Gok pohpoh yang tinggal di sini. Menurut
keterangannya, Gok pohpoh masih memakai tongkaat itu.”
"Oh, dimana pemuda Ah Hok itu ?"
"Masih kusimpan."
"Bagus, kalau kita gagal dalam usaha ini, kita dapat
memperalat anak itu," kata pertapa Pat Hong. Kemudian
dia memungut sebutir batu kecil dan terus dilontarkan ke
depan pintu pondok.
"Hm, kayak bangsa maling yang hendak menanyakan
jalan kepada turun rumah," tiba2 dari dalam pondok
terdengar suara orang. Itulah suara si nenek. Dan pada lain
saat pintupun terbuka!
"Hai, pendatang dari mana itu yang tengah datang ?”
seraya melangkah keluar.
"Bagus, Gok pohpoh. Apa engkau belum tidur ?"
"Hm, apa engkau buta ? Bukankah aku berdiri di tempat
ini ?"
"Ha, ha," pertapa Pat Hong tertawa, "aku senang
mendengar suaranya yang ketus itu. Kukira engkau sudah
mampu, karena gemar menangis. Apakah engkau sudah tak
suka menangis lagi ?”
Gok artinya menangis. Gok pohpoh berarti Nenek
penangis atau yang suka menangis.
"Malam ini tidak," sahut Gok pohpoh.
"Mengapa ?"
"Karena kalian datang."
"Lho, apa hubungannya kedatangan kami dengan
tangisanmu?" tanya pertapa Pat Hong.
"Kalau sampai bulan ini tak ada tetamu yang datang,
berarti dalam satu tahun penuh saya nganggur. Karena itu
saya harus menangis."
"O, apakah tiap tahun tentu ada orang yang berkunjung
kemari?"
"Hampir dipastikan begitu. Bahkan kadang dalam
setahun sampai dua tiga kali aku harus menerima tetamu."
"Mengapa engkau senang mendapat tetamu?" tanya
pertapa Pat Hong.
"Karena tamanku bertambah penghuni!"
"Taman apa?"
"Taman Pahlawan Sia-sia."
"Apa?" teriak pertapa Pat Hong, "engkau maksudkan
taman pemakaman?"
"Apalagi kalau tidak begitu. Sebentar lagi kalianpun akan
tinggal di taman indah itu. Banyak kawan disitu dan tiap
hari akupun tentu datang bersembahyang."
"Nenek gila!" teriak pertapa Pat Hong, "mengapa engkau
bunuh mereka?"
"Aku tak mencari mereka tetapi mereka yang mencari
aku. Aku tak membunuh mereka tetapi mereka yang minta
dibunuh. Bukankah kedatangan kalian ini juga hendak
merampok tongkatku ini?"
"Gok pohpoh, kalau berbuat tentu merasa. Bukankah
begitu?"
"Hm, siapa engkau?" tegur nenek Gok dengan kilatkan
matanya yang tajam.
"Siapa namaku, aku sudah tak ingin memakai karena
memakaipun orang tak mau menerima. Aku diharuskan
memakai nama yang mereka berikan kepadaku yakni Coanti-
jin. "
"Manusia-serba-tahu artinya?" nenek Gok menegas.
"Ya, begitulah. Tetapi aku sendiri memang merasa serbatak-
tahu."
"Apa yang engkau maksudkan dengan pertanyaanmu
tadi?" kata nenek Gok.
"Tongkat Hek-ci-thiat (besi magnit hitam ) adalah milik
dari Thiat Ci cinjin yang hidup pada seratus tahun yang
lalu. Dengan sebatang tongkat dan sebatang pedang pandak
dia pernah menjagoi dunia persilatan. Dia memang seorang
tunas berbakat luar biasa seperti Tio Tan Hong, raja pedang
yang diakui sebagai cikal-bakal perguruan Thian-san-pay.
Kecerdasan Thiat Ci cinjin dipersamakan dengan Tat Mo
cousu, pendiri perguruan Vihara Siau lim si. Tetapi sayang
Thiat Ci tergoda oleh paras cantik dan akhirnya harus
mengalami hari terakhir yang mengenaskan ....... "
"Kang-ou-te it-bi-jin, wanita paling cantik dalam dunia
persilatan Li Gwat Go berhasil merayunya dan akhirnya
dapat meracuni sehingga Thiat Ci menjadi seorang invalid
selama-Iamanya. Menyadari dirinya pasti akan dibunuh si
ular cantik Li Gwat Go, dia segera melarikan diri dengan
naik burung garuda peliharaannya ..... "
"Tepat pada saat itu muncullah Gwat Go di kamar.
Melihat Thiat Ci diterbangkan burung garuda, Gwat Go
marah dan lari mengejar. Dia lepaskan anakpanah. Karena
gugup Thiat Ci lupa keadaan dirinya. Dia menangkis
anakpanah itu de jngan tongkatnya. Sudah tentu dia tak
mampu sehingga tongkatnya jatuh ke bawah dan dapat diambil
Gwat Go.
"Di tengah udara timbullah pikiran Thiat i. Dia tahu
bahwa racun itu amat ganas. Dalam beberapa waktu lagi
dia tentu mati maka dia mengambil keputusan
melemparkan dua buah pusaka ke bawah, "Setiap benda
tentu bertuan. Hanya yang berjodoh akan mendapatkan
pusaka itu……"
"Telur busuk, engkau datang kemari hendak jual cerita
atau hendak merampok!" teriak nenek Gok.
"Tetapi karma telah menimpa pada si ular cantik Gwat
Go. Diapun mati dipaksa minum racun oleh In Liat, murid
dari Thiat Kia cinjin dan tongkat pusaka itupun jatuh ke
tangan In Liat……..”
"Keparat, jangan banyak mulut!" teriak nenek Gok.
"In Liat mempunyai seorang putera bernama In Siu
Lam. In Siu Lam sebenarnya sudah beristeri Tong Yan Cu
tetapi karena dia pernah ditolong jiwanya oleh Beng Giok
Lan, atas persetujuan Teng Yan Cu, In Siu Lun mengambil
Beng G.ok Lau sebagai isteri yang kedua."
Kebetulan Tong Yan Cu dan Beng Giok Lan sama2
hamil. Ketika tiba pada waktunya, Yan Cu melahirkan
seorang bayi perempuan. Tetapi tiba2 seorang wanita
bernama Liu-ma yang menjadi pelayan Giok Lan memberi
anjuran kepada Giok Lan. Giok Lan setuju dan pelayan
yang bernama Liu-ma itu segera menukarkan bayi
perempuan anak Giok Lan dengan bayi laki anak Yan Cu
....... "
"Bangsat, mampus engkau!" tiba2 nenek Gok menjerit
dan ayunkan tangan kearah tetamu lelaki tua yang
menamakan diri sebagai Coan-ti-jin atau si Manusia-serbatahu
... .
-oodwoo-
Jilid 13.
Coan-ti-jin atau Manusia-serba tahu terkejut ketika
melihat nenek Gok ayunkan tangan ke arahnya. Dia
mengira kalau nenek itu tentu melontarkan senjata rahasia
atau pukulan tenaga-sakti dari jauh. Tetapi ternyata tidak
ada apa2.
Dia hendak berkata lagi, Tetapi sebelum sempat
membuka mulut, dia menjerit kaget dan tubuhnya terpental
ke udara, bum.... lima tombak jauhnya dia tepelanting
jatuh, ke tanah. Kepalanya pusing tujuh keliling sehingga
dia harus duduk pejamkan mata untuk menenangkan
darahnya yang bergolak-golak.
"Bu-heng-sin-kang!" teriak Pat Hong cinjin
"Hm,-banyak cara untuk mengantar pemakaman para
penghuni Taman Pahlawan Sia-sia itu. Ada yang pergi
dengan lunak, ada yang harus diantar dengan kekerasan,"
dengus nenek Gok,
"Gok pohpoh, mengapa engkau marah kepadanya ?
Apakah engkau takut ketahuan siapa dirimu ini ?" seru
pertapa Pat Hong.
"Sebenarnya hal itu tak penting. Siapa diriku boleh saja
kalian ketahui karena toh kalian sebentar lagi akan tinggal
di Taman Pahlawan Sia-sia..."
"Jika begitu, engkau mengakui kalau Liu-ma itu adalah
engkau sendiri, bukan ?" seru pertapa Pat Hong.
"Apa kepentinganmu dengan hal itu ?" nenek Gok balas
bertanya.
"Tentu saja ada," sahut Pat Hong."
"Apa kepentinganmu!"
"Ketahuilah, Gok pohpoh," seru pertapa Pat Hong, "aku
adalah sahabat dari Tong Kui Tik.”
"Aku tak peduli dengan Tong Kui Tik atau Tong Ko
Song atau Tong Bo Long segala."
"Tak peduli tetapi engkau harus peduli. Peduli pun
engkau harus peduli. Karena kedatanganku kemari adalah
untuk hal itu.”
"O. baru kali ini ada seorang tetamu yang bertujuan lain
dari lain2 tetamu," seru Gok poh poh dengan nada
mengejek.
"Setelah engkau jelas," kata pertapa Pek Hong, "maka
jawablah pertanyaanku secara jujur."
"Tergantung dari apa yang engkau tanyakan," sahut
nenek Gok.
"Mengapa engkau menganjurkan supaya Beng Giok Lan
menukarkan bayi perempuannya dengan bayi lelaki dari
Tong Yan Cu."
"Apa hubunganmu dengan Tong Yan Cu ?"
"Dia adalah puteri dari sahabatku Tong Kui Tik."
"Wajar," kata nenek G3k, "Beng Giok Lan adalah isteri
kedua. Untuk merebut cinta dan pengaruh dari suaminya,
dia harus mempunyai anak laki2."
"Dan ternyata Beng G ok Lui berhasil merebut kasih
sayang suaminya, bukan ?"
"Memang," jawab nenek Gok, "ln Siu Lam lebih
mencintai Beng Giok Lan daripada Tong Yap Cu."
"Mana lebih dulu yang menjadi isteri In Siu Lam," kata
pertapa Pat Hong, "Tong Yan Cu atau Beng Giok Lan?"
"Tentu saja Tong Yan Cu."
"Apakah Tong Yan C u tahu kalau suaminya mengambil
Beng Giok Lan sebagai isteri juga ?”
"Tong Yan Cu menyetujui bahkan menganjurkan
suaminya supaya memperisteri Beng Giok Lan.”
"Jika begitu jelas Beng Giok Lan itu seorang wanita yang
tak tahu budi. Air susu yang diberikan Tong Yan Cu telah
dibalas dengan air tuba oleh Beng Giok Lan."
"Jangan menuduh seenakmu sendiri, pertapa gombal !"
terak nenek Gok," mana engkau dapat mengetahui hati
wanita. Tahukah engkau apa sebab Tong Yan Cu
mengidinkan bahkan menganjurkan suaminya mengambil
isteri lagi ?"
Pertapa Pat Hong tertegun lalu berkata, "Memang aku
tak tahu apa tujuannya. Tetapi bukankah hal itu
menunjukkan kebesaran hatinya sebagai seorang isteri ?"
'"Gombal !" teriak nenek Gok, "yang jelas sudah sepuluh
tahun menikah dengan In Siu Lam, Tong Yan Cu belum
punya anak. Agar suaminya jangan marah dan tetap dapat
dimilikinya maka diapun menganjurkannya supaya
mengambil isteri lagi. Jadi Beng Giok Lan itu hanyalah
sebagai alat untuk tujuan Tong Yan Cu, mengerti ?"
"Tetapi mengapa Beng Giok Lan menukarkan bayinya
dengan bayi Tong Yan Cu ?" pertapa Pat Hong masih tak
puas.
"Beng Giok Lan tahu kalau dirinya diperalat oleh Tong
Yan Cu maka diapun tak mau kepalang-tanggung untuk
merebut kekuasaan pada rumahtangga In Siu Lam."
"Bohong !" teriak pertapa Pat Hong, "jangan engkau
menggombalkan Tong Yan Cu tetapi menjunjung Beng
Giok Lan diatas kepalamu. Kurasa, menilik Beng Giok Lan
itu seorang wanita cantik dan berilmu silat tinggi, tak
mungkin dia mau menjadi isteri kedua dari In Siu Lam
kalau tak mempunyai tujuan tertentu."
"Benar!" tiba2 terdengar sebuah suara yang tandas. Yang
jelas bukan dari pertapa Pat Hong maupun Coan-ti-jin.
Nenek Gok dan pertapa Pat Hong terkejut. Serempak
mereka berpaling dan dari balik gerumbul pohon tampillah
seorang lelaki setengah tua yang mengenakan dandanan
sebagai seorang sasterawan.
"Apa yang dikatakan saudara pertapa ini memang benar.
Beng Giok Lan mempunyai tujuan untuk merebut pusaka
dari In Siu Lam. Bukankah ayah dari In Siu Lam itu
bernama In Liat dan ln Liat itu sutit (murid keponakan) dari
Thiat Ci tinjin ? Ha, ha, Si ular cantik Li Gwat Go dapat
meracuni Thiat Ci cinjin dan merampas tongkat pusaka Cithiat-
ciang tetapi Li Gwat Go akhirnya mati dipaksa minum
racun oleh In Liat. Tongkat pusaka itu jatuh ke tangan In
Liat dan lalu diwariskan kepada puteranya si In Siu Lam itu
..."
"Siapa engkau !" bentak nenek Gok.
"Hoia, saudara Cian-ti-jin, kenapa engkau duduk
terpekur seperti patung ?" tiba2 sasterawan itu berteriak
kaget melihat di halaman itu terdapat seorang lelaki tengah
duduk pejamkan mata seperti sebuah patung.
Tampak Coan-ti-jin membuka mata dan ber seru, '"O,
Ko tayjin, engkau . . . ."
"Ah, jangan menyebut Ko tayjin," kata "sasterawan itu.
"saudara Coan-ti-jin, engkau kenapa?"
"Aku lengah dan termakan pukulan Bu-heng-sin-kang
dari nenek jahat itu. Untung aku masih membawa leng-tan
yang manjur," kata Coan-ti-jin seraya berbangkit, "Pat
Hong cinjin inilah saudara Ko Cay Seng yang pernah
kukatakan itu," serunya kepada pertapa Pat Hong.
"Ko tayjin, maaf, aku tak tahu," kata Pat Hong cinjin
seraya memberi hormat.
Dari Coan ti-jin, pertapa itu mendapat keterangan bahwa
Ko Cay Seng dan Suto Kiat adalah orang kepercayaan dari
Tergun panglima kerajaan Ceng. Kalau dapat berkenalan
dengan Ko Cay Seng atau Suto Kiat, tentu akan mudahlah
untuk mendapat kedudukan,
"Ah, harap cinjin jangan merendah. Aku ini sahabat dari
Coan-ti-jin," kata Ko Cay Seng.
Setelah gagal dalam pertempuran dengan rombongan
Tong Kui Tik, In Hong dan Wan-ong-kui, dengan
menderita luka karena telapak tangannya ditusuk dengan
tusuk - kundai oleh Han Bi Ing, terpaksa Ko Cay Seng
beristirahat untuk beberapa waktu. Setelah sembuh, barulah
dia keluar lagi menjalankan tugas, menyusup kedaerah yang
masih dikuasai kerajaan Beng, untuk mengacau, memecah
belah dan terutama untuk mempengaruhi kaum persilatan
daerah Tiong-goan supaya membantu kerajaan Ceng ( baca
jilid 10).
"Hai, kawanan kurcaci!" teriak nenek Gok yang mengkal
karena orang berbicara sendiri, "kalian disini ini tetamu
atau tuanrumah?"
"Ho, jangan marah, nenek penangis. Kami hanya pinjam
waktu untuk berkenalan. Mengapa engkau begitu bernafsu,"
Ko Cay Seng tertawa.
"Apa maksudmu?" bentak nenek Gok.
"Serahkan semua pusaka yang engkau rebut dari Beng
Giok Lan, isteri In Siu Lam itu," kata Ko Cay Seng.
"Hm, permintaan yang latah dari orang2 yang menjadi
penghuni Taman Pahlawan Sia-sia," seru nenek Gok.
Sejenak mengerut dahi, ia berkata pula, "perlu apa engkau
meminta pusaka itu? Kalau memang beralasan, akan
kupertimbangkan."
"Pusaka itu harus digunakan untuk kepentingan rakyat
dan negara. Ditanganmu seorang nenek yang sudah
ongkang-ongkang di tepi liang kubur, pusaka itu tiada
gunanya. Maka lebih baik engkau serahkan saja pusaka itu
kepadaku. Nanti ku berimu uang yang dapat engkau
nikmati pada masa hari tuamu....."
"Aku tidak butuh uang !” tukas nenek Gok, “hanya satu
keterangan dari mulutmu. Engkau katakan pusaka itu harus
digunakan untuk kepentingan rakyat dan negara. Itu benar."
"Aha, ternyata penilaianku keliru. Engkau seorang nenek
yang sadar dan berjiwa besar," puji Ko Cay Seng.
"Tetapi rakyat dan negara manakah yang hendak engkau
bantu dengan pusaka itu:" serui nenek Gok.
"Lho, masakan hal itu perlu kuterangkan lagi?"
"Sudah tentu perlu," sahut nenek Gok, "karena sekarang
ini ada dua negara yang sedang berperang, Kerajaan Beng
dengan kerajaan Ceng. Engkau hendak membantu siapa?"
Ko Cay Seng tertegun. Ia harus hati2 menjawab
pertanyaan itu. Setelah merenung sejenak ia berkata "Gok
pohpoh, engkau sendiri merasa sebagai rakyat yang mana?"
"Rakyat Beng," sahut nenek Gok, "tetapi aku tak senang
dengan raja Beng yang tak mau mengurus rakyat dan
negaranya itu."
Mata Ko Cay Seng berkilat-kilat gembira "Bagus Gok
pohpoh, akupun juga berpendirian begitu. Raja Beng tak
pantas lagi menjadi raja dan harus diganti dengan raja
Ceng."
"Dan engkau hendak menggunakan pusaka itu untuk
membantu kerajaan Ceng?" tanya nenek Gok.
"Bukankah pendirian Gok pohpoh juga demikian?"
"Aku bertanya kepadamu, engkau yang harus menjawab,
bukan aku!" bentak Gok pohpoh.
"Rasanya kerajan Ceng akan membawa perobahan baik
kepada rakyat semua."
"Bagus," seru nenek Gok, "sayang aku sudah tua.
Bukankah kau bekerja pada kerajaan Ceng?"
Menduga bahwa nenek itu tentu berfihak ke pada
kerajaan Ceng maka menyahutlah Ko Cay Seng dengan
dengan tegas, "Ya."
"Bagus," seru nenek Gok, "kalau begitu engkau layak
menerima tongkat pusaka itu. Tetapi layang . . . . "
"Mengapa?" Ko Cay Seng terbeliak.
"Engkau harus memenuhi syarat lebih dulu."
"Apa syaratnya?"
"Tinggalkan kepalamu!"
Ko Cay Seng terbeliak kaget, "Apa katamu?"
"Tinggalkan batang kepalamu!"
"Lho, aneh, bukankah engkau menyetujui pendirian
untuk membantu kerajaan Ceng?"
"Tanyakan kepada kedua koncomu itu. Apakah dalam
pembicaraan tadi aku pernah mengatakan begitu?"
"Engkau memusuhi kerajaan Ceng?"
"Apakah aku mengatakan begitu?" balas nenek Gok.
"Lha habis apa maksudmu meminta batang kepalaku
itu?" Ko Cay Seng mulai hilang kesabarannya.
"Setiap manusia yang hendak menginginkan tongkat
pusaka itu, harus meninggalkan batang kepalanya. Lebih2
kalau dia seorang budak kerajaan Ceng, dia harus
meninggalkan seluruh tubuhnya juga! Jelas?"
Merasa dipermainkan si nenek, seketika sasterawan Ko
Cay Seng marah, "Nenek gila, engkau kira hari ini engkau
masih dapat bersikap seperti raja? Hm, ketahuilah, jika
engkau mau menyerahkan dengan baik2, aku sih masih
dapat memintakan pengampunan kepada kedua sahabat ini
supaya engkau diberi hidup. Tetapi kalau engkau menolak,
terpaksa akan kami sembelih!"
"Bangsat, hayo majulah kalian bertiga!" teriak nenek
Gok.
"Tunggu!" teriak pertapa Pat Hong, "aku masih hendak
bertanya kepadamu Gok pohpoh?"!
"Soal apa?"
"Apakah si Ah Hok itu putera Tong Yan cu yang engkau
tukar dengan bayi perempuan dari Beng Giok Lan itu?"
tanya Pat Hong cinjin-
Waktu masih didalam pondok sebenarnya Gok pohpoh
juga sudah mendengar langkah kaki kedatangan Coan-ti-jin
dan Pat Hong cinjin. Pun pembicaraan kedua orang itu
dapat didengar jelas. Ia terkejut ketika mendengar Coan-tijin
mengatakan telah menangkap seorang pemuda bernama
Ah Hok yang mengaku cucu dari nenek Gok. Aneh,
pikirnya. Bukankah Ah Hok sudah berada di rumah ?
Memang dalam alam pikiran nenek itu. Huru Hara itu
adalah si Ah Hok.
"Bukan !" serunya menjawab pertanyaan Pat Hong
cinjin.
"Lalu siapa namamu ?"
"Perlu apa engkau harus tahu ?"
"Gok gopoh, menurut katamu tadi, hari ini engkau akan
menjadikan kami bertiga penghuni Taman Pahlawan Siasia.
Sebagai salah seorang calon penghuni tamanmu itu,
apakah engkau tak memberi kelonggaran kepadaku ?
Apakah engkau masih kuatir, aku nanti menjadi penghuni
yang penasaran karena keinginanku tak engkau kabulkan ?"
Nenek Gok diam merenung Pikir2 permintaan pertapa
itu juga beralasan. Bukankah sebentar lagi mereka akan
mampus ? Mengapa aku takut memberitahu kepadanya ?
Pikir nenek itu. Tetapi karena mendengar kata2 Coan-ti-jin
yang telah menangkap seorang pemuda bernama Ah Hok,
nenek Gok bersangsi. Dia harus menyelidiki hal ini tetapi
sekarang tiada waktu. Agar anak itu jangan menderita
siksaan dari Coan-li-jin, lebih baik sekarang dia
membohong.
"Dia bernama Ah Mo."
“Dimana dia sekarang -"
"Cukup !" bentak nenek Gok, "engkau tahu namanya itu
sudah cukup. Dimana dia berada, toh nanti setelah engkau
menjadi penghuni Taman Pahlawan Sia-sia, arwahmu kan
dapat gentayangan mencari anak itu."
Kedatangan Coan-ti-jin dan Pat Hong cinjin serta
munculnya Ko Cay Seng di halaman itu diketahui semua
oleh Huru Hara dan Ah Liong yang juga sudah bangun.
Keduanya bersembunyi dibalik gerumbul pohon. Keduanya
mendengar jelas semua pembicaraan yang berlangsung
antara nenek Gok dengan ketiga pendatang itu.
Waktu Ko Cay Seng menelanjangi asal usul nenek Gok,
Huru Hara dan Ah Liong terkejut Kini keduanya baru tahu
bahwa nenek itu dulu bernama Liu-ma, menjadi pelayan
dari Beng Giok Lan, isteri kedua dari tokoh ternama In Siu
Lan. Liu-ma telah menukar bayi lelaki yang dilahirkan
Tong Yan Cu dengan bayi perempuan yang dilahirkan Beng
Giok Lan. Kemudian Liu-ma itulah yang merebut tongkat
pusaka dari In Siu-Lam.
Dan ketika terjadi tanya jawab antara Lu ma (sekarang
nenek Gok) dengan Ko Cay Se. Ah Liong terkejut.
"Celaka," diam2 Ah Liong berteriak dalam hati,
"bukankah dulu nenek pernah mengatakan bahwa
sebenarnya aku lebih baik memakai nama Ah Mo daripada
Ah Liong. Tetapi nanti saja setelah tepat pada hari
ulangtahunku yang ke sepuluh, namaku Ah Liong itu akan
diganti dengan Ah Mo ? Jika begitu, aku inilah dari Tong
Yan Cu yang ditukar itu ?"
"O, makanya nenek itu bengis sekali kepadaku," pikir Ah
Liong lebih lanjut. Serentak perhatiannyapun tertuiu pada
pertapa Pat Hong yang mengaku sebagai sahabat orang
yang bernama Tong Kui Tik. Siapakah Tong Kui Tik itu ?
"Ah, kalau ibuku bernama Tong Yan Cu, apakah Tong
Kui Tik itu bukan ayahnya ?" Ah Liong menimang lebih
lanjut.
"Mengapa pertapa Pat Hong itu hendak mencari aku?
Apakah sahabatnya yang bernama Tong Kui Tik yang
minta tolong kepadanya untuk mencarikan aku ?"
Makin bergolak hati Ah Liong setelah mencapai
pemikiran begitu. Seketika timbul rasa benci kepada nenek
Gok. Karena tingkah jahat nenek itulah maka dia (Ah
Liong) sampai hidup terlunta-lunta berpisah dari kedua
orang tuanya.
"Hai, tunggu pertapa.....!" karena tak kuat menahan
gejolak hatinya tiba2 Ah Liong menjerit dan terus keluar
dari tempat persembunyiannya dan langsung lari ke
halaman.
Huru Hira terkejut. Anak itu tak bilang apa2 terus lari.
Ah, celaka anak itu,” pikir Huru hara. Terpaksa diapun
keluar dari balik gerumbul pohon, menyusul Ah Liong.
'"Nenek Gok, benarkah dulu engkau yang merampas aku
dari mamaku ?" Ah Liong menghadap nenek Gok dan
bertanya.
"Setan cilik, pergilah, jangan mengacau disini !" bentak
nenek Gok seraya ayunkan tongkatnya hendak menggebuk.
Tetapi secepat itu Huru Hara sudah menarik tubuh Ah
Liong ke belakang.
"Hai apakah engkau yang bernama si Ah Mo itu, nak ?"
teriak Pat Hong cinjin serentak.
"Ya," sahut Ah Liong, "siapa engkau ?"
"Aku Pat Hong cinjin sahabat baik dari engkongmu
Tong Kui Tik."
"Apakah aku juga orang she Tong ?" tanya Ah Liong
pula.
"Benar, engkau sebenarnya putera dari Tong Yan Cu
yang ditukar dengan bayi perempuan oleh nenek jahat itu !"
"Dimana mamaku ?"
"Dibunuh nenek Gok."
"Ayahku ?"
"Juga diracuni nenek setan itu !"
"Tidak !" teriak nenek Gok,
"Ah Liong jangat! percaya omongannya. Engkau bukan
putera dari Tong Yan Cu.”
"Jangan menjilat ludahmu lagi, nenek," seru Pat Hong
cinjin, "Ah Mo, mari engkau ikut aku. Akan kuantarkan
engkau kepada engkongmu Tong Kui Tik."
Huru Hara membisiki beberapa patah kepada Ah Liong
dan anak gundul itu segera melengking, "Tidak sudi! Aku
dapat mencarinya sendiri."
"Ah Mo, mengapa engkau tak mau ikut aku?" teriak
pertapa Pat Hong.
"Engkohku ini mengatakan," kata Ah Liong neraya
menunjuk Huru Hara, "engkau seorang budak kerajaan
Ceng!"
"Bagus, Ah Liong," seru nenek Gok memuji, "jangan
sudi ikut dia. Apalagi sebentar lagi dia juga sudah
mampus!"
"Tetapi aku juga tak mau tinggal disini lebih lama,
nenek," seru Ah Liong.
"Lho, mengapa?" nenek Gok terkejut.
"Karena engkau telah menganiaya mamaku dan aku."
"Tetapi bukankah aku telah merawatmu sampai besar?"
"Ya, benar," kata Ah Liong, "karena itu akupun tak mau
menuntut balas kepadamu kecuali hanya pergi dari sini."
"Bocah edan engkau!" bentak nenek Gok, "engkau bukan
anak Tong Yan Cu, engkau . . . . "
"Jangan percaya Ah Mo," teriak pertapa Pak Hong,
"engkau memang putera Tong Yan Cu. Karena aku
menerima permintaan tolong dari eng-kongmu Tong Kui
Tik, aku akan mengantarkan engkau kepadanya."
"Apa engkau tuli?" teriak Ah Liong, "tak tak sudi ikut
pada orang yang menjadi budak kerajaan asing!"
"Suka tak suka engkau harus ikut aku!" teriak Pat Hong
cinjin seraya menyambar Ah Liori tetapi anak itu cepat
loncat mundur. Bahkan pada saat itu nenek Gokpun
menampar kearah Pak Hong.
Peristiwa yang diderita Coan-ti-jin tadi, cukup
diperhatikan Pat Hong cinjin. Ia tahu bahwa nenek itu
memiliki ilmu pukulan Bu-heng-sin kang atau pukulan
tanpa wujud. Maka diam2 ia pun kerahkan tenaga untuk
menyongsong.
Desss .... terdengar letupan pelahan macam api disiram
air. Tubuh Pat Hong tergetar dan kaki mengisar setengah
langkah ke belakang. Pat Hong cinjin atau pertapa Delapanpenjuru
itu karena hanya menggunakan enam bagian
tenaga-sakti Pat-hong-sin-kang, harus menderita sedikit.
Diam2 ia terkejut akan kesaktian tenaga Bu-heng sin-kang
nenek Gok.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-gokil-silat-bloon-cari-jodoh-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Gokil Silat : Bloon Cari Jodoh 2 [Karya SD Liong] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-gokil-silat-bloon-cari-jodoh-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar